(IslamToday ID) – Rencana kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) oleh Kementerian Keuangan yang saat ini sebesar 10 persen, telah berdampak pada harga saham sektor ritel.
Mayoritas saham emiten sektor ritel terjungkal di zona merah pada awal perdagangan sesi I pagi ini, Senin (17/5/2021).
Berikut gerak saham-saham emiten ritel mengacu pada data Bursa Efek Indonesia (BEI) pada pukul 10.13 WIB.
1. Indoritel Makmur Internasional (DNET), saham -2,37%, ke Rp 3.300, transaksi Rp 7 juta
2. Ace Hardware Indonesia (ACES), -2,03%, ke Rp 1.450, transaksi Rp 6 miliar
3. Sumber Alfaria Trijaya (AMRT), -1,10%, ke Rp 895, transaksi Rp 2 miliar
4. Hero Supermarket (HERO), -0,53%, ke Rp 940, transaksi Rp 930.000
5. Midi Utama Indonesia (MIDI), =0,00%, ke Rp 1.995, transaksi Rp 117 juta
6. Matahari Putra Prima (MPPA), +3,51%, ke Rp 885, transaksi Rp 78 miliar
Berdasarkan data di atas, dari enam saham yang diamati, empat di antaranya melorot ke zona pelemahan, sementara 1 saham masih stagnan dan 1 sisanya menguat ke zona hijau.
Adapun transaksi di sejumlah saham tercatat masih sepi. Saham pengelola gerai Hero dan Guardian misalnya, masih mencatatkan nilai transaksi Rp 930.000. Adapun saham pengelola toko Indomaret, DNET, baru membukukan transaksi sebesar Rp 7 juta.
Saham DNET sendiri menjadi yang paling ambles di antara yang lainnya, dengan nilai penurunan sebesar 2,37% ke Rp 3.300/saham.
Saham ini sebenarnya terus melaju di zona hijau sejak 3-10 Mei lalu, sebelum akhirnya stagnan di Rp 3.380/saham pada 11 Mei lalu atau hari terakhir sebelum libur lebaran.
Di posisi kedua, ada saham pengelola gerai perabotan rumah tangga Ace Hardware, ACES, yang melorot 2,03% ke Rp 1.450/saham. Adapun asing tercatat ramai-ramai melego saham ini tercatat sebesar Rp 1,49 miliar.
Selain ACES, saham pengelola toko Alfamart, AMRT, terkoreksi 1,10% ke Rp 895/saham. Nilai transaksi AMRT tercatat sebesar Rp 2 miliar pagi ini.
Dengan ini saham AMRT sudah ambles selama empat hari perdagangan beruntun, atau sejak 7 Mei lalu.
Adapun, satu-satunya saham yang berhasil menguat ialah saham pengelola gerai Hypermart milik Grup Lippo, MPPA, melonjak 3,51% ke Rp 885/saham dengan nilai transaksi Rp 78 miliar.
Saham ini berhasil rebound dari koreksi 1,72% ke Rp 855/saham pada 11 Mei pekan lalu. Dalam sepekan saham MPPA sudah menguat 11,32%, sementara dalam sebulan sudah melonjak 33,08%.
Sebelumnya, sebagaimana diwartakan CNBC Indonesia, Selasa (11/5/2021), pemerintah berencana menaikkan tarif PPN yang saat ini ditetapkan sebesar 10 persen. Pembahasan pun sudah dilakukan di internal Kementerian Keuangan.
Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Suryo Utomo pun membenarkan adanya rencana pemerintah untuk kenaikan PPN tersebut. Namun, saat ini masih dalam pembahasan tahap awal.
Suryo menjelaskan ada beberapa alasan pemerintah untuk menaikkan tarif PPN ini. Pertama, untuk meningkatkan penerimaan di tahun depan.
Langkah ini mengikuti beberapa negara lain yang sudah menggunakan PPN sebagai instrumen penerimaan perpajakan di saat pandemi Covid-19. Salah satunya Arab Saudi yang menaikkan PPN-nya dari 5 persen menjadi 15 persen di Juli 2020.
“Kini kita concern dan ini jadi bahan diskusi bagaimana jaga tren ini bisa kita ikuti untuk merespons yang kita alami dan hadapi,” ujarnya dalam diskusi terbatas bersama media.
Alasan kedua adalah karena PPN Indonesia masih di bawah tarif PPN global yang tercatat rata-rata 11-30 persen. Di mana hanya tinggal delapan negara yang menarifkan PPN di bawah global diantaranya Indonesia, Afganistan, Australia, hingga Vietnam.
Menurutnya, ada dua skema tarif yang dibahas oleh pemerintah. Tetap single tarif seperti sekarang atau menjadi multi tarif.
Hambat Pemulihan Ekonomi
Jika menggunakan single tarif maka pemerintah hanya perlu mengeluarkan peraturan pemerintah (PP). Sebab, aturan single tarif sudah ada dalam UU PPN 2009 dengan kisaran PPN sebesar 5-15 persen.
Namun, jika nantinya dikenakan multi tarif seperti negara-negara lainnya, maka diperlukan UU baru. Nantinya dalam UU ini akan dirinci juga mengenai pengenaan untuk PPN barang reguler dan luxury atau mewah.
Bila tidak ada kendala maka kenaikan tarif PPN diharapkan bisa mulai diterapkan pada tahun depan. Saat ini pembahasan terus dipercepat untuk menentukan tarif yang paling tepat. “Kapan akan diberlakukan kita lihat nanti hasil pembahasannya seperti apa,” tegasnya.
Ekonom CORE Piter Abdullah mengatakan, ini bukan saat yang tepat bagi pemerintah menaikkan tarif PPN. Sebab bisa menghambat pemulihan ekonomi yang saat ini sedang terjadi momentumnya.
“Jangan sampai kebijakan yang niatnya untuk menaikkan (penerimaan) pajak justru berdampak negatif ke proses pemulihan ekonomi yang kita dapat momentum,” ujarnya.
Kenaikan PPN akan memperlemah daya beli masyarakat. Pelemahan daya beli tentu juga menekan konsumsi rumah tangga yang menjadi sektor utama pendorong perekonomian dalam negeri. “PPN harusnya dijadikan instrumen dorong konsumsi,” katanya.
Oleh karenanya, Piter menilai bahwa yang seharusnya dilakukan pemerintah adalah menurunkan PPN bukan menaikkannya. Sama seperti penurunan PPnBM untuk kendaraan bermotor dan PPN sektor properti yang ditujukan untuk meningkatkan konsumsi di sektor tersebut.
“Ini harusnya konsep yang sama dilakukan bagaimana pemerintah dorong ekonomi dengan cara memberikan insentif dan salah satunya turunkan PPN bukan kenaikan PPN,” jelasnya.
Ia pun berharap pemerintah bisa kembali mempertimbangkan kebijakan kenaikan PPN ini. Sebab, sangat kontradiktif dengan tujuan pemerintah yang ingin meningkatkan konsumsi untuk memulihkan perekonomian nasional.
“Jadi jangan sampai ini dilakukan dan menjadi boomerang bagi kita karena bisa menghentikan momentum yang kita alami sekarang ini. Makanya saya bilang tidak tepat dilakukan,” tegasnya.
Kenaikan tarif PPN ini pertama kali muncul dari Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati saat memaparkan rencana APBN 2022. Menurutnya, salah satu cara untuk meningkatkan penerimaan negara adalah menaikkan PPN. [wip]