IslamToday ID –Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) mempertanyakan pengesahkan Undang Undang (UU) Omnibus Law Cipta Kerja. Pasalnya, Anggota DPR sendiri belum memenang draf UU Omnibus Law Cipta Kerja.
“Bagaimana bisa DPR mengetok sah, padahal anggota DPR nya saja belum memegang draf UU Cipta Kerja. Berarti itu bisa jadi juga belum dibaca oleh anggota DPR yg hadir dalam sidang paripurna,” Ketua Umum PB PMII Agus Mulyono Herlambang, Ahad (11/10/2020).
Lanjutnya, PMII melihat ada ada kecacatan dalam proses pengesahan Undang-undang (UU) Omnibus Law/ Cipta Kerja. Proses pembuatan UU tersebut tidak memenuhi asas-asas pembuatan undang-undang. Selain itu, pihaknya juga menilai tidak asas kepastian hukum, keterbukaan, kemanfaatan, kecermatan, kepentingan umum, dan pelayanan dari pembuatan UU tersebut.
Agus juga menilai, proses dan pengesahan UU Cipta Kerja terkesan terburu-buru. Lanjutnya, dugaan ini bahkan diperjelas dengan perngakuan DPR beberapa hari pasca pengesahan UU Omnibus Law. DPR sebut bahwa UU tersebut belum final, masih dilakukan pengecekan jika terjadi kesalahan ketik.
“Terlihat sangat buru-buru, dari mulai tertutup pembahasan UU Cipta Kerja di masa pandemi, dimasukannya sidang paripurna sampai saat sudah disahkan naskah UU Cipta Kerja masih di finalisasi yang konon katanya takut ada typo,” kata
Dengen sejumlah fakta tersebut, ia meminta Mahkamah Konstitusi (MK) bertindak adil. Jika nantinya ada permohonan judicial review, pihaknya berharap MK secara tegas memutus bahwa UU Cipta Kerja cacat dan bertentangan dengan konstitusi.
“Jika terdapat uji formil UU Cipta Kerja di Mahkamah Konstitusi, maka Mahkamah Konstitusi sudah seharusnya mempertimbangkan dengan matang dan memutus bahwa UU Cipta Kerja cacat formil dan bertentangan dengan UUD 1945 serta tidak memiliki kekuatan hukum mengikat,” tegasnya.
Terpisah, Pimpinan Pusat (PP) Pemuda Muhammadiyah mengatakan bahwa publik perlu memberikan catatan kritis terhadap undang-undang Omnibus Law. Terutama berkaitan dengan pasal-pasal yang merugikan berbagai sektor kehidupan masyarakat seperti para kaum pekerja, buruh.
Ketua Umum PP Pemuda Muhammadiyah, Sunanto meminta kepada pemerintah bersedia untuk mengkomunikasikan sejumlah pasal-pasal bermasalah dalam Omnibus Law. Ia juga meminta aga pemerintah dan DPR bersedia mendengarkan aspirasi, tuntutan dan sikap politik yang disampaikan oleh berbagai elemen masyarakat.
“Mencermati dan memperhatikan serta mencatat setiap tuntutan untuk disikapi dalam bentuk keputusan politik yang menguntungkan semua pihak,” kata Sunanto pada Ahad (11/10/2020).
Sebelumnya, anggota DPR dari Fraksi Demokrat Herman Khaeron, mengaku telah meminta hasil pembahasan akhir RUU Cipta Kerja ke Badan Legislasi DPR. Tapi ia justru mendapat jawaban, bahwa hasil pembahasan terakhir RUU Ciptaker tengah dalam tahap peralihan.
“Bagaimana kita mau ambil keputusan, semestinya mempelajari dulu,” ujarnya dikutip dari CNNIndonesia, Selasa (6/10).
Herman mengaku sudah meminta hasil pembahasan akhir RUU Ciptaker ke Badan Legislasi (Baleg) DPR. Namun, kata dia, Baleg menjawab permintaan tersebut dengan mengatakan bahwa hasil pembahasan terakhir RUU Cipta kerja sedang dalam tahap peralihan.
Anggota DPR dari Fraksi PKS, Amin AK dan Mardani Ali Sera juga mengalami hal yang sama. Keduanya mengaku belum menerima draf RUU Cipta Kerja. Menurut Mardani semua anggota dewan seharusnya menerima draf fisik rancangan regulasi yang hendak dibahas sebelum rapat paripurna diselenggarakan.
“Semestinya semua dapat hardcopy,” ucap Mardani.
Penulis: Kukuh Subekti