ISLAMTODAY ID — Kasus tindak kejahatan serta kekerasan terhadap perempuan di Indonesia masih kerap terjadi, jumlahnya bahkan di tahun 2020 mencapai 299.911 kasus. Berdasarkan catatan akhir tahun Komnas Perempuan 2020, dari 299.911 kasus, kasus yang ditangani pengadilan sejumlah 291.677 kasus, sementara lembaga layanan mitra Komnas Perempuan sejumlah 8.234 kasus.
Adapun Dari 8.234 kasus yang ditangani oleh lembaga layanan mitra Komnas Perempuan, jenis kekerasan terhadap perempuan tercatat kekerasan terhadap istri (KTI) menempati peringkat pertama dengan 3.221 kasus, kekerasan dalam pacaran 1.309 kasus, kekerasan terhadap anak perempuan sebanyak 954 kasus, dan sisanya kekerasan oleh mantan pacar, mantan suami, serta kekerasan terhadap pekerja rumah tangga.
Menanggapi hal tersebut, Peneliti The Center for Gender Studies (CGS), Esty Dyah Imaniar mengecam tindakan kejahatan seksual tersebut.
“Saya sangat mengecam segala tindak kejahatan seksual tersebut, apapun bentuknya. Bagi saya tidak ada pelecehan seksual sederhana atau serius karena keduanya mencerminkan rusaknya akhlak pelaku yang sekaligus akan merusak pribadi (fisik hingga mental) korban dalam jangka panjang.” ujarnya saat dihubungi IslamToday, Jum’at (12/3/2021).
Urgensi Revisi Terhadap RUU P-KS
Menurutnya, RUU P-KS harus dilakukan revisi terlebih dahulu. Jika tidak dilakukan revisi, ia menolak adanya RUU tersebut.
Beberapa penolakan menurutnya, batasan definisi dan penggantian terma kekerasan menjadi kejahatan seksual agar upaya perlindungan korban yang dimaksud dapat melingkupi lebih banyak pihak.
“Dalam tatarannya sebagai lex spesialis, keberadaan RUU P-KS ini memang dibutuhkan. Akan tetapi, jika berbicara tentang perangkat hukum, pembentukan dan pengesahan UU tidak bisa dilepaskan dari nilai-nilai kebangsaan dan “nalar publik” yang berlaku dalam menerjemahkan peraturan tersebut. Seperti yang diketahui, perdebatan seputar RUU P-KS ini bukan pada penting atau tidak penting (terapan praktis di lapangan), melainkan pada paradigma hukum (asas filosofis di rancangan perundangan), yakni pembatasan kekerasan pada konsep ada tidaknya persetujuan seksual (sexual consent)” jelas Esty.
Penegakan Hukum
Berdasarkan pemaparan tim riset The Center for Gender Studies, hingga saat ini masih terdapat hambatan dan permasalahan dalam penanganan kejahatan seksual, utamanya dari proses penegakan hukum yang ada.
Jika diketahui mengenai penanganan kekerasan terhadap perempuan, Pemerintah sendiri sudah memiliki sejumlah aturan. Seperti, kejahatan seksual yang diatur dalam KUHP, yaitu perzinaan (pasal 284), perkosaan (pasal 285), persetubuhan dengan perempuan di bawah umur (pasal 289), pencabulan (pasal 289-294), aborsi (pasal 299), dan lain sebagainya.
Akan tetapi, lanjutnya, dalam pelaksanaannya, masih ada hambatan. Beberapa hambatan tersebut adalah waktu pemrosesan laporan yang lama, korban yang terkatung-katung, hingga pencabutan laporan.
Ia juga menuturkan bahwa perangkat hukum yang ada bukan tidak bisa digunakan untuk menyelesaikan kasus perkosaan, pelecehan, pada perempuan. Masalahnya justru hadir karena beberapa kejahatan seksual belum diatur dalam perangkat perundangan yang ada, dan yang juga diusulkan dalam RUU PKS (Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan), seperti perzinaan di luar pernikahan, hubungan seksual dengan hewan (beastilitas), dan perilaku seksual berbahaya lain yang bersembunyi di balik kuasa persetujuan seksual.
“Untuk itulah pihak-pihak yang melakukan kritik terhadap RUU PKS berulang kali menekankan perubahan paradigma sexual consent dalam perundangan tersebut. Sebab tidak semua kekerasan terhadap perempuan dapat dibuktikan jika parameter yang digunakan adalah ada atau tidak adanya persetujuan” jelas Esty.
“Sementara kriteria persetujuan yang dimaksud masih tidak jelas. Bagaimana negara bisa menawarkan perlindungan dengan sesuatu yang bahkan tidak bisa melindungi diri dari definisinya sendiri?” tandasnya.
Sebagai bacaan tambahan, berikut adalah tulisan Esty Dyah Imaniar terkait kritik dan saran untuk RUU P-KS, dengan judul Problematika Sexual Consent sebagai Paradigma Penghapusan Kekerasan Seksual
Reporter : Kanzun Dinan