(IslamToday ID) – Ekonom INDEF Bhima Yudistira mengkhawatirkan kemampuan pemerintah membayar utang karena rasio utang tahun ini diperkirakan tembus 50-55 persen.
Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat utang pemerintah per akhir Maret 2021 berada di angka Rp 6.445,07 triliun dengan rasio utang terhadap PDB sebesar 41,64 persen.
“Dengan naiknya utang, sayangnya rasio pajak terus menurun, ini bisa kesulitan bayar,” kata Bhima seperti dikutip dari Sindo News, Kamis (29/4/2021).
Imbasnya pemerintah harus menerbitkan utang baru lagi yang kadang dengan bunga yang lebih tinggi. Kondisi ini menyebabkan overhang utang, dimana beban utang yang makin besar hambat pertumbuhan ekonomi.
“Saat ini 19 persen belanja pemerintah pusat habis untuk bayar bunga utang. Jadi 19 persen itu harusnya jadi stimulus ke sektor riil, tapi lari ke bayar bunga utang. Tentu ini bahaya debt overhang,” bebernya
Dalam kesempatan yang sama, Ekonom INDEF Nailul Huda mengatakan masalah utang memang perlu ditanggapi dengan serius.
“Kondisi tersebut sangat mengkhawatirkan mengingat kondisi perekonomian belum pasti, namun sudah terbebani dengan utang yang terus menumpuk,” katanya.
Telebih debt service ratio (DSR) juga meningkat yang menunjukkan penambahan utang tidak disertai dengan peningkatan kinerja komponen penambah devisa seperti ekspor. “Hal tersebut akan diperparah jika nilai tukar rupiah terhadap dolar melemah, maka akan semakin mengkhawatirkan,” tandasnya.
Sementara, ekonom senior Rizal Ramli kembali melontarkan kritik keras pada Menteri Keuangan Sri Mulyani. Kali ini ia menyebut Sri Mulyani sebagai SPG Bank Dunia dan IMF karena pemerintah Indonesia meminta bantuan kepada kedua lembaga tersebut dalam mengelola beban utang.
“Dasar SPG Bank Dunia/IMF,” tulisnya di akun Twitter @RamliRizal menyertakan emotikon tertawa ramah, Sabtu (17/4/2021).
Rizal Ramli mewanti-wanti dengan melibatkan Bank Dunia dan IMF dalam urusan keuangan dalam negeri, Indonesia berpeluang seperti krisis 1998. “Undang IMF lagi, ekonomi Indonesia akan semakin hancur seperti 1998!” ujarnya.
Kritik Rizal Ramli yang menyebut Sri Mulyani sebagai SPG Bank Dunia juga pernah disampaikan atas kebijakan pemerintah menaikkan yield atau imbal hasil dari Surat Utang Negara (SUN) yang tinggi.
Hal itu dinilai menguntungkan lembaga pemberi pinjaman internasional, salah satunya Bank Dunia.
Lebih lanjut, di mata Rizal Ramli penambahan utang adalah jurus aji mumpung yang diperlihatkan Sri Mulyani memanfaatkan badai Covid-19. Ini juga semakin memperkuat dugaan bahwa Sri Mulyani hanya berperan sebagai SPG bagi lembaga pengucur utang seperti IMF dan Bang Dunia.
Diprediksi 2021 Makin Buruk
Kondisi perekonomian nasional pada tahun 2021 diprediksi bakal semakin buruk akibat besarnya akumulasi defisit APBN dan rapuhnya ketahanan fiskal.
Hal itu di ungkapkan oleh Managing Director PEPS, Anthony Budiawan saat menjadi narasumber dalam diskusi daring Pergerakan Indonesia Maju (PIM) bertajuk “Outlook 2021: National Economic Outlook”, 14 Januari 2021 lalu.
“Outlook 2021 suram. Defisit meningkat tajam dan akhirnya rasio utang meningkat tajam. Defisit anggaran 2020, 2021, 2022: Rp 1.000 triliun lebih membuat ketahanan fiskal kita rapuh,” kata Anthony.
Ia kemudian menguraikan rasio pendapatan negara hanya berkisar pada angka 10,6 persen di tahun 2020. Kemudian rasio penerimaan pajak sebesar 8,3 persen dan rasio beban bunga 2,3 persen.
“Kalau beban bunganya itu 2,3 persen, jadi untuk belanja negara itu sangat sedikit,” ujarnya.
Dari sisi utang, Anthony menjelaskan rasio utang pemerintah naik dari 24 persen menjadi 39 persen di tahun 2020. Ia memperkirakan tahun 2022 mendatang sekitar 55 persen bahkan mendekati batas UU, yakni 60 persen. Kenaikan juga terjadi pada rasio beban bunga dari 1,2 persen menjadi 2,3 persen di tahun 2020.
“Dengan pendapatan negara 10,6 persen, dengan 2,3 persennya untuk membayar bunga, maka itu sudah tidak sustain lagi, sudah tidak sehat lagi. Ini harus dilakukan restrukturisasi di dalam nilai fiskal,” jelasnya.
Anthony mengurai, pada tahun 2020 kemarin, pendapatan negara hanya Rp 1.633,6 triliun, rasio pendapatan negara 10,6 persen, dan belanja negara Rp 2.589 yang kemudian naik menjadi Rp 279 triliun.
“Lalu defisit anggaran Rp 956,3 triliun. Utang Rp 1.226,8 triliun (naik Rp 789 triliun). Lebih: Rp 270,5 triliun. Pandangan saya ke depannya ini kita masih defisit Rp 1.000 triliun,” tandasnya. [wip]