(IslamToday ID) – Pegawai KPK yang tidak lulus tes wawasan kebangsaan (TWK) hingga berujung penonaktifan akan melayangkan gugatan hasil seleksi. Seperti diketahui, KPK menggelar TWK dalam rangka peralihan status kepegawaian menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN).
Salah satu pegawai KPK yang akan melayangkan gugatan itu adalah Faisal. Ia akan menggugat Surat Keputusan (SK) hasil asesmen itu atas dasar tiga alasan.
“Iya (bakal gugat),” kata Faisal seperti dikutip dari CNN Indonesia, Ahad (16/5/2021).
Ia membeberkan, alasan pertama adalah pegawai KPK seharusnya beralih menjadi ASN secara otomatis sesuai perintah UU No 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas UU No 30 Tahun 2002 tentang KPK.
Alasan kedua, lanjutnya, peralihan status pegawai KPK menjadi ASN seharusnya tidak boleh merugikan pegawai sebagaimana putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Sedangkan alasan ketiga, SK yang diterbitkan pimpinan KPK tersebut tidak bisa menjadi dasar penonaktifan pegawai karena TWK bukan dasar penentuan kelulusan dan tak ada landasan peraturannya.
“Kami sampai hari ini masih berstatus pegawai KPK. Syarat pemberhentian pegawai KPK apabila melanggar kode etik pegawai, mengundurkan diri, pensiun, atau meninggal dunia,” tuturnya.
Lebih lanjut, mantan Ketua Wadah Pegawai KPK itu menyampaikan, pimpinan KPK seharusnya tidak perlu mengeluarkan SK bila hanya ingin menginformasikan pegawai yang tidak lulus. Menurutnya, pimpinan KPK cukup memberitahukan lewat surat elektronik atau e-mail saja.
Sosok yang kini menjabat sebagai Ketua Tim Kajian Tata Kelola Pangan itu pun mengaku hanya mengira penyelenggaraan TWK dilakukan sebatas proses untuk mengetahui pendapat pegawai KPK soal sikap kebangsaan, bukan untuk bahan evaluasi lolos atau tidak dalam alih status menjadi ASN.
“Saya pun sampai hari ini masih mempertanyakan, indikator apa yang dipakai penguji dalam menentukan lolos tidaknya pegawai KPK jadi ASN. Ukurannya tak jelas, tidak standar. Bahkan, siaran pers BKN beberapa hari lalu ada menyebutkan bahwa TWK ini juga menguji potensi adanya liberalisme pegawai yang bisa menghancurkan bangsa atau negara. Ini jelas keliru dan memperlihatkan bahwa penguji tidak memahami benar paham liberal,” imbuhnya.
Pegawai KPK yang tak lulus TWK lainnya adalah Benydictus Siumlala. Pegawai fungsional di Deputi Bidang Pendidikan dan Peran Serta Masyarakat ini mengkritik ketidakjelasan konsep penataan kepegawaian bagi 75 pegawai yang dinonaktifkan karena tak lulus TWK.
Menurut Beny, SK penonaktifan yang ia terima tak jelas menyebutkan status dirinya di lembaga antirasuah. Menurutnya, SK pemberhentian hanya memintanya menyerahkan tugas dan tanggung jawab kepada atasan langsung.
“Kami ini akan dipecat, dididik, dites ulang, atau malah diputuskan melanggar kode etik, atau bagaimana? Tidak jelas. Kami ini akan tidak bekerja hingga kapan? Tidak jelas juga,” beber Beny.
Ia menilai pernyataan Juru Bicara KPK terkait hal itu juga tak menyebutkan dengan jelas. Kata Beny, Juru Bicara KPK Ali Fikri dalam rilisnya hanya meminta 75 pegawai yang tak lulus, termasuk dirinya menyerahkan tugas dan tanggung jawab, namun hak dan tanggung jawab mereka masih berlaku aktif.
“Kami diperintahkan menyerahkan tugas dan tanggung jawab, sementara dikatakan juga bahwa hak dan tanggung jawab kami masih berlaku aktif,” ucapnya.
Tak lupa, Beny pun menilai TWK yang dilakukan dengan proses yang tertutup dan mendadak berbahaya bagi lembaga antirasuah.
Misalnya, katanya, TWK baru disosialisasikan sepekan sebelum tes. Menurutnya, kartu ujian peserta diberikan BKN tanpa sepengetahuan SDM KPK. Ketidakjelasan itu termasuk hasil tes yang disegel dan baru sepekan kemudian dibuka.
“Hasil yang disegel enggak jelas begitu dan butuh satu minggu lebih baru dibuka, banyak,” katanya.
Beny turut menilai proses wawancara juga janggal. Katanya, ia diwawancarai oleh dua orang. Sementara, orang lain diwawancara satu orang. Pewawancara pun tak memperkenalkan diri, dan proses wawancara juga tak direkam.
Gusdurian Tak Lulus
Jaringan Gusdurian juga angkat bicara terkait polemik TWK. Secara khusus, Gusdurian menaruh perhatian kepada salah satu dari 75 pegawai KPK yang tidak memenuhi syarat TWK, yakni Staf Humas KPK Tata Khoiriyah.
