(IslamToday ID) – Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid menilai wacana presiden tiga periode, perpanjangan masa jabatan presiden, serta pemilihan presiden-wakil presiden (wapres) oleh MPR akan mencederai demokrasi di Indonesia.
Menurutnya, tiga hal itu bisa menjerumuskan Indonesia ke arah absolutism kekuasaan seperti di era Orde Baru.
“Kalau itu sampai terjadi, Indonesia bisa terjerumus kembali ke dalam absolutisme kekuasaan seperti Orde Baru,” kata Usman dalam diskusi “Ambang Batas Calon dan Pembatasan Masa Jabatan Presiden”, Ahad (27/6/2021).
Isu-isu tersebut mencuat seiring dengan rencana MPR melakukan amandemen UUD 1945 untuk menghidupkan kembali kewenangan lembaga itu menetapkan haluan negara.
Usman mengatakan Indonesia telah mengalami dua fase kemunduran demokrasi. Fase pertama ialah berkurangnya jaminan hak untuk menyampaikan kritik dan protes di ruang publik. Economist Intelligence Unit dan Freedom House misalnya, mencatat terjadi penurunan skor indeks demokrasi Indonesia hingga kini berada dalam kategori cacat atau flawed democracy.
Fase kedua, menurut Usman, adalah melemahnya hak untuk menjadi oposisi pemerintah, baik dari kelompok partai politik di parlemen maupun nonparlemen. Usman mencontohkan penangkapan sejumlah presidium Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) beberapa waktu lalu, serta dugaan adanya ancaman proses hukum terhadap pimpinan partai atau kepala daerah yang bertentangan dengan pemerintah pusat.
Selain itu, ia menyoroti pembatasan hak untuk memilih dan dipilih dalam pemilu lantaran adanya ambang batas pencalonan presiden maupun kepala daerah. Usman mengatakan, aturan yang telah banyak dikritik sejak 2017 ini menghambat terjadinya keadilan pemilu di Indonesia.
“Jika wacana tiga periode itu benar-benar terjadi, maka mutu keadilan pemilu terancam di ujung tanduk dan ini akan mengakhiri demokrasi pasca-Orde Baru,” kata mantan Koordinator KontraS ini seperti dikutip dari Tempo.
Usman mengatakan wacana itu menutup sirkulasi kepemimpinan nasional yang adil dan sehat. Menurutnya, komponen masyarakat sipil harus tegas menolak wacana tersebut sekaligus penetapan ambang batas pencalonan presiden yang justru menghambat hak elektoral serta hak memilih publik.
“Potensi-potensi yang ada sebenarnya sudah banyak sekali, tapi karena ambang batas ini kita memiliki pilihan kepemimpinan yang sangat terbatas,” katanya. [wip]