IslamToday ID– Guru Besar Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Prof Zullies Ikawati PhD Apt, memberikan komentar terkait fenomena ‘interaksi antar obat’ yang digaungkan oleh dr Lois Owien.
Menurut Prof. Zullies obat-obatan yang diberikan dokter untuk pasien Covid-19 tidak menyebabkan interaksi obat yang fatal bahkan tidak menyebabkan kematian.
“Enggak ada, saya kira yang sampai mematikan begitu. Itu juga harus dilihat kasus by kasus . karena respon seseorang terhadap obat juga bisa berbeda iya, jadi walaupun obatnya sama tapi kadang ternyata responnya beda begitu ya sehingga nggak bisa langsung di-gebyah uyah istilahnya, “ujar Prof Zullies di kanal Youtube Tribunnews.com, Rabu (14/7/2021).
Ia menilai terjadinya kematian pada pasien covid-19 dikarenakan penyakit covid-19 yang diderita semakin parah serta adanya komorbid yang dimiliki oleh pasien covid-19.
Untuk itu dalam mendiaknosis penyebab kematian pasien covid-19 harus dilakukan observasi terlebih dahulu, seperti melihat riwayat penyakit yang pernah diderita serta konsumsi obat yang digunakan.
“Tentu saja kita harus melihat riwayat dari riwayat perjalanan penyakit dari pasien tersebut dan juga riwayat obatnya begitu. Jadi memang kondisi kematian akibat covid itu kan bisa karena perburukkan memang penyakitnya ya. Kemudian adanya penyakit lain,”jelasnya.
Pemberian Obat Pada Pasien
Prof Zullies juga memaparkan dokter tentunya akan memilihkan resep sesuai dengan kebutuhan sang pasien Covid-19. Misalnya, pada pasien Covid-19 gejala ringan. Pada gejala ini umumnya hanya diberi multi vitamin untuk meningkatkan imun tubuh.
Seperti vitamin C, vitamin D, dan vitamin E, serta tambahan mineral zinc. Prof Zullies memastikan, multi vitamin yang diberikan pada pasien Covid-19 gejala ringan ini tidak memicu terjadinya interaksi obat yang berdampak negatif pada pasien.
“Mereka tidak berinteraksi secara negatif karena mereka akan saling mendukung dalam meningkatkan sistem imun dari si pasien,” kata Prof Zullies .
Sementara pasien Covid-19 dengan keluhan demam, pilek maupun batuk, biasanya diberikan obat-obatan untuk mengurangi gejala yang diderita. Contohnya, diberikan obat demam untuk menurunkan panas, serta diberikan obat flu agar menyembuhkan pilek.
Prof Zullies juga memastikan kombinasi obat pada pasien dengan keluhan demam dan batuk ini tidak memicu terjadinya interaksi obat yang berdampak negatif.
“Saya lihat tidak ada interaksi obat yang berarti. Jadi tidak semua obat yang digunakan bersamaan itu pasti berinteraksi. Kadangkala mereka melakukan tugasnya masing-masing tanpa saling mempengaruhi,” tutur Prof Zullies.
Dan pada pasien Covid-19 bergejala sedang, biasanya dokter menambahkan antivirus seperti oseltamivir dan favipiravir. Prof Zullies menyebutkan penggunaan antivirus oseltamivir dan favipiravir beserta obat lain seperti vitamin atau obat penghilang gejala-gejala, tidak menyebabkan interaksi obat yang signifikan.
“Tidak ada yang signifikan, apalagi sampai mematikan. Apalagi pemakaian obatnya relatif singkat, kalau antiviral biasanya hanya lima hari,” jelas Prof Zullies.
Kemudian pemberian obat pada pasien Covid-19 dengan gejala berat, biasanya kombinasi obat yang diberikan umumnya lebih kompleks. Hal ini dikarenakan pasien Covid-19 dengan gejala berat mengalami peradangan pada paru-paru, pembekuan darah, hingga memiliki penyakit penyerta atau komorbid.
Jika pasien mengalami peradangan pada paru-paru, maka dokter akan memberikan obat anti radang. bila mengalami pembekuan darah, akan diberikan pengencer darah. Sementara pada pasien yang memiliki penyakit penyerta, maka dokter akan memutuskan untuk menangani Covid-19 sekaligus penyakit bawaan yang diderita.
“Pasien yang kondisi berat apalagi dengan komorbid, mereka akan mendapatkan banyak obat. Tapi sekali lagi, sejauh yang saya tahu, tidak ada interaksi yang fatal, apalagi berakibat buruk. Karena tentu penggunaan obat sudah dipertimbangkan,” kata Prof Zullies.
Penulis Kanzun