(IslamToday ID) – Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani mengklaim utang untuk menyelamatkan ekonomi dan masyarakat Indonesia. Sebab, APBN mengalami pelebaran defisit sehingga membutuhkan pembiayaan yang salah satunya bersumber dari utang.
“Kenapa kita harus menambah utang, seolah-olah menambah utang menjadi tujuan. Padahal, dia (utang) adalah merupakan instrumen whatever it takes, untuk menyelamatkan warga negara dan perekonomian kita,” ujarnya dalam acara ‘Bedah Buku Mengarungi Badai Pandemi’, Sabtu (24/7/2021).
Menurut Sri Mulyani, APBN menanggung biaya yang besar selama menangani Covid-19. Seperti penanganan kesehatan, bantuan sosial. Di lain sisi, penerimaan negara merosot. Mau tidak mau, katanya, pemerintah harus mengambil keputusan untuk menambah utang.
“Kami di Kementerian Keuangan merespons dengan whatever it takes. Apa pun kita lakukan untuk menyelamatkan warga negara dan perekonomian Indonesia,” ujarnya.
Pengamat kebijakan publik Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah mengatakan pernyataan Sri Mulyani merupakan kebijakan kontraproduktif di tengah kondisi bangsa yang serba sulit.
Apalagi jumlah utang Indonesia sudah mencapai Rp 6.418,15 triliun atau setara 40,49 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) per akhir Mei 2021.
“Sebetulnya, kita sudah ingatkan bahwa jangan mengambil jalan pintas ketika kondisi keuangan Indonesia sedang sulit. Harusnya, pemerintah melakukan efisiensi seperti pemotongan anggaran perjalanan dinas baik kementerian, lembaga, pemerintah daerah. Pembangunan infrastruktur bisa dihentikan sementara, meningkatkan ekspor pertanian dan perkebunan,” katanya seperti dikutip dari Asumsi.co, Ahad (25/7/2021).
Ia menambahkan banyak upaya yang bisa dilakukan tanpa harus menggunakan instrumen utang. “Harusnya ada langkah inovatif dalam pengelolaan anggaran. Ibaratnya penyelamatan ekonomi nasional tanpa menggunakan utang,” katanya.
Menurutnya, banyak negara yang bisa dicontoh tanpa menggunakan utang yang tinggi, seperti Singapura dan Vietnam.
Ia melihat ada kemungkinan pernyataan Bank Dunia yang menurunkan peringkat Indonesia sebagai negara berpenghasilan menengah ke bawah.
Di sisi lain, penggunaan utang dari luar negeri belum transparan, akuntabilitas dan tata kelolanya dipertanyakan.
Trubus melihat masih banyak anggaran yang tidak perlu digunakan. Seperti pemangkasan anggaran kementerian dan lembaga, penghentian infrastruktur yang tidak perlu.
“Pemerintah bisa melakukan efisiensi seperti pemotongan anggaran perjalanan dinas baik kementerian, lembaga, pemerintah daerah. Pembangunan infrastruktur bisa dihentikan sementara, meningkatkan ekspor pertanian dan perkebunan,” katanya.
Hemat Anggaran Belanja
Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira mengatakan pemerintah sebaiknya menghemat anggaran belanja. Seperti proyek membuat ibukota baru hingga perjalanan dinas sepanjang pandemi sebaiknya ditunda atau dibatalkan.
“Infrastruktur yang tidak urgent, masih tahap perencanaan sebaiknya tidak dilakukan dulu. Belanja boros seperti belanja pegawai, maka reformasi birokrasi harus dilakukan serius sehingga beban belanja pegawai semakin kecil, kemudian belanja barang juga harus diminimalisasi,” ujarnya.
Di samping itu, dana Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran Tahun (SILPA) Rp 136 triliun untuk tutupi kebutuhan kesehatan dan perlindungan sosial masih bisa digunakan. Selain cara di atas, pemerintah juga bisa melakukan Debt Swap, yaitu menukar utang dengan program.
“Jadi utang pemerintah yang bebannya berat ditukar dengan program. Dulu pasca tsunami Aceh, Italia meringankan utang Indonesia dengan menukar program rekonstruksi bencana tsunami. Pendidikan juga sama Jerman, beban utang kita berkurang. Jerman meminta alokasi anggaran lebih ke pendidikan. Jadi pemerintah harus kreatif, sayang sekarang tidak kreatif sama sekali,” katanya.
