(IslamToday ID) – Mahkamah Agung (MA) kembali memangkas masa hukuman koruptor melalui mekanisme peninjauan kembali (PK). Terpidana kasus suap sel mewah Lapas Sukamiskin, Fahmi Darmawansyah hanya dihukum 1,5 tahun penjara dari sebelumnya 3,5 tahun.
“Mengabulkan permohonan peninjauan kembali […] Membatalkan putusan pengadilan Tipikor pada PN Bandung No 110/Pid.Sus-TPK/2018/PNBdg tanggal 20 Maret 2019,” tulis putusan yang dikutip Tirto pada hari Senin (14/12/2020).
Fahmi menjalani sidang vonis di PN Bandung pada 20 Maret tahun lalu, sementara MA mengabulkan permohonan PK pada 21 Juli 2020 dengan No 237 PK/Pid.Sus/2020.
Salman Luthan, selaku hakim ketua dan Sofyan Sitompul serta Abdul Latif selaku hakim anggota berpendapat vonis Fahmi bertentangan satu dengan yang lain dan adanya kekhilafan hakim dan atau kekeliruan yang nyata.
Menurut hakim, Fahmi menjadi korban perlakuan tidak sama di antara terpidana di Lapas Klas 1 Sukamiskin Bandung yang sama-sama menikmati fasilitas sel mewah. Hakim juga mempertimbangkan peran Kepala Lapas Sukamiskin, Wahid Husen yang telah membiarkan praktik sel mewah berulang, sehingga pemohon PK (Fahmi) tidak dapat dipersalahkan memperoleh berbagai fasilitas dalam lapas. Hakim juga mengatakan nominal suap relatif kecil.
Pertimbangan lain yang paling mencolok adalah hakim menilai pemberian Fahmi tidak ada hubungannya dengan fasilitas mewah yang diperoleh atau mempengaruhi Husen dalam bertindak dan tidak bertindak.
Beragam hadiah untuk Husen termasuk uang servis mobil, uang menjamu tamu Lapas, tas Louis Vuitton, dan sandal Kenzo dengan total nilai Rp 39 juta. Fahmi juga memberikan mobil Mitsubishi Triton hitam seharga Rp 427 juta. Ia mengatakan itu semua diberikan karena Fahmi dermawan.
“Pemohon PK menyetujui (permintaan mobil oleh Husen) bukan karena adanya fasilitas yang diperoleh pemohon, melainkan karena sifat kedermawanan pemohon,” tulis putusan.
Menyelewengkan arti dermawan, Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) Fakultas Hukum UGM Zaenur Rohman mengatakan keputusan ini sama sekali tidak tepat. Ia tidak berdasarkan pada pasal 263 ayat (2) KUHAP karena tidak ada keadaan baru yang bisa dipertimbangkan dan tidak ada juga pertentangan atau pun kekhilafan majelis dalam memvonis. Ia juga menyoroti pertimbangan kedermawanan.
Menurutnya, argumentasi MA sama saja menormalisasi pemberian suap dan gratifikasi sebagai bentuk kedermawaan, dan itu adalah penyempitan akal sehat. Ia mengatakan berderma itu dilakukan kepada pihak yang membutuhkan dan tanpa kepentingan apa pun, bukan diberikan oleh terpidana untuk penyelenggara negara.
“MA sudah membuat tafsir baru kedermawanan yang menyalahi asas kepatutan. Ini tidak benar,” katanya.
Kurnia Ramadhana, peneliti dari Indonesia Corruption Watch (ICW), juga mendesak MA untuk bisa menjelaskan logika kedermawanan itu. Menurutnya, ini berpotensi merusak keadilan dan merendahkan kepercayaan publik terhadap pengadilan.
“Jadi, salah satu problem pemberian efek jera ada pada vonis hakim itu sendiri,” ujar Kurnia.
Terlebih lagi, ICW mencatat selama semester pertama 2020 telah terjadi stagnasi dalam vonis koruptor: hanya berkisar 3 tahun penjara. Hal itu terjadi pada 796 dari total 1.043 terdakwa yang disidang. Itu juga tidak sebanding dengan kerugian negara yang mesti diganti, Rp 39,2 triliun, sedangkan yang kembali hanya Rp 2,3 triliun.
KPK sebagai pihak yang berhasil menjebloskan Fahmi ke penjara, mengaku mencoba menghormati putusan PK. Meski demikian mereka tetap menyayangkan pertimbangan “kedemawanan”.
Plt Juru Bicara Bidang Penindakan KPK Ali Fikri mengatakan itu dapat membiaskan esensi sebenarnya. Ali menegaskan pemberian kepada penyelenggara negara oleh pihak yang memiliki kepentingan merupakan perbuatan tercela. “Bahkan dalam konteks penegakan hukum, masuk kategori suap atau gratifikasi. Tentu ada ancaman pidananya,” ujarnya. [wip]