(IslamToday ID) – LBH Jakarta menilai penggusuran paksa oleh anak usaha PT Pertamina terhadap warga Gang Buntu II, Pancoran, Jakarta Selatan dengan melibatkan organisasi masyarakat (ormas) merupakan pelanggaran HAM berat.
Dalam pernyataan resminya, LBH Jakarta menyebut tindakan itu merupakan bentuk main hakim sendiri. Sebab, sebagaimana diketahui sebelumnya sengketa lahan tersebut masih dalam proses persidangan di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan.
“LBH Jakarta sangat menyesalkan tindakan main hakim sendiri yang dilakukan PT Pertamina,” sebagaimana dikutip dari keterangan resmi, Sabtu (20/3/2021).
Menurut LBH Jakarta, Pertamina mestinya menghormati proses hukum yang sedang berjalan. UU No 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan dengan tegas bahwa pelaksanaan putusan pengadilan perdata dilakukan oleh panitera dan juru sita. Keduanya dipimpin ketua pengadilan.
“Bukan oleh preman atau pihak swasta manapun,” cetus pernyataan LBH Jakarta itu seperti dikutip dari CNN Indonesia.
LBH Jakarta juga menyebutkan bahwa penggusuran paksa yang disertai intimidasi ini mengabaikan musyawarah, pencarian solusi, dan ketentuan lainnya yang berkaitan dengan perlindungan warga terdampak pembangunan.
“Warga Pancoran yang merupakan bagian dari kelompok masyarakat miskin, buta hukum dan tertindas sejatinya sedang mempertahankan hak atas tempat tinggalnya,” tulis rilis tersebut.
Tindakan penggusuran paksa ini, menurut LBH Jakarta, merupakan bentuk pelanggaran HAM berat. Hal ini merujuk pada resolusi Komisi HAM PBB No 77 Tahun 1993. Terlebih, persidangan masih berlangsung.
“Yang menegaskan bahwa penggusuran paksa adalah gross violation of human rights atau pelanggaran HAM berat,” tulis LBH Jakarta.
Selain itu, LBH Jakarta juga menduga Polri telah melakukan pembiaran atas penggusuran paksa itu.
“Dilakukan oleh sekelompok preman dan ormas yang ditengarai suruhan PT Pertamina terhadap warga Gang Buntu 2,” ungkap LBH Jakarta.
Terpisah, kuasa hukum ahli waris pemilik lahan di Pancoran Mangkusasmito Sanjoto, Edi Danggur menilai kepolisian tidak netral dalam kasus sengketa lahan itu.
Indikasinya, kata Edi, polisi mengawal buldozer yang meratakan rumah-rumah warga. Tindakan pengawalan itu oleh Edi dinilai sebagai bentuk persetujuan polisi atas penggusuran di Gang Buntu II Pancoran.
“Datang mengawal orang membuldozer kan dianggap mereka menyetujui tindakan pembuldozeran itu dong,” kata Edi.
Menurut istilah hukum, katanya, itu dikenal dengan prinsip silence can be mouth as acceptance, yang berarti dianggap menerima jika memilih diam ketika terjadi pelanggaran hukum. “Ya dia dianggap mendukung dong atau menerima tindakan itu,” kata Edi.
Ia juga menepis rilis Pertamina yang menyatakan tidak mengerahkan Brimob, polisi, dan ormas. Sebab, berdasarkan foto-foto yang ia dapatkan, terdapat anggota Brimob yang tengah menenteng senjata mengawal pembongkaran rumah di Pancoran.
Pada gambar lain yang Edi tunjukkan, tampak dua orang Brimob mengendarai motor trail dengan senjata lengkap di salah satu gang warga.
Pada foto yang lain, tampak sekitar 12 anggota Brimob tengah berkumpul di sekolah PAUD milik warga. Sekumpulan ormas dengan seragam oranye juga tampak sedang mengawal buldozer. “Bukankah foto-foto ini yang bisa bicara jujur?” kata Edi.
“Memperjuangkan hak itu kan tidak pakai ormas pemuda, tidak boleh pakai polisi juga. Apa urusan polisi?” protesnya.
Saat dikonfirmasi, Kapolres Jakarta Selatan Kombes Pol Aziz Andriansyah meminta agar tudingan polisi tidak netral ditanyakan kembali pada pihak yang bersangkutan. “Coba tanyakan ulang kepada yang bersangkutan, benar nggak keterangannya,” kata Aziz.
Sebelumnya, ahli waris keluarga Sanjoto tengah bersengketa dengan Pertamina atas lahan seluas 4,8 hektare di Gang Buntu II, Pancoran, Jakarta Selatan. Masing-masing pihak mengaku sebagai pemilik sah atas tanah.
Sebelumnya, PT Pertamina (Persero) mengklaim upaya mengambil kembali aset tanah di Pancoran itu sudah sesuai prosedur. Mereka juga membantah melibatkan ormas tertentu. Pihaknya hanya melibatkan pendampingan dari pihak kepolisian.
“Sampai saat ini, sudah lebih dari 75 persen lahan telah dikembalikan kepada Pertamina, dan semua kami lakukan sesuai prosedur dan tidak ada cara-cara anarkis menggunakan ormas tertentu pada proses pemulihan aset,” kata SVP Corporate Communication and Investor Relation Pertamina, Agus Suprijanto. [wip]