ISLAMTODAY ID — Draf Rancangan Undang-undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja kembali menuai polemik. Pasca di edit oleh Kementerian Sekretariat Negara (Kemensetneg) RUU ini mengalami sejumlah perubahan, meliputi jumlah halaman, format penulisan hingga hilangnya satu pasal.
Draf RUU Cipta Kerja versi terbaru bahkan sudah diedarkan ke beberapa organisasi masyarakat (ormas) seperti Muhammadiyah dan Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Dilansir dari cnnindonesia.com (22/10/2020) jumlah halaman dalam versi terbaru, menjadi 1.187 halaman. Atau bertambah 375 halaman dari versi final yang diserahkan kepada Presiden Jokowi pada 14 Oktober 2020, yakni 812 halaman.
Selain terjadi perubahan jumlah halaman, ditemukan pula hilangnya pasal 46 UU No.22/2001. Pasal ini mengatur tentang Minyak dan Gas Bumi. Anehnya, tidak ditemukan keterangan bahwa pasal tersebut telah dihapus dari RUU Omnibus Law/Cipta Kerja.
Perbedaan berikutnya yang juga ditemukan dalam naskah RUU Cipta Kerja yang baru adalah tentang penempatan Bab yang berkaitan dengan kebijakan fiskal nasional, terutama tentang pajak dan retribusi.
Dalam naskah versi 812 halaman, ketentuan itu diatur dalam Bab VIA. Posisinya disisipkan antara Bab VI dan Bab VII. Namun, dalam naskah versi terbaru dari pemerintah yang berjumlah 1.187 halaman, bab tersebut menjadi Bab VIIA. Disisipkan antara Bab VII dan Bab VIII.
Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Willy Aditya mengatakan, perubahan dalam naskah RUU Omnibus Law Cipta Kerja berkaitan dengan format penulisan lembaran negara sebelum diundangkan.
“Yang berubah disesuaikan dengan lembar negara yang dikeluarkan oleh Sekretariat Negara. Mengalami perubahan redaksional dari istilah yang lazim digunakan DPR peraturan perundangan menjadi peraturan perundang undangan,” ungkap Willy.
Hal senada juga dikatakan oleh Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Pratikno. Perubahan dilakukan karena adanya penyesuaian format sebelum diundangkan. Hal tersebut dinilai sebagai hal yang biasa terjadi di dalam pembuatan undang-undang.
“Sebelum disampaikan kepada Presiden, setiap naskah RUU dilakukan formatting dan pengecekan teknis terlebih dahulu oleh Kementerian Sekretariat Negara agar siap untuk diundangkan. Setiap item perbaikan teknis yang dilakukan, seperti typo dan lain lain, semuanya dilakukan atas persetujuan pihak DPR, yang dibuktikan dengan paraf Ketua Baleg,” tutur Pratikno dikutip dari detik.com (22/10/2020).
Pratikno meminta agar perbedaan jumlah halaman tidak perlu diperdebatkan. Ia berdalih perbedaan dalam format penulisan seperti jenis font, ukuran dan kertas akan berpengaruh terhadap berubahnya jumlah halaman.
“Tentang perbedaan jumlah halaman, kami sampaikan bahwa mengukur kesamaan dokumen dengan menggunakan indikator jumlah halaman, itu bisa mis-leading. Sebab, naskah yang sama, yang diformat pada ukuran kertas yang berbeda, dengan margin yang berbeda dan font yang berbeda, akan menghasilkan jumlah halaman yang berbeda. Setiap naskah UU yang akan ditandatanganin Presiden dilakukan dalam format kertas Presiden dengan ukuran yang baku,” jelasnya.
Pratikno menjamin perubahan yang terjadi dalam RUU Omnibus Law Cipta Kerja dari 812 halaman ke 1.187 halaman tidak terjadi perubahan substansi.
“Substansi RUU Cipta Kerja dalam format yang disiapkan Kemensetneg (1.187 halaman) sama dengan naskah RUU Cipta Kerja yang disampaikan oleh DPR kepada Presiden,” pungkasnya.
Jadi Cacat Formal
Berubah-rubanya versi RUU Omnibus Law/ Cipta Kerja pasca disahkan bersama oleh DPR dan Pemerintah pada Senin (5/10) lalu menjadi sorotan dari Wakil Ketua MPR, Hidayat Nur Wahid (HNW).
Melalui akun twitternya, HNW menuliskan komentarnya dengan mengutip pernyataan dari Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD yang menyebut bahwa perubahan isi undang-undang (UU) sesudah paripurna DPR, cacat formal.
“Bila faktanya demikian, wajarnya Pemerintah dan DPR menolak UU yang cacat legal dan formal itu,” tegas HNW dalam akun twitternya pada Jum’at (23/10).
Pendapat Mahfud sejalan dengan pernyataan dari Pakar Hukum Tata Negara, Bivitri Susanti. Menurutnya perubahan yang pasal, ayat dalam RUU Omnibus Law Cipta Kerja pasca pengesahan disebut sebagai tindakan pencurian pasal.
“Mengubah satu ayat pun tidak boleh. Itu sama dengan pencurian pasal,” ungkap Bivitri dilansir dari abc.net.au pada Jum’at (23/10/2020).
Sementara itu, Abc.net.au dalam laporannya membantah tentang penyebutan typo penulisan mulai dari tanda baca hingga huruf seperti yang diungkapkan oleh pihak DPR.
Dari tiga versi naskah RUU Omnibus Law ( 905 halaman, 1035 halaman dan 812 halaman) terdapat fakta yang mencengangkan. Perubahan banyak terjadi dalam penggunaan kata ‘dengan’ dan ‘dalam’.
“Perbedaan paling banyak yang ditemukan antara lain adalah penggunaan kata ‘dengan’ pada naskah versi 905 halaman, yang diganti dengan kata ‘dalam’ pada naskah versi 1.035 halaman.
Selain itu, banyak ditemukan penambahan kata-kata ‘… dan Pemerintah Daerah’ serta ‘… atau Pemerintah Daerah’ dalam naskah versi 1.035 halaman,” tulis abc.net.au.
Menurut ahli hukum tata negara dari Universitas Airlangga, Herlambang Wiratraman, perubahan kata ‘dengan’ dan ‘dalam’ yang terdapat dalam RUU Omnibus Law Cipta Kerja memiliki konsekuensi hukum yang berbeda. Ia mencontohkan, misalnya kalau di dalam Undang-undang, ada [tertulis]: peraturan lebih lanjut tentang penyelenggaraan Pemilu diatur dengan Peraturan Pemerintah.
‘Itu artinya Peraturan Pemerintah yang dimaksud adalah Peraturan Pemerintah tentang Pemilu, karena menggunakan kata ‘dengan’,” jelas Herlambang.
Lanjutnya, kalau redaksional dengan tersebut diganti dengan kata dalam, misalnya: peraturan lebih lanjut terkait dengan pengawasan etika penyelenggara pemilu diatur dalam Peraturan Pemerintah. Menurutnya, penggunaan kata dalam di situ menunjukkan bahwa PP yang dimaksud tidak khusus ngomong soal PP tentang Etika Penyelenggara Pemilu.
“Bisa saja PP tentang misalnya aturan operasional tertentu yang di dalamnya ada soal etika,” jelasnya.
Penulis: Kukuh Subekti