(IslamToday ID) – Pengamat militer Connie Rakhudini Bakrie mengatakan berbicara soal pertahanan, berarti berbicara tentang berbagai aspek. Menurutnya, harus ada road map yang jelas soal pertahanan termasuk menyangkut alat utama sistem persenjataan (alutsista) TNI.
Dalam wawancaranya di channel YouTube Deddy Corbuzier, Connie juga menyinggung soal keberadaaan mafia alutsista. Kali ini, ia bercerita tentang adanya dugaan suap mafia berinisial M di salah satu angkatan di TNI.
Connie, dalam wawancara yang diunggah Selasa, 19 Mei 2021 menyatakan bahwa deal antara M tersebut terjadi dalam pembelian drone oleh salah satu angkatan. Ia tidak menjelaskan lebih jauh apakah itu TNI Angkatan Darat, Laut, atau Udara.
Ia menuturkan angkatan tersebut memesan 12 unit drone dari si mafia alutsista yang disebutnya berasal dari industri pertahanan “bohongan”. Namun, 10 drone dari total yang dipesan tersebut jatuh ketika kemudian diterbangkan.
“Pernah ada kejadian di satu angkatan, gue nggak akan sebut, itu pesan drone. Ini atas nama industri pertahanan bohong-bohongan ini, pseudo-indhan ini. Dipesan lah, presentasinya meyakinkan, 12 biji. Tahu-tahu 10 jatuh semua pas diterbangin,” kata Connie.
Ia melanjutkan bahwa setelah kejadian itu, angkatan TNI yang memesan merasa dirugikan dan komplain. “Komplain dong kepada si rekanan ini. Kepada si Mr M ini,” ujar Connie.
M tersebut, lanjutnya, beralasan bahwa GPS dari drone yang dipesan angkatan TNI tersebut jatuh karena GPS-nya diganggu oleh pihak lain.
Setelahnya, kata Connie, si mafia dan angkatan TNI yang memesan mencoba lagi menguji drone di tempat tersembunyi. Namun sayang, drone itu jatuh lagi.
Merasa barang yang sudah dipesan itu tidak sesuai harapan, angkatan TNI yang telah deal dengan si mafia untuk membeli drone tersebut meminta uang kembali kepada si mafia.
“Setelah itu si angkatan marah dong. Ya udah lah lo enggak bener nih, balikin duit kita karena kita mesti punya drone,” kata Connie.
Namun si mafia tidak terima. Ia pun meminta uang yang sudah ia habiskan untuk “menyogok” oknum dari angkatan TNI tersebut untuk dikembalikan.
“Oke kalo gitu balikin juga uang gue ajak lo jalan-jalan ke sini, gue traktir lo ke sini, gue beliin lo ini,” ujar Connie menirukan.
Deal antara mafia alutsista dengan angkatan TNI seperti yang Connie contohkan sudah menahun terjadi di Indonesia.
Permainan deal dalam pengadaan alutsista antara mafia dan angkatan TNI ini pernah diungkap juga sebelumnya oleh mantan KSAD Jenderal (Purn) Pramono Edhie Wibowo.
Dalam buku berjudul “Pramono Edhie Wibowo dan Cetak Biru Indonesia ke Depan”, ia menceritakan soal kebiasaan buruk yang sudah berlangsung lama di tubuh TNI, yaitu pengadaan alutsista atas deal-deal dengan pihak ketiga atau agen.
Dalam bukunya, Edhy menjelaskan bahwa saat itu TNI AD akan membeli alat bidik (teropong) untuk senapan serbu SS-2. Pembelian teropong itu direncanakan dari luar negeri karena Pindad belum memproduksinya.
Si mafia waktu itu menawarkan harga Rp 30 juta per unitnya. Menurut Edhy, harga ini terlalu mahal karena bahkan lebih mahal dari senapannya.
Ia lalu mencari tahu harga sebenarnya. Ternyata harga satu unitnya hanya Rp 19 juta. Adapun setelah dicek harga dari pabriknya di Amerika Serikat (AS) hanya Rp 9 juta. Ia sempat ingin membeli langsung teropong dari pabriknya tetapi pihak pabrik menolak.
Sebab mereka sudah ada kesepakatan dengan broker di Singapura yang kemudian membujuknya untuk membeli teropong itu seharga Rp 24 juta per unit.
Dengan kebutuhan 50.000 teropong untuk 100 batalyon di TNI AD saat itu, bila Edhie setuju, ia dijanjikan untuk mendapat bagian Rp 4 juta per unitnya. Namun ia menolak.
Ia juga pernah mengalami hal serupa saat ia ingin membeli tank Leopard seharga 280 juta dolar AS. Saat itu dirinya ingin pembelian itu melalui mekanisme government to government (G to G) atau antar pemerintah. Namun, keputusan itu mendapat tentangan dari banyak pihak karena banyak kepentingan yang terganggu dengan rencana tersebut.
Mereka yang tidak setuju dengan pembelian tank Leopard itu pun langsung bereaksi. Berita mengenai penolakan terhadap pembelian tank Leopard pun beredar. Mulai dari pengamat militer, purnawirawan, hingga anggota parlemen menyatakan ketidaksetujuannya dengan keputusan membeli tank Leopard secara G to G. [wip]