ISLAMTODAY ID — Gibran Rakabuming Raka atau biasa disapa Gibran ialah putra sulung Presiden Jokowi. Namanya mulai akrab di benak masyarakat Indonesia, khususnya warga Kota Solo sejak ia kerap menjadi bintang tamu dalam sejumlah talk show di televisi nasional.
Acara televisi pertama yang sukses mengangkat sosok Gibran ialah Mata Najwa. Selain dibesarkan oleh berbagai media massa mulai dari elektronik hingga cetak, nama Gibran juga diuntungkan dengan semakin berkembangnya dunia internet.
Dalam penelusuran yang dilakukan oleh ITD menunjukan bahwa upaya mempopulerkan nama Gibran melalui Mata Najwa ini dimulai sejak tahun 2016. Saat itu program acara yang dipandu oleh Najwa Shihab itu masih disiarkan oleh Metro tv. Baru kemudian sejumlah televisi nasional mulai secara bergantian menghadirkan Gibran. Hampir semua acara mencitrakan sosok Gibran sebagai anak presiden yang fokus pada dunia bisnis dan tidak tertarik dengan dunia politik.
Gibran dalam setiap acara talk show kerap kali merasa lebih bangga jika dirinya lebih dikenal orang sebagai seorang pengusaha kuliner, daripada sebagai seorang putra presiden. Ia juga selalu mengatakan dirinya tidak memiliki ketertarikan dengan dunia politik.
Nama Gibran akhirnya menjadi popular di kalangan warga Solo termasuk di dalam agenda Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020. Salah satunya berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh Universitas Slamet Riyadi (Unisri) yang dirilis pada (25/7/2019) silam. Popularitas namanya mengalahkan kader partai PDIP yang senior, seperti Achmad Purnomo (Wakil Walikota Solo dua periode).
Hebatnya peran media dalam mempopulerkan nama seseorang ini pun mendapat pengakuan dari Gibran. Gibran mengakui jika medialah yang selama ini membantu mempopulerkan namanya. Baginya para awak media adalah teman baginya.
“Ya untuk saya media itu termasuk teman-teman, yang membesarkan saya dari mulai nol dulu sampai sekarang,” ungkap Gibran dilansir dari detikcom (8/12/2020).
Gibran saat itu mengungkapkan rasa terima kasihnya kepada media yang telah mempopulerkan namanya. Bahkan berkat media usaha kuliner martabaknya menjadi lebih dikenal.
“Kalau nggak dibesarkan sama teman-teman media di sini nggak bakalan jadi apa-apa,” tutur Gibran.
“Jokowi Effect”
Popularitas seorang Gibran bagaimanapun tidak bisa lepas dari peran beberapa media nasional. Namun popularitasnya juga memiliki kaitan erat dengan sosok sang ayah, Jokowi.
Presiden Jokowi kerap membawa serta anak-anaknya termasuk Gibran dalam berbagai kesempatan. Salah satu agenda kenegaraan yang menjadi momentum kemunculan Gibran ialah kehadirannya pada hari pelantikan Jokowi sebagai Presiden Indonesia pada 20 Oktober 2014.
Hubungan erat antara popularitas Jokowi dan Gibran ini diungkapkan oleh Peneliti Departemen Politik Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Arya Fernandes. Dilansir dari kompas (29/10/2019), Arya mengungkapkan popularitas Jokowi menjadi modal besar bagi Gibran.
“Popularitas Jokowi jadi modal besar bagi Gibran,” kata Arya.
“Dinasti politik itu kan bertahan karena salah satunya yaitu pola relasi yang sudah terbangun cukup lama oleh keluarga. Dalam konteks ini, pola relasi terjadi karena pengaruh Jokowi besar di masyarakat Solo, baik sebagai kepala daerah ataupun presiden,” jelasnya.
