(IslamToday ID) – Umat muslim di seluruh dunia bereaksi dengan pidato Presiden Perancis Emmanuel Macron yang menyebut Islam adalah agama yang mengalami krisis. Mereka menilai pidato itu hanya untuk menghidupkan kembali sekularisme Perancis dan mendukung sayap kanan.
Macron pada hari Jumat lalu menguraikan proposal tentang bagaimana menantang apa yang disebutnya “separatisme Islam”. “Islam adalah agama yang mengalami krisis di seluruh dunia saat ini, kami tidak hanya melihat ini di negara kami,” katanya dalam pidatonya selama hampir dua jam di pinggiran barat laut Paris, Les Mureaux.
Proposal yang akan secara resmi diajukan sebagai RUU pada bulan Desember nanti, memperluas undang-undang tahun 1905 yang secara resmi memisahkan agama dengan negara.
Ini antara lain membiarkan negara memantau pendanaan internasional yang masuk ke masjid-masjid di Perancis, membatasi homeschooling untuk mencegah sekolah-sekolah muslim dijalankan oleh apa yang disebut Macron sebagai “ekstremis religius”, dan membuat program sertifikat khusus untuk para imam Perancis.
“Di balik undang-undang ini, ada stigmatisasi yang nyata,” kata Nagib Azergui, pendiri partai politik Persatuan Muslim Demokrat Perancis kepada Al Jazeera, Kamis (8/10/2020). “Proposal itu coba membuat hubungan langsung antara muslim, terorisme, dan radikalisasi.”
Azergui mengaku khawatir hal itu akan meningkatkan islamofobia di seluruh Perancis.
“Kami dalam keadaan waspada, di mana orang-orang menelepon polisi dan mengatakan tetangga saya yang berjanggut atau memakai jilbab adalah ancaman,” katanya.
Kementerian Dalam Negeri Perancis mencatat 154 insiden islamofobia pada 2019, atau meningkat 54 persen dari 2018.
The Collective Against Islamophobia in France (CCIF), yang menggunakan metode penghitungan berbeda, mencatat sekitar 2.000 kasus islamofobia pada tahun yang sama.
Menanggapi pidato Macron, 100 tokoh muslim Perancis menandatangani surat terbuka yang menyerukan kepada pemerintah untuk berhenti menstigmatisasi muslim, terutama wanita dan muslim kelas pekerja.
“Berhentilah menstigmatisasi perempuan muslim, apakah mereka mengenakan jilbab atau tidak, yang pilihan pakaiannya telah menjadi bahan perdebatan nasional. Hentikan eskalasi perdebatan politik dan media yang hampa,” kata mereka.
Pidato itu muncul di tengah debat nasional baru tentang jilbab.
Mengenakan jilbab dilarang di sekolah-sekolah Perancis dan juga bagi pegawai negeri di tempat kerja mereka.
Bulan lalu, seorang anggota partai Presiden Perancis Emmanuel Macron, La Republique en Marche (LREM) keluar dari sidang Majelis Nasional dan mengatakan bahwa kehadiran seorang siswa berjilbab bertentangan dengan nilai-nilai sekuler negara itu. Sebuah aksi yang memperbarui perdebatan mengenai jilbab.
Beberapa hari sebelumnya, heboh di media sosial ketika seorang jurnalis Perancis mencoba menarik hubungan antara video makanan oleh seorang wanita muslim yang mengenakan jilbab dan serangan 11 September 2001 di AS.
Jaringan Perancis BFMTV men-tweet video Imane Boune, seorang blogger makanan berusia 21 tahun, memberikan tips memasak kepada mahasiswa dengan anggaran terbatas. Menanggapi postingan tersebut, Judith Waintraub, dari surat kabar sayap kanan majalah Le Figaro, berkomentar “11 September”.
Dalam pidatonya pada hari Jumat, yang diejek oleh beberapa orang di media sosial sebagai “khutbah” karena disampaikan pada hari suci muslim, Macron memang mengakui beberapa kegagalan pemerintah dalam hal perlakuannya terhadap populasi imigran.
“Kami sendiri yang membangun separatisme sendiri,” kata Macron. “Sudah terlalu lama, pihak berwenang telah mengumpulkan sebagian besar populasi imigran di lingkungan yang dilanda kemiskinan dengan sedikit akses ke pekerjaan atau transportasi umum.”
“Kami melihat anak-anak Republik, terkadang dari tempat lain, anak atau cucu warga dari latar belakang imigran dan dari Maghreb dan sub-Sahara Afrika meninjau kembali identitas mereka melalui wacana pasca-kolonial.”
“Tapi ini adalah bentuk kebencian diri yang harus diatasi oleh Republik,” ujar Macron.
Dalam editorial untuk Le Monde, Chems-Eddine Hafiz, rektor Masjid Agung Paris, menulis bahwa pemerintah hanya dapat menyalahkan dirinya sendiri karena meninggalkan populasi itu.
“Orang tidak perlu heran dengan hasilnya,” kata Hafiz. “Dalam jangka panjang, populasi tertentu menjadi otonom, membebaskan diri dari hukum Republik untuk hidup sesuai dengan standar yang mereka buat sendiri atau yang telah dibentuk oleh lingkaran ekstremis dan komunalis untuk mereka. Memang, sulit untuk bangun, selama bertahun-tahun, debu telah tersapu di bawah karpet.”
Menurutnya, penggunaan istilah separatisme Islam oleh Macron juga mengkhawatirkan. “Pertanyaan tentang separatisme tidak menjadi perhatian semua muslim sama sekali. Jauh dari itu!” tulisnya.
“Saya ingin menunjukkan, dengan segala hormat, kepada mereka yang ingin menyamakan Islam dan islamisme, kepada mereka yang berpendapat bahwa Islam adalah islamisme, dan sebaliknya, bahwa memang ada perbedaan yang harus dibuat antara muslim, agama, dan ideologi Islam.”
Tetapi beberapa orang melihat dalam pidato Macron adalah sebuah langkah maju yang positif dalam menciptakan “Islam Perancis”.
Hakim El Karoui, seorang konsultan Perancis yang telah menulis tentang peran Islam di Perancis, mengatakan pidato itu adalah langkah positif bagi muslim Perancis. “Itu adalah pidato menentang islamisme, tapi itu pro-Islam,” katanya.
Seorang teman lama Macron, El Karoui adalah penulis dua laporan yakni The Islamist Factory dan A French Islam Is Possible.
Banyak ide yang dipresentasikan dalam penelitiannya, termasuk memantau pembiayaan masjid dari luar negeri dan membuat program lokal untuk melatih para imam di Perancis, menjadi bagian penting dari proposal Macron. [wip]