(IslamToday ID) – Pakar hukum Prof Asep Warlan Yusuf menyayangkan perlakuan tidak adil yang dialami Habib Rizieq Shihab (HRS). Ia mengkhawatirkan dampak perlakuan itu bisa mempengaruhi kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum.
Prof Asep menyebut perlakuan hakim dan jaksa terhadap HRS dalam sidang sangat menentukan arah persepsi publik. Segala tindak tanduk dalam persidangan akan menimbulkan kehebohan karena kasus HRS menyita perhatian publik.
“Nah misal lihat dialog jaksa dengan Habib, malah kesankan Habib dizalimi. Cara komunikasinya jaksa buruk sekali. Kasus ini mesti diselesaikan secara baik dan terhormat,” kata Prof Asep seperti dikutip dari Republika, Senin (22/3/2021).
Ia mengingatkan majelis hakim dan jaksa agar mempertimbangkan masifnya pendukung HRS dalam penanganan kasus ini. Jika ketidakadilan urung tercipta, maka sosio-psikologis pendukung HRS bakal terusik. Tak menutup kemungkinan akibatnya mereka bisa saja melakukan tindakan di luar hukum.
“Proses hukum HRS harus sesuai prosedur biar dampaknya pendukung HRS reda emosinya, tak lagi mempertanyakan atau meragukan hukum,” ujar pengajar di Univeristas Katolik Parahyangan itu.
Keadilan dalam kasus HRS bisa dimulai dari memenuhi tuntutan HRS menggelar sidang tatap muka. “Kalau hakimnya objektif, imparsial, mereka betul-betul tidak diskriminatif, mungkin tidak ada tekanan dari masyarakat atau pendukung HRS,” lanjut Prof Asep.
Sementara itu, anggota Komisi III DPR, Romo HR Muhammad Syafi’i pesimistis dapat terciptanya penegakan hukum dalam penanganan kasus HRS. Ia menyoroti pelanggaran hukum dalam penanganan kasus terkait kerumunan massa yang dianggap melanggar protokol kesehatan (prokes) Covid-19.
Romo Syafi’i, panggilan akrabnya, menjabarkan sejumlah pelanggaran hukum dalam penanganan kasus HRS. Pertama, hakim menganggap Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No 4 Tahun 2020 lebih tinggi dari undang-undang (UU). Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menyatakan terdakwa wajib dihadirkan dalam persidangan.
Sedangkan Perma mengatakan boleh tak menghadirkan. “Hakim malah memilih Perma yang derajat kekuatannya jauh di bawah UU (KUHAP),” kata anggota Fraksi Gerindra itu.
Pelanggaran kedua, Syafi’i menyebut majelis hakim tetap menggelar sidang tanpa kehadiran terdakwa di pengadilan. Padahal, sambungnya, terdakwa mendesak dihadirkan di sidang pengadilan. Pelanggaran ketiga, hakim dan jaksa dihadirkan di pengadilan tapi terdakwa dan tim pembela hukum dihalangi hadir di pengadilan.
“Ada kata-kata ‘biadab’ dari oknum jaksa penuntut umum untuk memaksa HRS mengikuti sidang online. Jaksa meminta terdakwa dihadirkan apapun caranya. Bukan cara hukum berarti karena ada kata apapun caranya. Dan memang HRS akhirnya didorong, dipaksa, dan dihinakan,” ujar Syafi’i.
Oleh karena itu, Syafi’i menyimpulkan, penanganan kasus HRS jauh dari prinsip penegakan hukum yang adil. “Saya menilai kasus HRS adalah kasus politik bukan kasus hukum. Penanganan kasus HRS ini bukan penegakan hukum tapi pelanggaran hukum,” tegas Syafi’i.
Ia menekankan supaya preseden buruk selama penanganan kasus HRS harus dihentikan. “Karena rakyat Indonesia tidak bodoh dan tidak buta hukum. Meski ada oknum penegak hukum yang sudah kehilangan hati nurani, tapi masih banyak dari mereka yang memiliki hati nurani sama dengan nurani rakyat yang mendambakan penegakan hukum yang benar, jujur, dan adil,” ucap Syafi’i. [wip]