(IslamToday ID) – Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR) telah mengeluarkan aturan terkait pembuatan sertifikat elektronik. Namun yang didahulukan sertifikat elektronik pemerintah daerah (Pemda).
Menyikapi kebijakan itu, Direktur Political and Public Policy Studies (P3S) Jerry Massie menilai langkah ini bukan langkah progres lantaran kebijakan ini dibuat di tengah pandemi Covid-19.
Ini tidak sesuai dengan program Presiden Jokowi pada periode pertama terkait pembuatan jutaan sertifikat tanah bagi warga.
“Tuntaskan dulu program PTSL menuju Indonesia terdaftar 2024 sebagai program strategis nasional agar kualitas data pertanahan terjamin dan sistem pendaftaran tanah diubah menjadi sistem positif yang prioritas dulu,” kata Jerry seperti dikutip dari Radar Bangsa, Senin (15/2/2021).
Elektronik dalam layanan pertanahan yang transparan menggunakan aplikasi Sentuh Tanahku seperti yang diterapkan mantan Kepala Pertanahan Kota Manado Patrick Ekel untuk tracing berkas permohonan.
Terkait sertifikat elektronik, Jerry menjelaskan Kementerian ATR terlebih dulu membersihkan praktik mafia tanah dan para pemalsu surat tanah di Tanah Air.
“Penyerobotan lahan marak terjadi. Memang sebelum Undang-undang Pokok Agraria (UU PA) keluar 24 September 1960 untuk sistem pendaftataran masih dualisme. Dan tokoh nasional kala itu Soepomo mengeluarkan kebijakan pluralisme. Penyerobotan masuk juga dalam UU Tipikor No 31 Tahun 1999 dan No 20 Tahun 2001. Berbeda dengan pemalsuan sertifikat melanggar KUHP Pasal 263 dan terancam 6 tahun penjara,” jelas Jerry.
Jadi, menurutnya, yang dibersihkan terlebih dulu yakni para bandit dan mafia tanah serta sistem transparansi birokrasi baru mengurus sertifikat elektronik.
Perlu juga ditinjau kebijakan sertifikat elektronik sebagaimana Permen ATR/Kepala BPN No 1/2021 dalam konsiderannya dimaksudkan untuk mewujudkan modernisasi pelayanan pertanahan guna meningkatkan indikator kemudahan berusaha dan pelayanan publik kepada masyarakat. Juga perlu mengoptimalkan pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi dengan menerapkan pelayanan pertanahan berbasis elektronik.
Selanjutnya, kata Jerry, pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi mencakup kesiapan tiga perangkat/komponen, yakni hardware, software, dan brainware/humanware.
“Masalahnya kini pada humanware man behind the gun, teknologi hanyalah tools. Reformasi birokrasi masih setengah hati, management by system yang diharapkan hanyalah lipservice dan yang terjadi by person atau berganti kepala berganti kebijakan.”
Sertifikat elektronik membutuhkan syarat kualitas data yang valid agar tidak garbage in, garbage out.
“Selain kualitas data, untuk memberikan kepastian hukum hak atas tanah, sistem pendaftaran tanah harus diubah peraturannya dari sistem negatif ke sistem positif dengan quality insurance. Sebenarnya jaminan kepastian hukum produk inilah dan bukan sekadar modernisasi pelayanan.”
Terakhir, menurutnya, program strategis nasional PTSL dan reformasi agraria dan penyelesaian kasus-kasus tanah yang perlu menjadi perhatian utama untuk diselesaikan, jangan dialihkan dengan sertifikat elektronik yang potensi menimbulkan permasalahan baru yang berakibat tambah carut marutnya masalah tanah di Indonesia. [wip]