ISLAMTODAY ID — Akhir-akhir ini Kehidupan bangsa Indonesia masih kerap terjadi permasalahan yang menyangkut keagamaan. Beberapa masalah keagamaan masih terkait dengan tindakan intoleransi dan kekerasan yang mengatasnamakan agama.
Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Prof Haedar Nashir mengatakan pemikiran mengenai toleransi maupun intoleransi termasuk radikal dan tidak radikal harusnya dikembangkan secara benar dan proporsional. Agar masyarakat tidak salah mengartikan dan tidak serta-merta menentukan parameter intoleransi dengan sendirinya..
“Patokannya harus jelas dan tidak berstandar ganda” ujarnya dalam tulisan ‘Negara Berketuhanan’ di laman web Muhammadiyah, (27/2)
Menurutnya, Agama dapat dijadikan sebagai sumber pedoman hidup bagi bangsa Indonesia. Nilai-nilai agama juga dapat menumbuhkan sikap damai, toleran, moderat, kebersamaan, kepedulian sosial, serta tindakan mulia dalam kehidupan bangsa.
“Pihak yang anti-agama bertentangan dengan Pancasila dan konstitusi Indonesia. Paham kebhinekaan tidak dibenarkan menentang keberadaan agama yang dianut bangsa Indonesia” jelasnya.
Aturan Intoleran Harus Jelas
Untuk menangani kasus intoleransi, menurutnya harus dimaknai dan ditangani secara seksama, dan jangan dijadikan alasan untuk mengambil kebijakan tergesa-gesa.
“Apalagi bila cenderung berat sebelah dan berstandar ganda dengan meletakkan isu intoleransi, radikal, dan sejenisnya pada satu aspek dan entitas kelompok tertentu, sambil menafikan aspek serta kasus dan isu yang sama di kelompok lain hanya karena bermantelkan kebangsaan.” tuturnya.
Ketum PP muhammadiyah mengaitkan masalah tersebut dengan kebijakan yang dikeluarkan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim bersama Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian serta Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas.
Baginya, menerapkan aturan positif dalam SKB tersebut untuk terlaksanakannya ajaran agama guna pembentukan moral dan kemajuan bangsa adalah hal yang tidak bermasalah. Karena, keberadaan agama sudah dengan tegas mengakui di UUD 1945 Pasal 29, dan dalam aturan Pasal 31 UUD 1945 dan UU Nomor 20 Tahun 2003.
Namun jika aturan SKB tersebut memiliki standar yang ganda (bermasalah dikemudian hari) tentu hal itu pemerintah akan dinilai telah mengeluarkan peraturan yang tidak berfaedah.
“Peraturan Daerah di suatu tempat yang mewajibkan ritual keagamaan tertentu yang dapat menyebabkan terhentinya seluruh pelayanan publik dan aktivitas masyarakat semua agama Apakah perda-perda tersebut akan dicabut dan diganti dengan pelarangan?” katanya.
“Sungguh tidaklah bijaksana bila dikeluarkan surat keputusan bersama. Pasti akan menimbulkan penentangan dan kegaduhan. Perlu perenungan yang mendalam sebelum mengambil keputusan karena dampaknya luas” lanjutnya.
Terapkan Prinsip Musyawarah-Mufakat
Untuk menangani kasus intoleran di Indonesia. Ia beri masukan untuk menerapkan prinsip musyawarah-mufakat dan hikmah-kebijaksanaan menjadi acuannya. Bila tidak, kata dia, kebijakan yang tidak musyawarah (tergopoh-gopoh) hanya akan menyelesaikan masalah seketika tetapi menyimpan masalah lain yang dapat menambah rumit kehidupan berbangsa dan bernegara.
“Segenap warga maupun elite bangsa dan kelompok masyarakat mesti bijak dalam berbangsa serta tidak terpapar paham radikal-ekstrem dalam bentuk apa pun, termasuk yang bermuatan alergi dan cenderung anti-agama.” jelasnya.
Ia meminta Negara tidak tebang pilih dalam mengambil kebijakan menyangkut hajat hidup publik.
“Pemerintahan negara harus demokratis dan mau mendengar suara publik yang jernih. Aspek public-good menjadi pertimbangan dalam politik bernegara lebih dari sekadar pertimbangan kekuasaan.”
Ia juga meminta kepada pemerintah untuk menentang tindakan intoleran walaupun kegiatan tersebut memiliki dasar politik legitimasi.
“Negara harus memiliki pemihakan terhadap jaminan hidup beragama” ujarnya.
Penulis: Kanzun Dinan