(IslamToday ID) – Pekan pertama Januari 2021 kemarin diwarnai dengan kelangkaan dan kenaikan harga sejumlah barang. Tahu dan tempe sulit didapat akibat impor kedelai macet, sementara cabai rawit merah menyentuh Rp 100.000 per kg padahal di masa normal hanya Rp 40.000 per kg.
Beberapa komoditas lain pun demikian. Menurut laman infopangan.jakarta.go.id, Jumat (8/1/2021) sore, gula pasir dibanderol Rp 13.500 padahal harga eceran tertinggi (HET) ditetapkan Rp 12.500. Kentang juga naik menjadi Rp 15.146 per kg dari harga normal Rp 12.000.
Harga daging ayam ada di kisaran Rp 35.000-40.000 per kg, naik dari sebelumnya Rp 25.000. Sementara, telur Rp 25.295 per kg dari biasanya dijual dengan harga Rp 22.000-23.000.Dampak kenaikan harga dirasakan banyak pihak, termasuk usaha mikro kecil menengah (UMKM).
Ketua Umum Asosiasi UMKM Indonesia (Akumindo) M Ikhsan Ingratubun mengatakan ongkos produksi jadi lebih mahal, sementara harga jual tidak mungkin dinaikkan mengingat daya beli masyarakat saat ini terbilang rendah. “Kami juga tidak akan mungkin menurunkan kualitas produk, nanti pembelinya lari,” katanya seperti dikutip dari Tirto, Senin (11/1/2021).
Akhirnya, para pelaku usaha hanya bisa bertahan meski keuntungannya tipis. Daya beli yang rendah disebabkan karena pandemi. Banyak yang di-PHK karenanya.
Menurut data Kementerian Keuangan, jumlah buruh/karyawan tetap berkurang 5,62 juta. Sebagian dari mereka beralih ke sektor informal. Buktinya, menurut Kemenkeu pula, buruh informal bertambah 4,55 juta orang. Sebagian dari mereka beralih ke sektor UMKM.
Ikhsan mengatakan di masa pandemi pelaku UMKM ada kenaikan sekitar 15 persen, kurang lebih bertambah 7 jutaan UMKM. Itu termasuk digital. Rata-rata kuliner yang bertambah.
Dengan fakta tersebut, sektor UMKM semestinya jadi jalan keluar atau penyelamat bagi masyarakat yang kehilangan pekerjaan. Namun karena masalah bahan baku, peluang berhasil lewat UMKM bisa saja pupus.
Jangankan yang baru mulai, pelaku usaha yang sudah eksis sebelumnya saja saat ini sesak napas. Bahkan tak sedikit yang mati suri, memilih tutup sementara. Ikhsan mengatakan omzet turun 30-50 persen. “Enggak kembali pulih meski PSBB sudah dibuka lagi. Karena orang banyak kehilangan pekerjaan, ragu keluar, tahan pengeluaran,” terangnya.
Oleh karena itu, Ikhsan meminta pemerintah menyelesaikan permasalahan kenaikan harga bahan pokok. Jangan sampai pelaku UMKM baru dan yang masih bertahan di tengah pandemi semakin terjepit. “Pemerintah harus menjamin ketercukupan itu dan kestabilan harga. Begitu strategisnya bahan baku ini. Kami meminta Kemendag dan Kementan melakukan langkah konkret,” katanya.
“Kalau harga naik terus, keuntungan makin menipis, kami bisa gulung tikar.”
Ketua Bidang Infokom DPP Ikatan Pedagang Pasar Indonesia (Ikappi) Reynaldi Sarijowan mengatakan kenaikan harga saat ini tidak wajar karena daya beli masyarakat belum kembali pulih.
Menurutnya, ada kebijakan mendasar yang selama ini tak terselesaikan dan berlarut-larut. Masalah tersebut adalah kebijakan harga di level petani. Ia menjelaskan, selama ini fluktuasi harga pangan terus terjadi. Jika panen raya maka harga komoditas jatuh sehingga petani merugi, tapi jika bahan sulit maka harganya naik.
“Itu yang harus diubah. Perlu ada pemetaan wilayah produksi, wilayah mana saja yang menjadi penghasil dan wilayah-wilayah mana saja yang kurang produksinya,” katanya.
Bila kondisi ini tak segera diperbaiki, bukan hanya UMKM yang bakal terhuyung-huyung, masyarakat luas juga bisa jadi tak bisa bertahan. Bukan tak mungkin rakyat kalangan ekonomi bawah bakal sulit makan.
Masalah ini telah mendapat perhatian dari Presiden Jokowi. Dalam rapat kerja pembangunan pertanian di Istana, Jakarta, Senin (11/1/2021), Jokowi meminta para pembantunya untuk menyelesaikan komoditas mahal sesegera mungkin.
Sementara dalam jangka panjang, pemerintah bakal mengupayakan agar hal serupa tak terulang dengan cara membangun industri pangan dalam negeri. “Dalam skala yang luas, karena percuma kalau bisa berproduksi tapi sedikit. Enggak ngaruh apa-apa sama yang impor-impor tadi,” kata Jokowi. [wip]