(IslamToday ID) – Pemerintah Indonesia menerbitkan Surat Utang Negara (SUN) dalam valuta asing berdenominasi Yen Jepang dengan istilah Samurai Bonds. Ini kedua kalinya di masa pandemi sejak Juli 2020.
Penerbitan Samurai Bonds ini berhasil mencetak benchmark size sebesar JPY 100 miliar atau setara Rp 13,21 triliun yang ketujuh kalinya sejak 2015. Pemerintah menganggap ini adalah bukti kepercayaan atas kredibilitas ekonomi Indonesia.
Walaupun di tengah state of emergency yang ketiga kalinya di Jepang, kehadiran pemerintah Indonesia untuk menerbitkan Samurai Bonds di pasar Jepang merupakan momentum yang tepat dengan capaian yang sangat positif.
Duta Besar Republik Indonesia (Dubes RI) untuk Jepang Heri Akhmadi memastikan bahwa perkembangan positif perekonomian Indonesia terus dikomunikasikan Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Tokyo kepada pemerintah Jepang. Khususnya menyangkut pengelolaan investasi yang masuk untuk pembiayaan pembangunan di Indonesia.
“KBRI turut aktif mengkomunikasikan perkembangan pembangunan ekonomi Indonesia kepada pemerintah dan swasta Jepang. Termasuk mengkampayekan good governance pengelolaan investasi yang prudent oleh pemerintah kepada investor dan prospektus investor Jepang. Komitmen diplomasi ekonomi Indonesia ini terus kami jalankan untuk suksesnya pemulihan ekonomi Indonesia di tengah pandemi Covid-19,” ujar Heri seperti dikutip dari Suara, Selasa (25/5/2021).
Penerbitan Samurai Bonds kali ini ditujukan untuk pembiayaan defisit APBN 2021, termasuk untuk penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional.
Salah satu Joint Lead Manager Samurai Bonds mengatakan, investor Jepang menunjukkan minat yang kuat pada Samurai Bonds Indonesia.
“Ini terlihat dari peningkatan kenyamanan dari komitmen konsistensi Indonesia di pasar Samurai Jepang. Termasuk prospek ekonomi yang membaik di tengah pandemi,” katanya.
Sejumlah Joint Lead Arrangers dalam transaksi ini adalah Daiwa Securities Co Ltd, Mizuho Securities Co Ltd, Nomura Securities Co Ltd, and SMBC Nikko Securities Inc.
Dirjen Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan RI Luky Alfirman menjelaskan, penerbitan Samurai Bond tahun ini cukup menantang di tengah kondisi global yang masih volatile atau mengalami fluktuasi perkembangan ekonomi karena faktor yang sulit diprediksi akibat pandemi Covid-19.
Termasuk di antaranya status state of emergency di Jepang. Luky mengapresiasi peran aktif dari Dubes RI untuk Jepang Heri Akhmadi dalam menjalin komunikasi yang baik dengan pemerintah dan swasta Jepang.
“Alhamdulillah, Indonesia berhasil menerbitkan Samurai Bond disertai berbagai rekor pencapaian. Pencapaian itu tidak terlepas dari fundamental ekonomi Indonesia yang solid, credit story yang bagus, serta keberhasilan kita dalam menjaga komunikasi yang baik dengan investor. Kami ucapkan terima kasih kepada Dubes RI Heri Akhmadi yang aktif menjaga kepercayaan investor Jepang selama ini,” ujar Luky.
Perlu diketahui, nominal penerbitan pada tenor tiga tahun terakhir adalah terkecil dalam sejarah penerbitan Samurai Bonds pemerintah Indonesia.
Sekitar 70 persen dari total nominal penerbitan kali ini, berada pada tenor lima tahun ke atas. Berkurangnya dominasi tenor pendek ini mencerminkan kepercayaan investor terhadap fundamental ekonomi Indonesia.
Selain itu, tercapainya spread terhadap Yen Swap dan kupon terendah untuk seluruh tenor dalam sejarah penerbitan Samurai Bonds oleh pemerintah Indonesia tanpa adanya jaminan (guarantee) dari JBIC (Japan Bank for International Cooperation).
Kupon terendah sepanjang sejarah penerbitan Samurai Bonds untuk tenor 10 tahun, yaitu sebesar 0,89 persen. Kupon ini masih lebih rendah apabila dibandingkan penerbitan Samurai Bonds 10 tahun dengan JBIC guarantee pada tahun 2015 yang berada pada level 0,91 persen.
Di sisi lain, terdapat jumlah permintaan investor yang signifikan sehingga terjadi over-subscribe pada transaksi kali ini sebesar 1,6 kali.