Begitu juga dengan pengamat ekonomi dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Andry Satrio Nugroho. Ia melihat memang perlu disasar bagaimana konsekuensi kebijakan fiskal ekspansif, terkait pemberian stimulus fiskal, penanganan pandemi, dan mengakselerasi pemulihan ekonomi.
“Tentu ini menjalani implikasi penurunan perpajakan kita. Kita bisa melihat tax ratio kita cukup rendah. Bahkan ketika pandemi ini, kita menghadapi penerimaan pajak bisa meleset. Apalagi di awal semester dua ini, kita berhadapan dengan laju cukup tinggi untuk kasus Covid. Jadi memang ini menjadi salah satu tantangan tersendiri,” katanya.
Menurutnya, masih banyak cara yang bisa dilakukan tanpa harus menambah utang. Kalaupun terpaksa berutang, itu menjadi jalan terakhir dari mekanisme pembayaran yang ada.
“Karena kembali lagi, bahwa ada risiko yang perlu dilihat dari pembiayaan utang ini dan pemerintah bisa mengkombinasikan sumber pembiayaan dan kebijakan terkait. Seperti recofusing anggaran terutama efisiensi anggaran kementerian/lembaga perlu dilakukan. Penggunaan dana SILPA juga bisa digunakan. Jadi perlu melihat kembali bukan hanya menjaga utang itu dilaksanakan secara prudent. Dan dilihat lagi efektivitas dari utang ini,” katanya.
Menurutnya, selama ini kita fokus seberapa besar dan berapa kecilnya, tapi tantangannya adalah mampukah pemerintah menggunakan utang bisa efektif meningkatkan produktivitas dan cukup membantu penanganan pandemi.
“Ini kan sebetulnya perlu dijawab oleh pemerintah. Bukan seberapa besar pembiayaan utang itu sendiri. Di samping itu, Sri Mulyani sempat mengatakan ada penurunan utang. Jadi sebetulnya masih ada pos-pos anggaran berlebih yang bisa digunakan,” katanya.
Perampingan Lembaga
Trubus mengatakan pemerintah mempunyai lembaga yang agak gemuk, sehingga perlu dirampingkan.
“Agar efisiensi anggaran bisa dilakukan. Seperti BPIP, Stafsus yang berlebihan dan banyak lembaga yang berdiri karena Perpres perlu dipangkas. Memang butuh keberanian untuk melakukan itu,” katanya.
Termasuk juga dengan BUMN perlu adanya efisiensi. Jadi lebih ke pembenahan perampingan dan efisiensi anggaran.
“Ekspor juga digenjot, menjalin kerja sama yang membutuhkan,” katanya.
Ia menekankan bahwa Indonesia harusnya belajar dari sejarah. Dari utang, Timor Timur lepas dari Indonesia. “Jadi mengapa kita tidak belajar pada masa lalu. Kalau tidak bisa mengelola, mengundurkan diri saja,” katanya.
Transparansi Utang
Bhima melihat pemerintah sepertinya perlu lebih transparan soal dua hal. Pertama, publik berhak meragukan kenaikan utang hanya untuk selamatkan ekonomi. Jika melihat data belanja pemerintah pusat bahkan sebelum pandemi Covid-19, pos belanja yang naiknya paling tinggi itu justru belanja pembayaran bunga utang, yakni dari 2014 ke 2021 naiknya 180 persen.
“Kan ini tidak beres ada pembayaran bunga utang dari Rp 133 triliun di 2014 menjadi Rp 373 triliun target di 2021. Artinya utang pun sebagian digunakan untuk pembayaran bunga utang,” katanya.
Kemudian pos belanja birokrasi, yakni belanja pegawai dan belanja barang tumbuhnya masing-masing 73 persen dan 105 persen di periode 2014-2021. “Klaim bahwa utang selamatkan ekonomi, mungkin lebih tepatnya menyelamatkan birokrasi,” kata Bhima.
Kedua, ia mempertanyakan mengenai dana Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN)? Apakah semua dana itu untuk pembiayaan program yang khusus spesifik saat pandemi?
“Jawabannya tidak. Beberapa program dimasukkan ke dalam PEN meskipun program tersebut sudah ada di tahun-tahun sebelumnya. Sebagai contoh soal PKH, itu kan perlindungan pada warga miskin sebelum ada pandemi. Jumlah penerimanya pun tidak berubah masih 10 juta keluarga penerima. Kalau program rutin dimasukkan ke dalam PEN, wajar terlihat angka stimulusnya tinggi sekali,” pungkasnya. [wip]