ISLAMTODAY ID — Berdasarkan data laporan yang masuk dalam Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMPONI PPA) yang dirilis oleh, Menteri Pemberdayaan Perempuan pada tahun 2020, tercatat 6.554 kasus kekerasan terhadap perempuan dengan korban mencapai 6.620 korban.
Kepala Program Studi Doktor Ilmu al-Quran dan Tafsir di Institut PTIQ Jakarta, Dr. Hj. Nur Arfiyah Febriani, mengatakan angka tersebut menandakan bahwa masih rendahnya penghargaan untuk para wanita di Indonesia.
“Kekerasan meningkat kepada Perempuan? Indonesia jangan mundur ke zaman jahiliyah” pungkasnya saat dihubungi IslamToday. Senin, (12/3/2021)
Peran Laki-laki dan Perempuan dalam Islam
Jika melihat Al-Qur’an, kurangnya penghargaan kepada perempuan tak sesuai dengan ayat Al-Qur’an yaitu (Q.S al-An’am [6]: 2. Padahal di dalam surat tersebut sudah dijelaskan perempuan dan Laki-laki merupakan manusia yang diciptakan oleh Allah dari tanah. Selain itu, dituliskan juga dalam surat al-Sajadah [32] 7, Shad [38]: 71.
Tak hanya itu, ia juga mengatakan bahwa setiap makhluk ciptaan Allah diciptakan memiliki kelebihan masing-masing, demikian bagi laki-laki dan perempuan tidak boleh iri hati dengan kelebihan masing-masing (Q.S. al-Nisa [4]: 32), ini karena diciptakan setiap makhluk berpasangan adalah agar pasangan tersebut dapat melakukan perannya secara kooperatif dan saling melengkapi (Q.S. al-Dzariyat [51]: 49).
Oleh sebab itu, ungkapan laki-laki lebih unggul dari perempuan seperti ungkapan kesombongan Iblis yang menyatakan dirinya lebih unggul dari Adam (Q.S. al-A’raf [7]: 12 dan Shad [38: 76).
Adapun, kelebihan laki-laki atas perempuan yang diungkap dalam Q.S al-Nisa [4]: 34, adalah dalam hal menafkahkan hartanya kepada isterinya, bukan dalam segala lini kehidupan. Al-Quran Justru mengajarkan agar laki-laki dan perempuan menjadi umat terbaik dengan saling mengajak kepada kebaikan dan menjauhi perbuatan munkar (Q.S. Ali ‘Imran [3]: 104).
“Hal ini tidak dapat optimal dilakukan tanpa prinsip kesetaraan antara laki-laki dan perempuan sebagai khalifah fi al-ard/ representasi Tuhan untuk menjaga, mengatur dan memakmurkan bumi. Bukankah medan listrik positif tidak akan berfungsi tanpa medan listrik negatif? Demikian dengan laki-laki dan perempuan yang tidak sempurna eksistensinya tanpa pasangannya.” pungkasnya.
Hulu Permasalahan
Menurut Dr. Nur Arfiyah Febriani mengurai benang kusut ketimpangan gender yang salah satu imbasnya adalah kekerasan terhadap perempuan harus dimulai dari hulunya yaitu stereotip perempuan dengan legitimasi kitab suci dan hadis Nabi, serta budaya patriarki.
Dengan demikian, jika terdapat pemahaman yang mendiskreditkan salah satu kelompok dari umat manusia bahkan alam raya, maka umara dan ulama selayaknya duduk bersama untuk melakukan upaya reinterpretasi dan reorientasi paradigma masyarakat sebagai tanggung jawab politis dan akademis mereka.
“Ini karena ulama/saintis dan umara/para pemangku kebijakan yang menurut Max Weber adalah 2 kelompok yang memiliki power untuk didengar dan ditaati masyarakat”.
Pendidikan Relasi Gender
Kemudian, satu hal yang tidak kalah penting untuk dilakukan yaitu pendidikan relasi gender. pendidikan relasi gender bagi para laki-laki dan perempuan tidak boleh kalah masif, terutama bagi masyarakat awam.
Menurutnya, kajian gender malah lebih digandrungi perempuan yang justru jadi korbannya, walaupun banyak juga laki-laki yang memiliki atensi dan mengapresiasi upaya reinterpretasi ayat-ayat terkait relasi gender. Menurutnya, setelah belajar tentang kajian gender dalam Islam, perempuan mengerti tentang hak dan kewajibannya sebagai seorang anak, ibu dan isteri dalam ruang domestik dan publiknya. Sayangnya, pemahaman tersebut malah membuat perempuan terancam.
“Rasa terancam laki-laki (dari pihak keluarga) membatasi perempuan dengan alasan yang justeru tidak logis, seperti tidak bermanfaat bagi kehidupan rumah tangga, mengajarkan melawan suami, jika perempuan berkarir rumah tangga hancur” katanya.
Rasulullah SAW telah menghapuskan praktik jahiliah tentang perbudakan/penjualan manusia dan perempuan, perempuan yang sebelum Islam datang menjadi bagian materi waris bertransformasi sebagai perempuan yang berhak mendapatkan waris, perempuan yang dianggap the second sex tidak dihargai “keberadaannya” kemudian dimuliakan dengan diberi kesempatan andil dalam dunia politik dengan berbaiat dan kebebasan bertanggungjawab mengungkap pendapat.
“Reorientasi relasi gender yang harmonis antara laki-laki dan perempuan yang telah diajarkan Nabi dan para tokoh agama lainnya perlu dikemas dengan cara yang mengikuti trend kontemporer bukan hanya pengajian luring tapi juga daring agar dapat mudah diterima oleh masyarakat, terlebih dalam suasana pandemi seperti ini”.
Reporter: Kanzun Dinan