(IslamToday ID) – 12 Ruas jalan tol milik perusahaan plat merah PT Waskita Karya (Persero) Tbk akan dijual. Dari penjualan itu ditargetkan meraih dana segar sebesar Rp 20 triliun.
Direktur Utama PT Waskita Karya, Destiawan Soewardjono memperkirakan nilai divestasi (penjualan sebagian saham) mencapai Rp 20 triliun. Angka tersebut bersumber dari penjualan 12 ruas tol yang dijembatani oleh Indonesia Authority Investment (INA).
Perkiraan tersebut pun didasarkan pada rasio utang terhadap ekuitas atau debt to equity ratio (DER) yang berada di posisi 3-4 persen. Dengan kondisi itu, emiten optimis bisa meraup nilai Rp 20 triliun.
“Dengan debt to equity ratio di posisi 3-4 persen, dengan Rp 20 triliun kami bisa leverage kemampuan kami 3-4 kali untuk mengerjakan infrastruktur,” kata Destiawan seperti dikutip dari IDX Channel, Selasa (11/5/2021).
Manajemen mencatat dari 12 aset plat merah, terdapat 6-9 ruas tol yang siap diakuisisi investor. Secara agregat, hasil transaksi tersebut ditargetkan emiten untuk membangun 1.000 kilometer (km) jalan tol baru dengan pendanaan yang diperkirakan sebesar Rp 60 triliun.
“Jadi kami bisa mengerjakan infrastruktur hingga Rp 60 triliun dan bisa bangun 1.000 kilometer tol lagi,” katanya.
Dari arsip pemberitaan MNC Portal Indonesia, Kementerian BUMN mendukung aksi korporasi tersebut. Contohnya, rencana divestasi ruas Tol Medan-Kualanamu-Tebing Tinggi yang melalui anak usahanya Waskita Karya, dinilai upaya menambah struktur pendanaan emiten. Harapannya, langkah itu memperbaiki kinerja perusahaan di tengah pandemi Covid-19.
Manajemen Waskita Karya akan memperoleh anggaran senilai Rp 824 miliar dari divestasi ruas tol Medan-Kualanamu-Tebing Tinggi. Kementerian BUMN mencatat dari jumlah itu, emiten bisa memperoleh keuntungan sebesar Rp 320 miliar.
Catatan lain bahwa sekitar Rp 1,4 triliun ekuitas yang ditawarkan Waskita, maka 30 persennya atau setara Rp 420 miliar akan dimiliki perusahaan. Angka tersebut jika ditambahkan dengan biaya akuisisi, maka manajemen bisa memperoleh dana senilai Rp 450 miliar.
Mantan Sekretaris BUMN Muhammad Said Didu menyatakan biaya bikin tol zaman sekarang sangatlah mahal. Ditambah lagi, biaya pembuatan jalan tol dari hasil utang, yang setelah itu pemerintah menjual dengan harga murah di bawah nilai utang ke swasta.
“Sudah terjadi obral jalan tol? Investasi Jalan Tol Medan-Kualanamu tahun 2016 sebesar Rp 4,7 triliun jadi nilai 30 (persen) saham sekitar Rp 1,4 triliun (belum termasuk bunga bank dan potensi untung), tapi kok hanya dijual Rp 824 miliar?” tulis Said Didu di akun Twitternya @msaid_didu, Ahad (25/4/2021)
“Dimanakah wakil rakyat (DPR)? Apakah sudah melebur menjadi pemerintah? Rakyat wajib marah dan merubah agar menjadi benar,” lanjutnya.
Sebenarnya sejak tahun 2008 Said Didu telah menduga akan terjadinya divestasi tol pada 2021. Menurutnya, pada saat jalan tol selesai dibangun pada 2021, akan terjadi beban keuangan yang bertumpuk. Seperti membayar utang, beban penyusutan, dan beban operasional.
“Nah di sini saya bilang akan terjadi ketidaklayakan, BUMN konstruksi akan menghadapi kerugian. Saya perkirakan memang tahun 2021, karena pada saat itu jalan tol sudah selesai semua,” ungkap Said Didu seperti dikutip dari kanal YouTube TvOneNews, Kamis (29/4/2021).
Di tahun 2008 lalu, ia juga menduga sejumlah BUMN konstruksi akan menderita kerugian. Proyek-proyek yang digarap juga bakal banyak yang mangkrak. Bahkan, tahun 2021 merupakan ladang proyek-proyek mangkrak BUMN.
Keliru Bikin Jalan Tol
Ekonom INDEF Bhima Yudhistira mengungkap hasil kajian lembaganya yang menyatakan dua kekeliruan besar dalam pembangunan jalan tol di Indonesia. Pertama, terletak pada tidak terintegrasinya pembangunan jalan tol dengan penurunan biaya logistik.
Menurut Bhima, biaya logistik hanya menurun kurang dari 2 persen atau menjadi 23,5 persen dari produk domestik bruto (PDB) saja. Bahkan, tercatat mahal jika dibanding negara di ASEAN. Persoalan ini memang diakui oleh Presiden Jokowi. Secara gamblang, Jokowi menegaskan biaya logistik jalan tol di dalam negeri masih sangat mahal, sekitar 24 persen dari PDB.
