(IslamToday ID) – Pasca Bupati Nganjuk Novi Rahman Hidayat terjaring operasi tangkap tangan (OTT) KPK, muncul polemik baru terkait partai politik yang menaungi sang bupati. Dua partai yakni PKB dan PDIP ogah mengakui bahwa Novi adalah kadernya.
Kedua partai itu saling lempar soal keanggotaan Novi. PKB menyatakan Novi lebih memilih menjadi kader PDIP, sedangkan PDIP menyatakan Novi merupakan kader PKB.
Sekretaris DPW PKB Jawa Timur Anik Maslachah enggan mengakui Novi sebagai kader partai. Karena itu, DPW PKB Jatim tidak akan memberikan pendampingan hukum kepada Novi karena bukan kader.
Anik mengaku, Novi memang sempat berkeinginan menjadi kader PKB. Namun dalam prosesnya, ia mengatakan, Novi lebih memilih menjadi kader PDIP. Karena itu, ia kembali menegaskan yang bersangkutan bukan merupakan kader PKB.
“Memang, dulu berangkat jadi bupati dengan PKB, PDIP, dan Hanura. Dia ingin jadi pengurus PKB. Namun, setelah kita tracing, dia lebih memilih ke partai lain, dalam hal ini ke PDIP,” kata Anik seperti dikutip dari Republika, Selasa (11/5/2021).
Saat mencalonkan diri sebagai Bupati Nganjuk pada 2018, Novi merupakan seorang pengusaha dan tidak memiliki latar belakang politikus. Ia kemudian maju dan diusung tiga partai yakni PDIP, PKB, dan Hanura. Novi maju berpasangan dengan kader PDIP, Marhaen Djumadi.
Ketika Novi memilih PDIP, Anik mengatakan, saat itu partainya tidak mempermasalahkan keputusan tersebut. “Tentu PKB menghormatinya karena dia lebih memilih partai lain. Akhirnya, usulan (jadi pengurus PKB) tidak kami akomodir,” ujar Anik.
Namun, Wakil Ketua DPD PDIP Jawa Timur Deni Wicaksono menyatakan, Novi tidak bergabung dengan PDIP karena PKB sudah mengumumkannya sebagai pengurus DPW PKB. “Waktu itu kami baca beritanya yang sangat luas di media bahwa Pak Novi masuk kepengurusan PKB Jatim. Oh ya sudahlah, itu pilihan politik beliau,” kata Deni.
Setelah musyawarah wilayah PKB Jatim pada 9 Januari 2021, ia mengatakan, Novi menjabat sebagai Wakil Ketua DPW PKB Jatim periode 2021-2026. Bahkan, Deni mengatakan, Sekretaris PKB Jatim Anik Maslachah mengumumkan status tersebut.
“Kan sudah mengumumkan sejak Januari 2021 bahwa Pak Novi adalah Wakil Ketua DPW PKB Jatim. Ketika partai lain sudah memasukkan seseorang itu sebagai pengurus, ya tentu tidak mungkin masuk ke PDI Perjuangan,” ujarnya.
Deni menegaskan yang merupakan kader PDIP ialah Marhaen Djumadi, yang merupakan Wakil Bupati Nganjuk. “Tidak ada KTA atas nama Novi,” katanya.
Dari penelusuran dari berbagai sumber, Bupati Nganjuk Novi Rahman Hidayat pernah menyatakan bahwa dirinya merupakan kader PDIP. Hal itu ia katakan dalam acara Musyawarah Anak Cabang PDIP se-Kabupaten Nganjuk yang digelar di kantor DPC PDIP Nganjuk, Jawa Timur.
“Saya menyampaikan secara resmi dan yang sebenarnya bahwa saya ini kader PDI Perjuangan,” kata Novi dalam tayangan MaduTV Network Jawa Timur, Selasa (2/3/2021).
“Saya bukan kader partai lain,” ucapnya seperti dikutip dari Kompas.
Bahkan dalam kesempatan tersebut, ia tegas menyampaikan bahwa dirinya siap membangun Kabupaten Nganjuk secara bersama-sama dengan melibatkan rekan struktural PDIP. “Saya nyatakan dalam konferensi tadi bahwa saya adalah PDIP,” tegas Novi.
“Jiwa raga saya PDI Perjuangan, dan saya kader partai yang akan membangun Nganjuk bersama teman-teman PDIP lainnya,” tambahnya.
