ISLAMTODAY ID — Undang-undang (UU) No.11/2020 tentang Cipta Kerja (Ciptaker) dinilai tidak hanya merugikan kaum buruh. UU kontroversial ini juga dinilai mengancam keselamatan aktivis lingkungan.
“Saya melihat UU Cipta Kerja juga berpotensi membahayakan para pembela lingkungan. UU Cipta Kerja tidak hanya membungkam suara para aktivis pembela lingkungan tapi juga mengancam keselamatan mereka,” kata dosen Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Herlambang P Wiratraman dilansir dari theconversation (4/11/2020).
Sebelum adanya Omnibus Law para aktivis lingkungan mendapatkan perlindungan UU No.32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH). Pasal 66 UU tersebut, setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata.
Faktanya, perlindungan itu tidak benar-benar terwujud. Tidak sedikit aktivis lingkungan yang menerima kekerasan fisik. Tak jarang mereka di kriminalisasi baik secara pidana maupun secara perdata.
Berdasarkan hasil laporan dari Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) terdapat 27 kasus kekerasan yang menimpa para aktivis lingkungan.
“Ada 27 kasus kekerasan yang menimpa pembela lingkungan di 14 provinsi atau 27 kabupaten/kota. Ini meliputi sektor agraria (17 kasus), pertambangan (6 kasus), infrastruktur (3 kasus) dan pariwisata (1 kasus),” ungkap Herlambang.
Lanjut Herlambang, seperti kasus meninggalnya aktivis dan pengacara Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Golfrid Siregar. Kematiannya pada 6 Oktober 2019 lalu masih menyisakan kejanggalan. Ia meninggal ketika tengah melakukan gugatan hukum terhadap proyek pembangunan Pembakit Listrik Tenaga Air (PLTA) Batang Toru, di Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatra Utara.
“Pembangunan ini mengundang kontra keras dari masyarakat sipil karena berpotensi merusak habitat orang utan Tapanuli (Pongo tapanuliensis), salah satu spesies langka di dunia,” jelas Herlambang.
Begitua yang terjadi terjadi di Nusa Tenggara Barat (NTB). Rumah dan mobil milik Direktur WALHI NTB, Murdani dibakar pada awal tahun 2019 silam. Saat itu WALHI NTB termasuk kritis dalam mengawal isu-isu pertambangan di Provinsi NTB.
Tidak hanya aktivis, kata Herlambang para jurnalis yang melakukan peliputan isu-isu lingkungan juga mendapatkan ancaman. Tahun 2010, jurnalis Tabloid Jubi dan Merauke TV, Ardiansyah Matrais menjadi korban pembunuhan. Selain Ardiansyah, Ahmadi seorang wartawan Harian Aceh juga menjadi korban penganiayaan yang dilakukan oleh Pasi Intel KODIM 0115 Simeulue di Makodim Simuelue.
“Kedua jurnalis tersebut aktif melakukan liputan soal pembalakan liar di daerah masing-masing,” terangnya.
Kini, UU Ciptaker yang resmi diberlakukan Presiden Jokowi pada Senin (2/11) lalu makin melemahkan, perlindungan hukum terhadap aktivis lingkungan. Menurut Herlambang, UU Ciptaker dirancang memperkuat impunitas perusahaan.
“UU Cipta Kerja dirancang agar korporasi atau perusahaan memiliki ‘impunitas’. Artinya, perusahaan yang terbukti merusak lingkungan atau bahkan terlibat dalam pengerahan preman, akan semakin jarang dimintakan pertanggungjawaban di hadapan hukum,” jelas Herlambang.
Kata Herlambang, juga meniadakan peran aktivis lingkungan lantaran sebab Komisi AMDAL hilang. Komisi AMDAL di ganti menjadi Tim Uji Kelayakan yang tidak lagi melibatkan peran masyarakat setempat, organisasi lingkungan serta kalangan akademisi.
Disisi lain, anggaran Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dan Komisi Nasional HAM makin terbatas. Terbatasnya anggaran membuat lembaga tersebut membuat tidak bisa lagi menjalankan perannya secara maksimal.
“Kondisi ini menyulitkan para pembela lingkungan yang memiliki kekuatan dan perlindungan hukum yang terbatas dalam melakukan advokasi dan menuntut penegakan hukum lingkungan,” tutur Herlambang.
Selain itu, Herlambang melihat komitmen Presiden Jokowi terhadap masalah HAM dan lingkungan sangat bergantung pada kepentingan ‘pasar’. Kebijakan tentang HAM akan menjadi prioritas selama tidak bertentangan dengan kepentingan investasi dan tidak menabrak kepentingan ekonomi Indonesia.
“Kepentingan pemodal, investasi, dan perdagangan bebas menjadi lebih dominan mempengaruhi orientasi kebijakannya yang mengedepankan pertumbuhan ekonomi,” ujar Herlambang.
“Salah satu turunan produk hukumnya adalah UU Cipta Kerja yang juga membuka peluang serangan terhadap pembela lingkungan,” pungkasnya.
Penulis: Kukuh Subekti