ISLAMTODAY ID – Judicial review atau uji materi terhadap Undang-undang (UU) Omnibus Law Cipta Kerja (Ciptaker) dimulai sejak Selasa, 3 November 2020 kemarin.
Namun rupanya, gugatan terhadap UU No.11/2020 tersebut masih tergolong sepi. Keraguan independensi Mahkamah Konstitusi (MK) dinilai menjadikan upaya judicial review akan berakhir sia-sia.
Pada hari pertama diberlakukannya UU Ciptaker, judicial review atas UU tersebut dilakukan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) dan Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI).
“Pendaftaran gugatan judicial review Undang-Undang Cipta Kerja Nomor 11 Tahun 2020 sudah resmi tadi pagi (Selasa, 3/11) didaftarkan ke Mahkamah Konstitusi di bagian penerimaan berkas perkara,” kata Presiden KSPI, Said Iqbal dikutip dari kompas.com (3/11/2020).
KSPI mengungkapkan stidaknya ada sepuluh pasal yang akan digugat oleh kalangan buruh. Salah satu pasal yang dipermasalahkan ialah pasal 42 yang di dalamnya membahas tentang tenaga kerja asing (TKA).
Dilansir dari katadata.co.id (3/11/2020), Ketua Departemen Komunikasi dan Media KSPI Kahar Cahyono menjelaskan bahwa pasal 42 tersebut bertentangan dengan UU Ketenagakerjaan No.13/2003. Dalam UU No.13/2003 tersebut dijelaskan bahwa masuknya TKA asing harus melalui izin menteri. Penghapusan ketentuan tersebut dikhawatirkan hanya akan membuat TKA illegal membanjiri Indonesia.
“Selain itu Pasal 42 Ayat 3 juga karena akan semakin banyak TKA yang bekerja tanpa izin,” ungkap Cahyono.
Cahyono menyebutkan pasal lain dalam Omnibus Law yang juga akan digugatnya seperti pasal 64 dan 65 tentang pekerjaan borongan. Pihaknya juga menggugat pasal 66 yang mengatur pekerja alih daya atau outsource. Selain itu juga pula pasal 77 tentang ketentuan waktu kerja.
“Khawatirnya pekerja hanya dipekerjakan setengah hari dan upahnya hanya dibayar separuh,” terangnya.
Pasal 79 ayat 5 tentang cuti, pasal 88 ayat 2 yang mengatakan bahwa gubernur dapat menentukan upah minimum kabupaten/ kota, pasal 156 tentang pesangon bagi pekerja yang terkena PHK, dan hilangnya pasal 89 UU No.13/2003 yang mengatur upah minimum sektoral juga masuk dalam gugatan mereka.
Pasal 46 A UU Ciptaker juga digugat para buruh. Pasal ini membahas tentang Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP). Pasal ini seharusnya juga memberikan jaminan kepada pekerja alih daya yang tidak menjadi anggota Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS),
“Yang hilang pekerjaan bukan karena PHK harusnya juga dapat (JKP),” jelas Cahyono.
Lain halnya dengan para pegiat lingkungan di Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) dan Greenpeace Indonesia. Mereka mengaku enggan melakukan gugatan judicial review sebab menurut mereka UU Ciptaker dinilai tidak memiliki legitimasi atas rakyat. Mereka berpendapat satu-satunya cara membatalkan UU Ciptaker ialah dengan melakukan aksi unjuk rasa.
“Yang kami lakukan terus menggelar aksi penolakan omnibus law ,” ungkap Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Asep Komarudin.
Para aktivis lingkungan mengkritik UU Ciptaker yang menghilangkan pasal 29, 30, dan 31 UU No. 32/2009. Ketiga pasal tersebut berkaitan dengan penerbitan analisis dampak lingkungan (Amdal), UU Ciptaker dinilai menghilangkan partisipasi masyarakat dan Komisi Penilaian Amdal (KPA) dalam penerbitan Amdal.
Judicial Review Sia-sia
Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Andalas Feri Amsari, berpendapat, judicial review atas UU Ciptaker hanya akan berjalan sia-sia. Pasalnnya, MK telah menerima ‘kado’ dari DPR dan pemerintah, melalui revisi undang-undang MK.
RevisiUU MK yang disahkan pada 1 September 2020 lalu telah memperpanjang masa jabatan hakim MK hingga 15 tahun.
Feri juga mengungkapkan, sejak Januari lalu Presiden Jokowi telah meminta dukungan MK agar mendukung keberadaan Omnibus Law Ciptaker.
“Pada kesempatan ini saya mengharapkan dukungan berbagai pihak untuk bersama-sama dengan pemerintah berada dalam satu visi besar untuk menciptakan hukum yang fleksibel, sederhana, kompetitif dan responsif demi terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sebagaimana amanat konstitusi kita,” kata Jokowi (28/1/2020).
Feri menilai tindakan presiden tersebut sebagai sesuatu yang tidak etis bahkan tercela bagi seorang presiden.
“Jika terdapat konflik kepentingan hakim tidak boleh menyidangkan perkara. Begitu etikanya dalam Banglore principals dan etika hakim konstitusi,” pungkas Feri.
Penulis: Kukuh Subekti