Kekeliruan kedua adalah integrasi jalan tol dengan kawasan industri yang dinilai tidak sejalan. Padahal, fungsi tol harusnya dominan untuk angkutan logistik di kawasan industri. Dari sisi ekonomi, jalan tol yang dibangun itu akan mempermudah akses ke bandara, pelabuhan, destinasi wisata, hingga pusat-pusat pertumbuhan ekonomi.
Selain itu, mendukung kelancaran rantai pasok. Ujungnya, memperkuat daya saing dengan menekan biaya logistik. “Tapi karena enggak nyambung dan biaya menjadi mahal, akhirnya pelaku industri tidak optimal memakai jalan tol,” kata Bhima seperti dikutip dari Sindo News, Senin (10/5/2021).
Ia juga mengomentari soal rencana tiga BUMN karya, yaitu PT Hutama Karya, PT Wijaya Karya Tbk, dan PT Waskita Karya, yang ingin menjual sejumlah ruas tolnya. Bhima mempertanyakan, apakah aset jalan tol yang ditawarkan kepada pengusaha asing dan domestik untuk mencari keuntungan atau hanya sekadar menutup kerugian perusahaan saja?
Penjualan tol sangat disesalkan hanya karena BUMN karya sedang mengalami tekanan cash flow dan naiknya rasio utang terhadap ekuitas. Karenanya, ia memperkirakan manajemen akan menawarkan harga yang lebih rendah alias diskon.
“Pertanyaan besarnya apakah aset jalan tol yang dijual untung atau sekadar menutup kerugian? Jawabannya mungkin akhirnya harus dijual dengan harga diskon,” ujar Bhima.
Padahal, biaya konstruksi jalan tol yang dibangun tercatat cukup mahal. Bhima memperkirakan pembangunan per kilometer (km) jalan tol menelan senilai Rp 120 miliar hingga Rp 150 miliar. Jika upaya divestasi aset negara itu bertujuan menjaga cash flow perusahaan dan naiknya rasio utang terhadap ekuitas, maka kemungkinan besar nilai transaksi yang ditawarkan cukup rendah. Akibatnya, kontras antara biaya konstruksi dan transaksi.
“Padahal dulu saat membangun jalan tol biayanya Rp 120-150 miliar per km, sangat mahal. Nanti yang jadi titik kritisnya adalah mau dijual berapa? Apakah penjualan tol di tengah kondisi keuangan BUMN yang sedang bermasalah bisa mengembalikan modal saat membangun?” pungkasnya.
Tinggal Tunggu Waktu
Mantan Menteri BUMN, Dahlan Iskan meyakini adanya ramalan dari para ekonom mengenai ketahanan BUMN infrastruktur tinggal tunggu waktu. Menurutnya, posisi BUMN itu sulit atau sulit sekali.
Salah satunya, saat ia mencoba menelaahnya laporan keuangan BUMN karya yang terbit pada Selasa (30/3/2021) lalu. Waskita Karya merugi hingga Rp 7 triliun.
Wijaya Karya tidak sampai rugi tapi labanya terjun bebas dari Rp 2,2 triliun menjadi kurang dari Rp 200 miliar. Kemudian PT PP turun dari Rp 800 miliar tinggal Rp 128 miliar. Pun BUMN infrastruktur yang lain.
“Pekerjaan infrastruktur memang gegap gempita tahun-tahun terakhir. Tapi bisnis tetaplah bisnis, punya perilakunya sendiri. Dan perilaku itu bersumber dari satu napas, uang,” ujar Dahlan dikutip dari blog resminya Disway.id.
Pekerjaan tol, lanjut Dahlan, memang banyak sekali. Para BUMN karya tersebut, kata Dahlan, bisa memiliki sendiri tol itu atau hanya mengerjakan milik orang lain.
Sebagian BUMN infrastruktur ngeri dengan besarnya modal yang harus disiapkan. Mereka memilih jadi kontraktor saja. “Tapi ada BUMN yang ambisius sekali: memiliki tol itu sekaligus mengerjakannya. Uang bisa dicari, kata mereka,” tutur Dahlan.
Menurutnya, sekuat-kuatnya BUMN infrastruktur di Indonesia tetap harus mengandalkan sumber dana dari pihak ketiga. Baik itu dari perbankan, obligasi, atau right issue di pasar modal.
Masih tetap ada jalan keluar di BUMN infrastruktur itu. Misalnya menjual jalan tol yang dimiliki, yang pasti mengubah kerugian menjadi laba.
“Tapi siapa yang mau beli jalan tol di masa yang begini sulit? Tentu ada saja orang yang kelebihan uang. Masalahnya tinggal ini: mau dijual dengan harga berapa?” tanya Dahlan.
“Beberapa kali saya berharap lewat Disway bulan-bulan lalu: semoga SWF segera jalan. Dan dana dari Amerika, Uni Emirat Arab, Jepang dan Kanada itu segera masuk ke SWF. Ada yang sudah kehausan sampai kerongkongan,” pungkas Dahlan. [wip]