Latar Belakang Novi
Novi Rahman Hidayat lahir di Nganjuk, Jawa Timur tanggal 2 April 1980, saat ini berusia 41 tahun. Novi merupakan Bupati Nganjuk untuk periode 2018-2023.
Pada Pilkada Kabupaten Nganjuk, Novi berpasangan dengan Marhaen Djumadi. Pasangan tersebut telah diusung oleh tiga partai yakni PKB, PDIP, dan Partai Hanura.
Pasangan Novi-Marhaen mendapatkan 303.192 suara atau 54,5 persen. Pada hari Senin, 24 September 2018, pasangan Novi-Marhaen dilantik sebagai Bupati dan Wakil Bupati Nganjuk.
Novi diketahui pernah mengenyam pendidikan sekolahnya di SDN 1 Pace Kulon, SMPN 1 Nganjuk, dan SMA Ponpes Darul Ulum Peterongan Jombang.
Setelah menyelesaikan pendidikan di tingkat sekolahnya, ia kemudian melanjutkan pendidikan starta 1 dan lulus sebagai Sarjana Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) Universitas Islam Blitar pada tahun 2005. Novi kemudian melanjutkan pendidikannya sebagai seorang Magister Manajemen Universitas Islam Kadiri, Kota Kediri.
Novi dikenal aktif dalam kegiatan organisasi. Ia pernah menjabat sebagai Ketua Real Estate Indonesia Kediri pada tahun 2010 hingga 2015. Ia juga menjabat sebagai sekretaris dan bendahara di PBI Kediri.
Sebelum menjadi Bupati Nganjuk, Novi tercatat memiliki banyak perusahaan dan jabatan. Ia memiliki total 36 perusahaan yang ia rintis sejak di bangku SMA.
Partai Harus Gentle
Peneliti politik dari Universitas Al Azhar Indonesia Ujang Komaruddin menilai dua partai pendukung Novi yakni PKB dan PDIP saling lempar tanggung jawab.
“Habis manis sepah dibuang. Ketika dulu pencalonan PKB dan PDIP saling klaim dalam mendukung NRH (Novi Rahman Hidayat). Namun ketika terkena kasus korupsi mereka lempar tanggung jawab. Ini menandakan bahwa ketika pencalonan dulu diperebutkan karena NRH banyak fulusnya,” ujarnya seperti dikutip dari Detikcom.
Menurutnya, kedua partai itu harus bertanggung jawab kepada masyarakat karena mereka menjadi partai pengusung Novi. Jangan hanya tampil saat Novi berhasil dalam mengelola wilayah.
“Partai-partai politik hanya ingin enaknya. Ketika berkasus, tak mau pikul tanggung jawab. Mesti gentle, mesti bertanggung jawab mengakui kesalahannya. Dan meminta maaf ke publik,” katanya.
Ujang menduga alasan partai menjauh dari Novi karena tak ingin elektabilitas partai hancur di Nganjuk, bahkan nasional. “Lempar tanggung jawab antara PKB dan PDIP bisa saja karena PKB dan PDIP tak mau kena getahnya akibat kasus korupsi NRH,” katanya.
Direktur Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia (Puskapol UI) Aditya Perdana pun menjelaskan bahwa ada kondisi di mana partai mendekati Novi saat pencalonan dan setelah menang pemilu. Novi bukanlah kader partai asli dan merupakan pengusaha.
“Jadi satu hal penting, kepala daerah, dia sebelumnya bukan menjadi kader partai, tapi jadi kader partai setelah jadi kepala daerah untuk kebutuhan partai sendiri. Anies Baswedan (Gubernur DKI), pernah ditanya (bakal masuk partai mana), Ridwan Kamil (Gubernur Jawa Barat) juga pernah ditanya, istilahnya untuk menderek suara partai dalam pemilu atau pilkada,” jelas Aditya.
Namun, kondisi berubah saat kepala daerah terkena kasus korupsi. Partai politik benar-benar meninggalkan Novi.
“Mereka blak-blakan ngaku butuh figur untuk menguatkan. Saya aneh, ketika urusan korupsi malah lempar sana, lempar sini. Padahal itu tanggung jawab partai yang bersangkutan. Jangan hanya klaim saat menangnya saja. Istilahnya habis manis sepah dibuang,” katanya. [wip]