Arya mengungkapkan keberhasilan Jokowi selama menjadi Walikota Solo dua periode juga menjadi salah satu modal tambahan lain yang juga menguntungkan bagi Gibran. Sosok Jokowi pada selama di Solo cukup disukai oleh masyarakat Solo. Hal ini dinilai sebagai anak tangga yang memudahkan Gibran menjadi Walikota Solo.
“Maka dari itu, kemungkinan juga warga Solo memilih Gibran karena pencapaian dan kinerja Jokowi saat jadi wali kota Solo dan presiden,” tutur Arya.
Selain Arya, pengamat politik dari Indonesia Politica Network (IPN) Ahmed Rumalutur juga mengatakan hal yang serupa. Dilansir dari matamatapolitik (11/2/2020) ia menyebut bahwa majunya Gibran dalam Pilkada Solo tidak bisa dilepaskan dari efek ketenaran Jokowi.
“Namun, saya kira hal itu tak menjamin keberhasilan politik,” tutur Ahmed.
Media ‘Memoles’ Popularitas
Pakar Media Massa, Denis McQuail mengungkapkan salah satu kemampuan dari media massa adalah memberikan popularitas kepada siapa saja yang muncul di media massa. Karakteristik yang dimiliki media itu juga memberikan konsekuensi tersendiri bagi kehidupan politik dan budaya pada dewasa ini.
Dosen Ilmu Komunikasi Bina Nusantara (BINUS), Rahmat Edi Irawan dengan mengutip pendapat dari Adman Nursal mengatakan secara tajam bahwa pencitraan dalam sebuah langkah politik adalah sebuah kewajiban. Bagi seorang yang ingin terjun dalam jabatan politik publik sudah pasti akan melakukan pencitraan salah satunya peran penting televisi dalam menyukseskan seseorang yang berkompetisi dalam politik.
“Media televisi mengangkat citra konstestan pemilu, baik partai politik maupun para politisi,” dikutip dari artikel miliknya yang berjudul “Televisi dan Popularitas Politisi” yang terbit pada tahun 2014.
Ia juga memaparkan tentang ‘agenda setting media’ yang membuat sebuah media akan memilh dan menampilkan berita, editor, staf dan penyiar untuk memainkan sebuah peranan yang penting dalam membentuk realitas politik. Media massa akan menentukan isu tertentu yang dianggapnya penting sehingga mereka akan mengatur berita mana yang akan disuguhkan kepada masyarakat.
“Salah satu teori komunikasi massa yang sudah cukup lama ini seolah dijadikan pembenaran bahwa media massa, termasuk televisi, menjadi satusatunya jalan bagi politisi untuk meningkatkan popularitasnya,” jelas Rahmat.
Rahmat menambahkan untuk menaikan popularitas dengan media televisi tidaklah cukup. Ia menilai membangun popularitas dengan televisi sifatnya mudah rapuh dan tidak kokoh Artinya, akan lebih banyak kegagalan yang ditemui untuk menaikkan tingkat popularitas, jika hanya mengandalkan televisi semata.
“Di luar penggunaan media, tentu saja televisi didalamnya, para aktifis atau pekerja politik tersebut harus membangun kerja politik dan komunikasi politik secara keseluruhan yang baik dan terencana,” tutur Rahmat.
Ia juga memberikan contoh bagaimana peran media televisi yang mempopulerkan aksi blusukan Presiden Jokowi ketika ia masih menjadi Gubernur DKI Jakarta. Melalui media televisi ini membuat aksi blusukan Jokowi dinilai mampu menyelesaikan permasalahan yang terjadi di Jakarta.
“Jelas akan sangat menarik dibandingkan dengan kesukaan para politisi untuk melempar issu, menanggapi issu atau mengomentari issu atau sekedar membuat pernyataan-pernyataan dalam sebuah konferensi pers, yang jelas-jelas hanya menjadikannya sebagai sebuah talking news,” jelasnya.
Penulis: Kukuh Subekti