(IslamToday ID) – Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) merespons keputusan Presiden Jokowi yang mengeluarkan limbah abu terbang dan abu dasar hasil pembakaran batu bara, yang disebut FABA (fly ash and bottom ash) dari kategori limbah bahan berbahaya dan beracun (B3).
Keputusan Jokowi itu terlampir dalam PP No 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan disahkan awal Februari 2021. Ini termasuk peraturan turunan dari UU Omnibus Law Cipta Kerja. Sebelumnya, PP No 101 Tahun 2014 masih menggolongkan FABA sebagai limbah B3.
“Jadi dari Jatam kami usul Pak Presiden dan juga yang di Istana, coba berkantor di dekat PLTU batu bara, coba hirup abu batu bara apakah itu limbah B3 atau bukan. Lalu, lihat juga masyarakat sekitarnya mengalami sesak napas dan paru-parunya ada yang bolong karena abu ini,” ungkap Koordinator Jatam, Merah Johansyah seperti dikutip dari BBC News Indonesia, Jumat (12/3/2021).
Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi menjelaskan, ketika FABA masuk dalam kategori limbah B3 maka akan sulit dimanfaatkan di tengah biaya pengelolaan yang besar.
Penghapusan abu batu bara dari limbah B3 merupakan usulan dari 16 asosiasi yang tergabung dalam Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo).
Tahun 2021, pemerintah memperkirakan terdapat 17 juta ton FABA yang dihasilkan dan pada 2050 diperkirakan mencapai 49 juta ton.
Namun, Jatam menyatakan FABA memiliki dampak buruk bagi kesehatan manusia dan lingkungan karena mengandung arsenik, merkuri, kromium, timbal, dan logam berat lainnya.
Ahli kesehatan paru juga menyebut abu batu bara dapat menyebabkan penyakit disebut coal workers pneumoconiosis yang berisiko menimbulkan kematian.
Dalam bagian penjelasan Pasal 459 PP No 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, abu hasil pembakaran batu bara dari Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) dan kegiatan lainnya tidak termasuk sebagai limbah B3.
Padahal, menurut Johansyah, FABA memiliki beragam partikel beracun, mulai dari arsenik, merkuri, kromium dan logam berat lainnya.
“Dampaknya jika terbang di udara akan menganggu kesehatan pernapasan manusia yang menghirup, lalu kalau mengalir ke air akan merusak biota laut, sungai dan pesisir, dan air juga menjadi asam,” kata Johansyah.
Ia menjelaskan saat FABA masuk dalam limbah B3 saja perusahaan telah abai, apalagi jika dikeluarkan. Ia mencontohkan, 14 orang meninggal dunia akibat FABA yang ditimbulkan PLTU batu bara di Palu.
“Mayoritas meninggal karena kanker nasofaring, paru-paru hitam, dan kanker paru-paru. Lalu di Kalimantan Timur, abunya masuk ke sumber air warga saat hujan, dan terbang masuk ke rumah saat musim kering,” kata Johansyah.
“Perusahaan PTLU akan ugal-ugalan mengelola limbah, terjadi polusi di mana-mana, masyarakat sekitar sakit, dan perusahaan lepas tangan karena tidak termasuk B3 dan bukan tanggung jawab perusahaan. Lalu terjadi konflik,” tambahnya.
Ia juga menegaskan, alasan nilai ekonomis FABA menjadi bahan konstruksi dan bangunan seperti batako, dan semen hanyalah ilusi.
“Itu diciptakan untuk menyembunyikan kepentingan sesungguhnya, yaitu mengurangi biaya perusahaan yang besar dalam mengelola limbah dan melepas tanggung jawab sosial dan kesehatan ke masyarakat,” katanya.
Alasannya adalah pertama, ujar Johansyah, penggunaan FABA sangat berbahaya karena memiliki kandungan racun jika digunakan untuk bahan bangunan yang akan menguapkan saat musim kering.
“Kedua, jumlah FABA yang digunakan itu kecil persentasenya, karena harus dicampur pasir, air, dan unsur lain. Selama ini sudah dijalankan juga, tapi tidak berhasil. Jadi ini hanyalah alasan dan ilusi pura-pura hijau dan peduli lingkungan,” kata Johansyah.
Menurutnya, jika FABA memiliki nilai ekonomis harusnya dikeluarkan regulasi yang memperkuat pemanfaatan, bukan malah mengeluarkannya dari kategori limbah B3.
“Jadi sangat politis mementingkan pengusaha, investor, dan oligarki batu bara, lalu tidak ilmiah alasannya serta menimbulkan beban lingkungan, kesehatan, dan sosial,” katanya.
Senada, peneliti dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Dwi Sawung mengatakan, keputusan ini merupakan jalan pintas yang diambil untuk melepaskan tanggung jawab pengolahan limbah FABA demi efisiensi biaya.
“Di aturan limbah B3 jelas kok, dari pengelolan hingga pemanfaatan. FABA itu banyak unsurnya dan tidak bisa disamaratakan, ada tingkatannya. Jadi harus dites. FABA bisa dimanfaatkan tanpa perlu dikeluarkan dari B3 cuma perusahaan mau ambil jalan singkat dan murah,” katanya.
Penyakit Pernafasan Pneumokoniosis
Guru besar pulmonologi dan ilmu kedokteran respirasi dari Universitas Indonesia (UI), Faisal Yunus menjelaskan abu batu bara dapat menciptakan penyakit pernapasan yang disebut pneumokoniosis pekerja tambang (coal worker pneumoconiosis), karena terjadi endapan elemen dari abu batu bara yang bersifat anorganik (tidak hidup) dalam paru-paru.
“Abu batu bara masuk ke tubuh bisa langsung bereaksi dan bisa juga butuh waktu lama 10-15 tahun karena bersifat jinak, tergantung beberapa syarat,” katanya.
Abu batu bara berbahaya jika memiliki konsentrasi yang tinggi, mengandung silikon bebas, masyarakat sekitar PLTU memiliki kesehatan yang rendah, dan memiliki penyakit tuberkolosisi.
“Abu batu bara akan menjadi jahat karena terjadi komplikasi. Gejalanya batuk-batuk, dahak warna hitam, sesak napas, hingga gagal pernapasan yang menyebabkan kematian,” katanya.
Apindo Sambut Baik
Ketua Umum Apindo, Hariyadi Sukamdani menyambut baik keputusan pemerintah yang mengeluarkan FABA dari kategori limbah B3.
“FABA dari kajian akademik itu bukan B3, malah bisa didaur ulang dan mempunyai nilai ekonomis, ditimbang ditumpuk jadi hamparan yang akan mencemari tanah dan timbul masalah baru,” kata Hariyadi.
Ia menjelaskan, negara lain mendaur ulang FABA untuk dijadikan bahan bangunan dan konstruksi.
“Jadi saya tidak tahu kalau ada aktivis lingkungan yang mempersalahkan itu. Ya bagaimana, kita lihat saja kenyatannya, di negara lain justru diolah dan menjadi berfungsi karena punya nilai komersil,” katanya.
Pertengahan tahun lalu, 16 asosiasi di Apindo mengusulkan penghapusan abu batu bara dari daftar limbah B3. Industri Indonesia menghasilkan FABA sebanyak 10-15 juta ton per tahun dengan tingkat pemanfaatan hanya 0 sampai 0,96 persen untuk pemanfaatan fly ash dan 0,05 sampai 1,98 persen untuk pemanfaatan bottom ash. [wip]