Dalam situs Gusdurian.net, putri ketiga Gus Dur, Anita Wahid mempertanyakan bagaimana seorang Tata dinyatakan tidak memenuhi syarat dalam TWK. Hal tersebut dapat diartikan Tata tidak memiliki wawasan kebangsaan.
Padahal, Anita menceritakan, Tata adalah seorang Gusdurian yang tidak perlu lagi dipertanyakan wawasan kebangsaannya. “Komitmennya terhadap toleransi dan kebebasan beragama sangat kuat, yang akhirnya membawa dia pada Jaringan Gusdurian, di mana dia secara aktif membantu merintis dan membesarkan Jaringan Gusdurian. Didikan langsung Mbak Alissa. Jadi kalau soal wawasan kebangsaan sudah enggak perlu diragukan lagi,” tulis Anita dalam situs Gusdurian.net, Selasa (11/5/2021).
Ia juga menegaskan, Tata adalah seorang Gusdurian yang merupakan asisten pribadi Koordinator Jaringan Gusdurian, Alissa Wahid. Terkait agama, Anita menegaskan bahwa Tata berasal dari keluarga seorang kiai.
Oleh karena itu, menurutnya, persoalan qunut tak perlu diragukan lagi kepada Tata. “Dia berasal dari keluarga seorang kiai. Jadi kalau urusan qunut aja sih (yang kayaknya segitu pentingnya sampai harus ditanyain di TWK), enggak usah ditanya lagi deh,” ujarnya.
Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa Tata sejak muda sudah aktif berorganisasi di Nahdlatul Ulama (NU). Bahkan, secara kultural, Anita menilai praktik-praktik NU sudah mendarah daging pada diri Tata.
Anita juga bercerita soal Tata yang bergabung ke KPK sejak 2017 dengan menjadi Staf Humas. Ia mengaku bangga dengan Tata yang dinilainya sangat berdedikasi dalam tugas.
Ia bercerita, Tata bahkan kerap begadang untuk menjalankan tugas, terlebih ketika ada operasi tangkap tangan (OTT). “Kerap dia harus begadang karena dia memang harus siap setiap saat, kalau-kalau ada OTT atau hal lainnya yang butuh dia untuk menyiapkan konferensi pers dengan segera,” tuturnya.
Anita menduga bahwa Tata tak lolos karena tidak setuju kebijakan pemerintah merevisi UU KPK. “Dia bilang enggak tahu alasan spesifiknya, tapi dia menduga karena tidak setuju dengan kebijakan pemerintah terhadap revisi UU KPK. Posisi yang sama dengan yang saya ambil. Juga yang diambil oleh ibu saya, Mbak Alissa, dan Nay. Iya, kami semua tidak setuju dengan revisi UU KPK, dan secara terbuka pernah menyatakan itu,” ungkap Anita.
Atas kejanggalan tersebut, Anita pun mempertanyakan soal maksud dan tujuan dari TWK yang sebenarnya. Ia menilai, jika wawasan kebangsaan diukur dengan setuju atau tidak setuju revisi UU KPK, dirinya juga dapat diartikan tidak berwawasan kebangsaan.
Namun, Anita menilai ada maksud lain yang menjadi tujuan dilakukannya TWK terhadap pegawai KPK, yakni ingin menyingkirkan pegawai-pegawai potensial yang bertentangan dengan pimpinan KPK saat ini.
“Atau jangan-jangan judul ‘Tes Wawasan Kebangsaan’ itu hanya kedok saja untuk sebuah tujuan lain? Saya sih langsung kepikiran tujuannya adalah untuk menyisir dan menyingkirkan pegawai-pegawai yang berpotensi enggak setuju dengan pimpinan KPK yang sekarang, dengan alasan tidak lulus tes. Enggak ada hubungannya dengan wawasan kebangsaan blas,” ungkapnya.
Di sisi lain, Anita juga membantah tudingan kadal gurun (kadrun) yang disematkan terhadap Tata. Ia menegaskan bahwa Tata bukanlah seseorang yang mudah disusupi ajaran radikal yang kerap diidentikkan dengan istilah kadrun. “Sampai saat ini komitmennya terhadap toleransi dan kebebasan beragama masih sama kuatnya seperti dulu,” katanya.
Anggota Dewan Pengawas (Dewas) KPK Syamsuddin Haris berpendapat TWK untuk pegawai KPK bermasalah. “Sehingga tidak bisa dijadikan dasar pemberhentian pegawai,” ucapnya seperti dikutip dari Tempo, Ahad (9/5/2021).
Namun, penilaian TWK bermasalah, kata Haris, semata hanya pendapat secara pribadi saja. Ia tak berkomentar sebagai wakil dari Dewas KPK.
“Saya tidak bisa mewakili suara Dewas, yakni lima orang. Apalagi Dewas tidak pernah dilibatkan dalam proses alih status pegawai dan juga skema TWK,” pungkas Haris. [wip]