Pemerintah memulai official marketing untuk penerbitan Samurai Bonds ini pada Selasa (18/5/2021).
Dalam tiga hari pelaksanaan proses marketing, dengan mempertimbangkan permintaan yang solid dari investor domestik Jepang maupun di luar Jepang.
Pemerintah Indonesia memutuskan untuk mempersempit final guidance ke level terendah dari hampir semua seri. Walaupun harga akhir yang ditawarkan pemerintah sangat ketat, namun minat investor masih cukup tinggi dengan bid-to-cover ratio mencapai 1,6 kali.
Sebelum transaksi ini dilakukan, pemerintah melakukan non-deal roadshow dengan format online group meeting maupun one-on-one meeting dengan para investor Jepang secara virtual.
Keberhasilan penyelenggaraan roadshow itu berdampak pada keragaman jenis investor yang berpartisipasi pada penerbitan Samurai Bonds ini. Berdasarkan tipenya, investor pada transaksi kali ini terdiri dari city banks (22,2 persen), asuransi (7,0 persen), asset managers (31,1 persen), central cooperatives (7,0 persen), central banks (4,0 persen), public funds (0,2 persen), shinkin banks/regional banks (8,9 persen), dan lainnya (19,6 persen). Sedangkan investor dari luar Jepang tercatat 17,7 persen dari total investor.
Jangan Terburu-buru
Center of Reform on Economics (CORE) meminta pemerintah tidak terburu-buru menerbitkan surat utang global alias global bond. Kendati, rupiah belakangan memang dalam tekanan pelemahan akibat ketidakpastian pasar keuangan global.
Direktur Riset CORE Piter Abdullah Redjalam mengatakan, cadangan devisa Indonesia saat ini masih cukup besar untuk membiayai intervensi Bank Indonesia dalam menstabilisasi nilai tukar. “Selain cadangan devisa, Bank Indonesia juga memiliki second line of defense berupa fasilitas pinjaman IMF, perjanjian kerja sama swap arrangements dengan beberapa bank sentral, serta yang terakhir fasilitas Repo Line dari The Fed,” ujarnya seperti dikutip dari Tempo, Kamis (9/4/2020).
Sebelum adanya penerbitan global bond pada Selasa lalu, cadangan devisa Indonesia pada akhir Maret 2020 tercatat sebesar 121 miliar dolar AS. Posisi cadangan devisa tersebut setara dengan pembiayaan 7,2 bulan impor atau 7 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah.
Dengan demikian, posisi cadangan devisa itu masih berada di atas standar kecukupan internasional sekitar tiga bulan impor. Setelah penerbitan global bond, cadangan devisa Indonesia bakal naik menjadi sekitar 125 miliar dolar AS.
Piter menilai pemerintah semestinya mendahulukan penerbitan surat utang negara domestik ketimbang surat utang global alias global bond dalam memenuhi kebutuhan pembiayaan anggaran saat ini.
Pasalnya, sentimen pasar keuangan global saat ini masih sangat negatif akibat ketidakpastian yang dipicu oleh pandemi Covid-19, yang berarti minat pembeli sangat rendah.
Imbasnya penerbitan global bond di masa sekarang membuat pemerintah terpaksa meningkatkan insentif bunga kupon yang lebih besar atau tenor sangat panjang. “Itu terbukti dengan diterbitkannya SUN global bertenor 50 tahun baru-baru ini,” ujarnya.
Ditambah lagi, saat ini Perppu No 1 Tahun 2020 memungkinkan Bank Indonesia untuk membeli surat utang negara di pasar perdana. Menurut Piter, penerbitan SUN domestik dengan pola pembelian oleh BI memungkinkan pemerintah untuk menetapkan suku bunga atau kupon yang lebih rendah dengan tenor yang wajar.
Dengan begitu, tutur Piter, pemerintah tidak akan dibebani oleh pembayaran bunga SUN yang tinggi dalam kurun waktu yang panjang. “Ekspansi moneter yang terjadi melalui pembelian SUN domestik oleh BI diyakini tidak akan mendorong peningkatan inflasi yang berlebihan karena tekanan inflasi di tengah wabah Covid-19 cenderung menurun akibat rendahnya permintaan.”
Piter menyadari penerbitan global bond dibutuhkan karena Indonesia memang kekurangan dolar akibat menurunnya ekspor. Namun, ia mengatakan penerbitan global bond dapat dilakukan ketika wabah Covid-19 sudah mereda dan sentimen pasar mulai pulih.
“Di tengah kebijakan moneter global yang cenderung menurunkan suku bunga maka penerbitan SUN global berpotensi mendapatkan permintaan yang tinggi pada bunga kupon yang lebih baik dengan tenor yang wajar,” ujarnya. [wip]