(IslamToday ID) – Energi surya yang dimiliki Indonesia ternyata luar biasa besar. Namun, energi baru terbarukan (EBT) tersebut belum tergarap secara maksimal untuk kesejahteraan masyarakat.
Potensi energi surya Indonesia tak main-main, yakni mencapai 207,8 Giga Watt (GW). Maka, tak salah bila energi ini disebut sebagai salah satu “harta karun” energi Indonesia. Namun sayangnya, pemanfaatannya baru 153,8 Mega Watt (MW) atau hanya 0,07 persen alias kurang 1 persen dari potensi yang ada.
Meski hingga saat ini pemanfaatannya masih rendah, namun pemerintah meyakini pemanfaatan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) ini ke depannya akan semakin berkembang.
Direktur Aneka Energi Baru dan Energi Terbarukan Direktorat Jenderal EBTKE Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Chrisnawan Anditya mengatakan, semakin murahnya harga listrik dari PLTS akan membuat pemanfaatannya semakin masif.
Ia mengatakan, dalam lima tahun terakhir terjadi penurunan harga listrik PLTS yang cukup signifikan. Lima tahun lalu, harga listrik PLTS dengan kapasitas 10 Mega Watt (MW) sebesar 10 sen dolar per kilo Watt hour (kWh). Namun kini harga sudah turun menjadi di kisaran 5,81 sen dolar per kWh.
Bahkan, untuk harga listrik dari proyek PLTS Terapung di Cirata sudah mencapai 5,5 sen dolar per kWh.
Ia mengatakan, harga menjadi salah satu yang didorong dalam Rancangan Peraturan Presiden (Perpres) Energi Baru Terbarukan (EBT) agar pemanfaatan PLTS terus berkembang.
“Harga merupakan salah satu yang didorong di Rancangan Perpres, kita sudah identifikasikan. Setiap kementerian didorong berikan support kembangkan EBT, salah satunya Kemenkeu dalam pemberian insentif,” ucapnya seperti dikutip dari CNBC Indonesia, Kamis (25/6/2021).
Faktor lokasi, menurutnya, juga menjadi pertimbangan dalam penentuan harga. Apabila PLTS dibangun di Sulawesi atau Papua, maka faktor lokasinya lebih tinggi daripada di Jawa. Tujuannya adalah untuk mendorong pembangunan PLTS tidak hanya di Jawa saja.
“Hal lain yang kita berikan dalam bentuk insentif adalah pemberian faktor lokasi, selain Feed in Tariff (FIT) harga ini bisa dikali dengan faktor lokasi,” paparnya.
Menurutnya, dalam menyusun Rancangan Perpres sudah melibatkan semua pemangku kepentingan, baik pengembang EBT dan pembeli atau off taker dalam hal ini PT PLN (Persero). Ia mengatakan, Rancangan Perpres ini sudah rampung dan tinggal menunggu tanda tangan presiden.
Lebih lanjut, ia menyampaikan, pemanfaatan PLTS juga akan didorong oleh PT PLN (Persero) dengan melakukan konversi pada Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) ke EBT seperti PLTS.
“Keputusan Menteri, penugasan ke PLN adalah konversi PLTD ke pembangkit EBT seperti ini. Jadi ada 5.200 PLTD di 2.100 lokasi yang coba dikonversi ke PLTS,” tuturnya.
Karena sifat PLTS yang intermittent (berjeda), maka tidak bisa memberikan suplai selama 24 jam. Oleh karena itu, perlu digunakan baterai. Opsi lain apabila tidak tersedia sumber EBT adalah dengan Hybrid PLTD-PLTS, sehingga akan menurunkan konsumsi BBM.
“Opsi terburuk adalah lakukan hybrid pembangkit PLTD di hybrid dikombinasikan dengan PLTS akan turunkan peggunaan BBM,” katanya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform Fabby Tumiwa mengatakan pemerintah perlu memberikan dukungan terhadap Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS). Hal ini karena dapat menjadi penggerak utama dan kunci untuk mencapai target bauran energi 23 persen dan dekarbonisasi.
“Surya akan menjadi komoditas unggulan yang diperebutkan banyak pihak di masa depan, seperti minyak saat ini,” katanya seperti dikutip dari Antara, Ahad (6/6/2021).
Fabby mengungkapkan dalam laporan terbaru Agen Energi Internasional (IEA) disebutkan bahwa tenaga surya dan angin akan mendominasi sistem energi di masa depan hingga 78 persen pembangkit pada 2050. Tenaga surya harus meningkat dari 160 gigawatt sekarang menjadi 650 gigawatt pada 2030.
Pada kesempatan yang sama, IEA menekankan pentingnya peningkatan energi terbarukan dalam dekade ini untuk mencapai emisi nol pada 2050. “Dari segi strategis, tenaga surya sedikit lebih mudah didorong pemanfaatannya karena dapat dipasang secara modular,” kata Fabby.
Lebih lanjut ia menyampaikan, meski energi surya diproyeksikan akan menjadi komoditas populer di masa depan, ada banyak persoalan yang menghambat industri listrik matahari itu berkembang di Indonesia.
Kondisi kelebihan pasokan listrik yang dialami PLN adalah salah satu hambatan terbesar untuk penggunaan tenaga surya. Situasi tersebut membuat pemerintah dan pengusaha swasta sulit untuk memasukkan energi terbarukan ke dalam sistem kelistrikan. [wip]