(IslamToday ID) – Pemerintah melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu) berencana menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Dalihnya untuk melakukan reformasi perpajakan yang sehat, adil, dan kompetitif.
Rencana tarif PPN itu mencuat dalam paparan Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati di acara Musrenbangnas 2021 secara virtual, Selasa (4/5/2021).
“Dari sisi perpajakan atau pendapatan negara yaitu bagaimana menggali potensi dan peningkatan tax rasio perluasan basis pajak, terutama dengan adanya era digital ekonomi dan e-commerce. Kita juga akan melaksanakan cukai plastik dan tarif PPN yang akan dibahas di dalam undang-undang ke depan,” jelas Sri Mulyani seperti dikutip dari CNBC Indonesia.
Sistem perpajakan yang sejalan dengan struktur perekonomian, katanya, akan memberikan kontribusi perpajakan yang lebih seimbang dan tidak tergantung kepada satu atau dua sektor tertentu saja.
Pasalnya, lanjut Sri Mulyani, saat ini perekonomian Indonesia semakin terdiversifikasi dari sektor primer seperti pertanian, perkebunan, pertambangan. Hingga sektor sekunder seperti dari sisi manufaktur, juga perdagangan dan jasa.
“Semuanya memberikan kontribusi yang seharusnya terefleksikan dalam penerimaan negara,” ungkapnya.
Spesifiknya, kenaikan PPN bertujuan untuk mengoptimalkan penerimaan pajak, sehingga harapannya bisa mencapai target 2022. Adapun dalam rencana postur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2022, otoritas mematok outlook penerimaan perpajakan sebesar Rp 1.499,3 triliun hingga Rp 1.528,7 triliun.
Angka tersebut 8,37 persen hingga 8,42 persen year on year (yoy) dari proyeksi penerimaan perpajakan tahun ini senilai Rp 1.444,5 triliun. “Kenaikan tarif PPN akan dibahas dalam undang-undang ke depan,” kata Sri Mulyani.
Adapun dalam UU No 42 Tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah mengisyaratkan tarif PPN dapat berada di kisaran 5-15 persen. Artinya, meskipun saat ini pemerintah telah menetapkan tarif PPN 10 persen, pemberlakuan tarif 15 persen bisa diterapkan apabila ada peraturan pemerintah (PP) terkait atau revisi UU No 42/2009.
Kendati demikian, belum jelas berapa besar rencana kenaikan tarif PPN tersebut. Juga belum ada informasi, apakah PPN yang akan dinaikkan tersebut bakal menyasar sektor barang atau jasa.
Plt Kepala Pusat Kebijakan Pendapatan Negara Badan kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu, Pande Putu Oka mengatakan saat ini pihaknya masih melakukan kajian.
“Berbagai alternatif kebijakan untuk meningkatkan penerimaan terus dibahas dengan memperhatikan kondisi ekonomi dan mempertimbangkan berbagai aspek lainnya untuk dapat memutuskan kebijakan yang tepat,” ujarnya.
PPN adalah pungutan yang dibebankan atas transaksi jual beli barang dan jasa yang dilakukan oleh wajib pajak pribadi atau wajib pajak badan yang telah menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP).
Beban Berat Masyarakat
Direktur Eksekutif Institute for Development on Economics and Finance (INDEF) Tauhid Ahmad mengatakan, rencana kenaikan tarif PPN sebaiknya diurungkan.
Ia mengatakan, kenaikan ini akan menjadi beban masyarakat karena harga barang dan jasa semakin mahal. Sementara, daya beli masyarakat masih lemah akibat pandemi Covid-19.
“Kalau PPN dinaikkan, maka bukan hanya masyarakat yang terbebani, pengusaha juga akan dirugikan karena menurunnya konsumsi masyarakat yang mengakibatkan volume penjualan juga turun,” kata Tauhid seperti dikutip dari KataData, Kamis (6/5/2021).
Ia mengatakan, daya beli masyarakat saat ini belum sepenuhnya pulih. Apalagi, ekonomi Indonesia saat ini masih dalam pemulihan di tengah pandemi.
“Justru aneh, di tengah pemulihan kok malah PPN dinaikkan. Kalau begini, pajak bukan lagi berfungsi untuk meningkatkan perekonomian, tapi akan menjadi beban,” kata Tauhid.
Ia menyebut rencana kenaikan sebesar 5 persen terlalu tinggi. Jika memang ada kenaikkan, harus mempertimbangkan kemampuan konsumen dan dampaknya bagi pengusaha. Pemerintah harus mempertimbangkan dampak jangka pendek dan menengah dari kebijakan ini.
Ketua Umum Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) Alphonzus Widjaja juga mengatakan, sebaiknya rencana kenaikan tarif PPN ditunda karena kondisi perekonomian masih belum pulih.
“Malah saat ini seharusnya pemerintah membebaskan PPN atau paling tidak menguranginya untuk dapat mendongkrak konsumsi dan perdagangan dalam negeri, agar Indonesia bisa secepatnya keluar dari resesi,” katanya.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyatakan, rencana kenaikan PPN masih dibahas dan berkaitan dengan pembahasan undang-undang yang diajukan ke DPR yaitu RUU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).
“Ini seluruhnya akan dibahas oleh pemerintah dan nanti pada waktunya akan disampaikan kepada publik,” kata Airlangga dalam Konferensi Pers Perkembangan dan Upaya Pemulihan Ekonomi Nasional, Rabu (5/5/2021).
Pemerintah Tak Adil
Anggota Komisi XI DPR RI Mukhammad Misbakhun menolak adanya rencana kenaikan tarif PPN tersebut. Menurutnya, wacana tersebut kontraproduktif dengan kebijakan pemerintah saat ini yang justru memberikan relaksasi perpajakan.
Misalnya diskon PPN atas properti, diskon pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) kendaraan bermotor, hingga penurunan tarif Pajak Penghasilan (PPh) badan. Ia mengatakan tidak adil rasanya jika pemerintah menurunkan tarif PPh badan, tapi malah meningkatkan tarif pajak atas konsumen.
Meskipun rencana kenaikan tarif PPN baru bisa diterapkan paling cepat pada tahun 2022, Misbakhun menilai kondisi ekonomi tahun depan masih dalam proses pemulihan. Sehingga, daya beli masyarakat diperkirakan belum sepenuhnya pulih.
Toh, defisit APBN masih diperbolehkan berada di atas 3 persen pada tahun 2022. Menurut Misbakhun cara tersebut bukanlah satu-satunya untuk meningkatkan penerimaan pajak yang mampu menutupi defisit tahun depan.
Menurutnya, untuk mengoptimalkan PPN caranya bukan hanya terbatas pada peningkatan tarif. Misalnya menerapkan skema Goods and Services Tax (GST) yang merupakan PPN berbasis pada tujuan dan dibebankan pada produksi, penjualan, serta konsumsi barang dan jasa yang belum memiliki nilai tambah di setiap tahapan.
Skema GST telah digunakan oleh berbagai negara, misalnya Singapura. Perbedaannya mekanisme PPN yang berlaku di Indonesia yakni merupakan pajak tidak langsung yang dikenakan pada konsumen, yang dipungut oleh badan usaha atau produsen pada setiap penjualan yang dilakukan. PPN dikenakan pada setiap barang yang memiliki nilai tambah di berbagai tingkat penjualan. [wip]