(IslamToday ID) – Geger soal rencana Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk barang sembako, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani angkat bicara. Ia menegaskan tidak akan mengenakan PPN untuk barang sembako yang dijual di pasar tradisional.
Menurutnya, sembako yang akan dikenakan PPN adalah produk yang tidak dikonsumsi oleh masyarakat banyak. Hanya dikonsumsi oleh segelintir orang mampu karena impor dan harganya mahal.
Sedangkan beras hasil petani Indonesia yang diserap oleh Bulog seperti produksi Cianjur, rojolele, pandan wangi, dan sebagainya, merupakan bahan pangan pokok dan dijual di pasar tradisional. Sehingga tidak dipungut PPN.
“Namun beras premium impor seperti beras basmati, beras shirataki yang harganya bisa 5-10 kali lipat dan dikonsumsi masyarakat kelas atas, seharusnya dipungut pajak,” ujarnya usai mengunjungi Pasar Santa Kemayoran, Selasa (15/6/2021).
Tidak hanya itu, daging sapi yang jenis premium juga akan dikenakan PPN. “Demikian juga daging sapi premium seperti daging sapi Kobe, Wagyu yang harganya 10-15 kali lipat harga daging sapi biasa,” jelasnya.
Menurut Sri Mulyani, selama ini barang sembako masuk dalam kategori barang yang tidak kena pajak. Ini membuat barang-barang sembako yang premium ikut tidak kena pajak.
Oleh karenanya, disusun aturan PPN untuk produk sembako impor atau premium tersebut. Ini adalah contoh gotong-royong dalam perpajakan, dimana yang mampu membantu yang membutuhkan melalui PPN.
“Pajak tidak asal dipungut untuk penerimaan negara, namun disusun untuk melaksanakan asas keadilan,” tegasnya seperti dikutip dari CNBC Indonesia.
Namun ia menekankan aturan tersebut tidak akan dilakukan dalam waktu dekat dan akan menunggu kondisi ekonomi pulih. Pemulihan ekonomi inilah yang menjadi fokus saat ini.
Lanjutnya, justru untuk menghadapi dampak Covid-19 yang berat ini, pemerintah memberikan banyak insentif perpajakan dibidang perpajakan. Mulai dari pajak UMKM, pajak karyawan (PPH 21) dibebaskan hingga ditanggung pemerintahan.
“Pemerintah membantu rakyat melalui bantuan sosial, bantuan modal UMKM seperti yang telah diterima pedagang sayur di Pasar Santa tersebut, diskon listrik rumah tangga kelas bawah, internet gratis bagi siswa, mahasiswa dan guru,” jelas Sri Mulyani.
“Pemerintah juga memberikan vaksin gratis dan biaya rawat gratis bagi yang terkena Covid-19. Inilah fokus pemerintah saat ini, yaitu melindungi rakyat, ekonomi dan dunia usaha agar bisa tidak hanya bertahan, namun pulih kembali secara kuat,” tutupnya.
Sementara, terkait dengan PPN untuk jenis daging sapi impor jenis Kobe dan Wagyu, pelaku impor tidak mempersoalkan. Sekjen Asosiasi Pengusaha Importir Daging Indonesia (Aspidi) Suhandri mengatakan pajak yang mengarah kepada masyarakat kalangan menengah ke atas itu tidak akan berpengaruh signifikan pada daya beli.
“Pengaruhnya untuk pasar premium nggak ada, misalnya beli daging harga Rp 1,5 juta sampai Rp 2 juta, ditambah PPN 12 persen, katakan Rp 160.000 atau Rp 200.000 lebih misalnya, buat pasar premium nggak begitu pengaruh. Nggak pernah konsumen kelas atas makan dia nanya harga berapa,” katanya, Rabu (16/6/21).
Kondisi berbeda terjadi jika mengarah pada konsumen-konsumen kelas bawah yang ada di pasar tradisional. Jika ada kenaikan harga daging sapi, misalnya dari Rp 130.000 menjadi Rp 150.000 per kg akibat penerapan PPN, pasti bakal menimbulkan gejolak di konsumen.
Namun, pengimpor daging sapi memerlukan petunjuk teknis yang jelas tentang pelaksanaannya di lapangan. Mulai dari harga berapa daging sapi terkena PPN, hingga impor dari negara mana saja yang bakal terkena PPN. Hal ini demi meminimalisir potensi kesalahan proses audit serta pengirimannya.
“Karena impor berhubungan dengan HS code dan harga. Berapa batasan harganya yang kena PPN, apa dibuat 15 dolar AS, 20 dolar AS, atau 30 dolar AS, harus jelas. Kemudian contoh di Indonesia ada produsen sapi Wagyu, karena lokal apa dia nggak kena PPN. Ini kan harus jelas,” sebutnya.
“Demikian juga daging sapi premium seperti daging sapi Kobe, Wagyu yang harganya 10-15 kali lipat harga daging sapi biasa,” tambahnya. [wip]