(IslamToday ID) – Indonesia Corruption Watch (ICW) menyoroti pelantikan 37 orang untuk mengisi 38 jabatan struktural baru di KPK. ICW khawatir banyaknya anggota Polri menjadi pejabat struktural itu bisa mengikis independensi lembaga tersebut.
“Secara umum, masalah pelantikan pejabat struktural baru KPK dapat dipandang sebagai upaya dari pimpinan untuk makin mengikis independensi kelembagaan,” kata peneliti ICW, Kurnia Ramadhana seperti dikutip dari Republika, Rabu (7/1/2021).
Pada hari Selasa (6/1/2021) Ketua KPK Firli Bahuri melantik 37 orang pegawai KPK untuk menduduki 38 jabatan struktural sebagai tindak lanjut dari pengesahan Peraturan Komisi (Perkom) No 7 Tahun 2020 tentang Organisasi dan Tata Kelola KPK.
Penyebabnya, menurut Kurnia, sejak Firli dilantik sebagai Ketua KPK, terlihat adanya tren pejabat struktural diisi oleh anggota kepolisian.
“Saat ini saja pasca pelantikan, setidaknya ada sembilan perwira tinggi Polri yang bekerja di KPK, di antaranya tujuh orang pada level direktur, seorang pada level deputi, dan seorang pada level pimpinan,” ujar Kurnia
Tidak hanya itu, kebijakan untuk melantik puluhan pejabat KPK itu juga dapat dinilai sebagai tindakan penyalahgunaan kewenangan oleh pimpinan. “Hal itu dikarenakan landasan hukum yang dijadikan dasar pelantikan bermasalah,” ucapnya.
Menurut Kurnia, perubahan regulasi KPK menjadi UU No 19 Tahun 2019 tentang revisi UU KPK tidak diikuti dengan pergantian substansi Pasal 26 dalam UU No 30 Tahun 2002 tentang KPK.
“Artinya, nomenklatur struktur KPK harus kembali merujuk pada Pasal 26 UU No 30/2002 sebagaimana telah diubah dengan UU No 19/2019, yaitu bidang pencegahan, bidang penindakan, bidang informasi dan data, serta bidang pengawasan internal dan pengaduan masyarakat,” kata Kurnia.
Namun, kenyataannya Perkom No 7/2020 malah menambahkan nomenklatur baru, seperti deputi bidang pendidikan dan peran serta masyarakat, inspektorat, staf khusus, dan jabatan lainnya.
“Ini menunjukkan bahwa Keputusan Pimpinan KPK No 1837/2020 tentang Pengangkatan dan Pengukuhan dalam Jabatan Pimpinan Tinggi dan Administrator pada KPK bertentangan dengan UU No 19/2019 dan tidak dapat dibenarkan,” jelasnya.
Nomenklatur baru KPK itu, menurut Kurnia, juga bertolak belakang dengan konsep reformasi birokrasi yang menitikberatkan pada isu efisiensi karena tadinya KPK hanya memiliki empat kedeputian dengan 12 direktorat. Namun, setelah pemberlakuan Perkom No 7/2020, stuktur KPK membengkak menjadi lima kedeputian dengan 21 direktorat.
“Penggemukan ini juga berimplikasi pada pelaksanaan fungsi trigger mechanism KPK,” katanya.
Sebagai lembaga negara, Kurnia melanjutkan sepatutnya menjadi contoh reformasi dan efisiensi birokrasi, legitimasi KPK dalam memberikan masukan untuk perampingan kementerian dan lembaga negara lainnya akan berkurang akibat penggemukan struktur KPK.
Akibat lainnya dari penggemukan ini adalah melambatnya kinerja KPK. Kurnia juga mengatakan terbuka melakukan uji materi untuk Perkom No 7/2020 di Mahkamah Agung.
Menurutnya, Perkom No 7 Tahun 2020 dapat dibatalkan oleh Mahkamah Agung jika ada pengajuan uji materiil terhadapnya, akan makin besar sebab pada prinsipnya, sebuah regulasi yang menjadi turunan dari UU tidak boleh bertentangan satu sama lain. “Perkom No 7/2020 secara terang-terangan bertentangan dengan UU No 19/2019,” ungkap Kurnia.
Masalah lainnya, pelantikan pejabat struktural KPK tersebut akan semakin menurunkan kepercayaan publik kepada KPK. “Penting untuk diingat, sepanjang tahun 2020 setidaknya ada lima lembaga survei yang mengkonfirmasi adanya degradasi kepercayaan publik pada KPK. Semestinya ini menjadi catatan dan evaluasi bagi pimpinan untuk tidak lagi mengeluarkan kebijakan yang keliru,” pungkas Kurnia. [wip]