(IslamToday ID) – Pemerintah berupaya menggenjot optimalisasi penerimaan dari sektor pajak khususnya Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dengan akan merevisi UU No 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). Berbagai jenis kegiatan jasa sampai kebutuhan pokok masyarakat menjadi sasaran pajak.
Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis Yustinus Prastowo mengatakan, selama ini pemerintah melakukan pengecualian yang terlalu banyak terhadap objek pajak PPN. Akibatnya, rasio kinerja PPN di Indonesia saat ini yang sebesar 49,35 persen berada di bawah rata-rata Asia sebesar 49,72 persen.
“Jadi ini bukan kebijakan yang tiba-tiba, tetapi sudah ada kajian yang bertahun-tahun dilakukan. Hanya saja, eksekusi selalu tertunda karena butuh undang-undang, sehingga butuh proses politik,” kata Yustinus saat webinar “Arah Kebijakan Pajak Kala Pandemi” seperti dikutip dari Republika, Selasa (15/6/2021).
Selain Indonesia, menurutnya, beberapa negara yang memiliki C-efficiency ratio di bawah rata-rata Asia yakni Laos, India, Bangladesh, Pakistan, Filipina, dan Myanmar. Sedangkan Thailand, Vietnam, Singapura, Jepang, Korea, dan Malaysia memiliki kinerja PPN di atas rata-rata.
“Pandemi ini merupakan kesempatan yang baik untuk memikirkan ruang optimalisasi penerimaan PPN,” ucapnya.
Yustinus menjelaskan, saat ini pemerintah telah menuangkan ide optimalisasi penerimaan PPN dalam RUU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). Adapun beleid tersebut masih berada di tangan pimpinan DPR dan belum dibacakan dalam sidang paripurna, serta masih akan melalui proses pembahasan pada DPR.
Karena itu, RUU KUP masih dapat memperoleh masukan dari berbagai pihak. “Jadi, tidak benar kalau dalam waktu dekat akan ada pajak sembako atau jasa pendidikan dan kesehatan besok, lusa, atau bulan depan. Tahun ini tidak akan dipajaki,” katanya.
Saat ini, menurut Yustinus, masyarakat sebenarnya menikmati berbagai insentif perpajakan. Pemerintah tak secara agresif memungut pajak selama pandemi Covid-19. Ia memastikan kebijakan tarif PPN akan tetap menyesuaikan dengan kondisi masyarakat.
“Peningkatan tarif PPN akan menyasar pada barang-barang yang dikonsumsi masyarakat kelas atas,” ucapnya.
Berdasarkan draf RUU KUP yang kini beredar, PPN nantinya tidak hanya dikenakan terhadap kebutuhan pokok masyarakat, tapi juga banyak jenis jasa. Secara total, pemerintah mengeluarkan 11 jenis jasa dari kategori bebas PPN.
Merujuk RUU KUP, salah satu yang akan dikenakan PPN adalah jasa layanan rumah sakit mulai dari dokter umum. Pada pasal 4 UU KUP ayat (3) yang berlaku saat ini, pelayanan kesehatan medis masuk dalam kategori jasa yang tidak dikenakan PPN.
Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan No 82/PMK.03/2012 termasuk dalam jasa pelayanan kesehatan medis, diantaranya jasa dokter umum, dokter spesialis, dan dokter gigi. Kemudian, jasa ahli kesehatan seperti ahli akupuntur, ahli gigi, ahli gizi, ahli fisioterapi, dan jasa dokter hewan.
Selanjutnya, jasa kebidanan dan dukun bayi, jasa paramedis dan perawat, jasa rumah sakit, rumah bersalin, klinik kesehatan, laboratorium kesehatan, sanatorium jasa psikologi dan psikiater, hingga jasa pengobatan alternatif.
Selain layanan kesehatan medis, jasa lainnya yang dipungut PPN meliputi pelayanan pendidikan, jasa pelayanan sosial, jasa pengiriman surat dengan perangko, jasa keuangan, dan jasa asuransi.
Selanjutnya, ada jasa penyiaran yang tidak bersifat iklan, jasa angkutan umum di darat dan air, serta jasa angkutan udara dalam negeri yang menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari jasa angkutan udara luar negeri, dan jasa tenaga kerja.
Kemudian, jasa telepon umum dengan menggunakan uang logam dan jasa pengiriman uang dengan wesel pos. Sebelumnya, jasa tersebut masuk dalam kategori jasa bebas pungutan PPN.
Pada kategori jasa bebas PPN dalam RUU KUP, yakni jasa keagamaan, jasa kesenian dan hiburan, jasa perhotelan, jasa yang disediakan oleh pemerintah dalam rangka menjalankan pemerintahan secara umum, jasa penyediaan tempat parkir, dan jasa boga atau katering.
“Ketentuan mengenai jenis barang kena pajak tertentu, jasa kena pajak tertentu, barang kena pajak tidak berwujud tertentu, dan tarifnya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah,” tulis ayat (3) pasal 7A draf tersebut.
Secara total, pemerintah mengeluarkan 11 jenis jasa dari kategori bebas PPN. Maka demikian, hanya tersisa 6 jenis jasa bebas PPN dari sebelumnya 17 jenis jasa.
Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kementerian Keuangan mengungkapkan tiga pertimbangan rencana pengenaan PPN terhadap barang dan jasa.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak Kementerian Keuangan Neilmaldrin Noor mengatakan, pertama merespons pandemi Covid-19 karena menekan penerimaan kas negara. Padahal, negara harus menggelontorkan dana untuk memberikan insentif pajak dan membiayai pemulihan ekonomi nasional (PEN).
Kedua, tarif PPN Indonesia masih berada pada level 10 persen. Adapun angka ini tergolong rendah dibandingkan negara lain yang menerapkan PPN atau value added tax dan good and services tax.
Ketiga, struktur penerimaan dari PPN. Sebab, selama ini PPN memiliki kontribusi 42 persen terhadap penerimaan negara.
“Akhirnya jadi bahan diskusi oleh pemerintah untuk melihat apakah kita bangsa Indonesia bisa menggunakan salah satu opsi PPN sebagai salah satu respons untuk menghadapi situasi sekarang ini,” ujarnya, Senin (14/6/2021).
Menurutnya, jika pemungutan PPN dapat dilakukan secara optimal, pemerintah dapat mengerek penerimaan negara yang dapat digunakan berbagai program pembangunan. Apabila dilaksanakan pengenaan PPN terhadap barang seperti kebutuhan pokok serta pendidikan, tidak akan diberlakukan dengan tarif yang merata.
Pemerintah juga akan menerapkan skema multitarif dengan rentang 5 persen hingga 25 persen. Hal ini dilakukan karena pemerintah ingin berlaku lebih adil terhadap masyarakat.
Kehilangan Akal Konstitusi
Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad belum mau berkomentar banyak terkait polemik pengenaan PPN untuk barang dan jasa lainnya sebagaimana tercantum dalam revisi UU KUP. Dasco mengatakan, DPR sampai saat ini belum menerima draf resmi RUU KUP tersebut.
“Kita tunggu draf masuk ke DPR dan nanti kita akan lihat secara keseluruhan dan kita akan bahas,” katanya di kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (14/6/2021).
Ketua Harian Partai Gerindra itu mengatakan, bocornya wacana pengenaan PPN untuk sembako diduga hanya diambil sebagian. Setelah nantinya draf RUU diterima, DPR akan membahas draf secara keseluruhan. “Kami akan memberikan komentar yang konkret,” ujarnya.
Ia berharap dalam upaya pemulihan ekonomi nasional ini pemerintah tidak membuat kebijakan yang tidak menguntungkan masyarakat. Kendati demikian, ia meyakini pemerintah akan mengedepankan kepentingan rakyat.
“Saya yakin bahwa pemerintah tidak begitu (membuat kebijakan yang tidak menguntungkan rakyat),” ucapnya.
Anggota DPR RI Fraksi PKS, Bukhori Yusuf mengkritik rencana pemerintah untuk mengenakan pajak bagi sembako dan jasa pendidikan sebagai tindakan yang sudah kehilangan akal konstitusi.
“Ini akan menjadi tikaman dari belakang terhadap rakyat bila wacana ini benar-benar terealisasi. Apalagi sebelumnya, Menteri Keuangan seolah sembunyi-sembunyi dalam merencanakan ini sampai akhirnya dokumen RUU itu bocor di tengah publik. Rakyat sudah susah, jangan bebani dengan pajak,” ungkap Bukhori dalam keterangannya seperti dikutip dari Liputan 6, Selasa (15/6/2021).
Anggota Komisi Sosial ini menegaskan kepada pemerintah supaya kembali berpedoman pada amanat konstitusi, yakni untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia serta untuk memajukan kesejahteraan umum.
“Amanat konstitusi meminta pemerintah untuk menghadirkan kesejahteraan dan keadilan, bukan kesengsaraan bagi masyarakat yang tengah berjuang bertahan hidup di masa pandemi,” tutur Bukhori.
Di sisi lain, politikus PKS ini juga melihat adanya bentuk ketidakadilan kebijakan sehingga mempertajam kecemburuan sosial di tengah masyarakat. Misalnya, Bukhori menyandingkan wacana PPN bagi sembako dan sekolah dengan pemberian stimulus konsumsi kelas menengah oleh pemerintah berupa relaksasi pajak penjualan barang mewah (PPnBM) sektor otomotif.
Sehingga, diskon pajak bisa mencapai 100 persen atau PPnBM mulai 0 persen untuk pembelian mobil baru.
“Kelompok menengah ke atas berduyun-duyun membeli mobil baru, sementara orang miskin justru akan dibebani dengan pajak. Ini akan memecah belah masyarakat akibat dimensi ekonomi dan sosial mereka dipengaruhi oleh model kebijakan yang timpang,” imbuhnya.
Lebih lanjut, anggota Badan Legislasi ini mencemaskan apabila bahan sembako dikenakan PPN akan berimbas pada peningkatan harga jual barang. Kenaikan ini, lanjutnya, akan menekan daya beli masyarakat sehingga berdampak pada pengurangan belanjanya.
Akibatnya, pemulihan ekonomi akan terhambat karena daya beli masyarakat yang turun. Kendati demikian, kekhawatiran ini sesungguhnya tidak akan terjadi apabila diimbangi juga dengan perluasan dan peningkatan bantuan sosial dari segi nominal dan jumlah penerima manfaat secara memadai. [wip]