(IslamToday ID) – Pandemi Covid-19 khususnya di DKI Jakarta sepertinya akan segera terkendali. Pemprov DKI Jakarta terus mencatatkan penurunan kasus akhir yang mengarah ke bawah 10.000 kasus. Ini merupakan penurunan beruntun sejak PPKM diberlakukan.
Berdasarkan data Kementerian Kesehatan (Kemenkes), DKI Jakarta mencatatkan kasus aktif 13.877 kasus, turun dibandingkan kemarin 14.451 kasus.
Kasus aktif merupakan pasien Covid-19 yang saat ini masih menjalani perawatan maupun isolasi. Jumlah kasus aktif di DKI merupakan yang terendah di Jawa, misalnya Jawa Barat (111.462 kasus), Jawa Tengah (51.356 kasus), dan Jawa Timur (47.875 kasus).
Turunnya kasus aktif di DKI sejalan dengan turunnya kasus harian yang tercatat 2.311 kasus kemarin. Sementara kasus kesembuhan harian tercatat lebih tinggi, yakni 2.759 kasus.
Namun, provinsi yang dipimpin oleh Gubernur Anies Baswedan ini mencatat ada 126 kasus kematian kemarin sehingga totalnya menjadi 12.657 kasus.
Secara nasional ada pertambahan 35.764 kasus baru dalam sehari. Jumlah ini membuat total konfirmasi positif menjadi 3,568 juta orang.
Kabar baiknya ada tambahan 39.726 orang yang sembuh hari ini, Jumat (6/8/2021). Dengan begitu jumlah pasien sembuh dari Covid-19 mencapai 2,947 juta orang.
Sayangnya, gelombang Covid-19 masih membuat angka kematian tinggi dan hari ini bertambah 1.739 orang sehingga jumlahnya menembus 102.375 orang.
Sementara, kasus aktif atau pasien yang membutuhkan perawatan saat ini juga masih fluktuatif karena adanya peningkatan kasus. Saat ini jumlah kasus aktif tercatat turun dari sehari sebelumnya 518.310 orang.
Terkait dengan tingginya angka kematian itu, Ketua Satgas Penanganan Covid-19 Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Prof Zubairi Djoerban angkat bicara.
“Apa yang membuat angka kematian begitu meroket ya? Kondisi kita dua bulan terakhir sebenarnya bisa menjawab pertanyaan itu,” kata Prof Beri, sapaan Zubairi Djoerban dikutip dari akun Twitternya, Jumat (6/8/2021).
Ia memaparkan, dalam dua bulan terakhir terjadi antrean panjang pasien Covid-19 hanya untuk mendapatkan tempat tidur di rumah sakit. Belum lagi masalah kekurangan pasokan oksigen yang dialami hampir di seluruh rumah sakit.
“Kemudian isoman (isolasi mandiri) yang kurang tertangani. Alhasil, 30.000 orang meninggal hanya pada bulan Juli saja,” ungkap Prof Beri.
Faktanya, rumah sakit memang mengalami kekurangan oksigen dan terisi jauh melebihi kapasitas jumlah pasiennya. Sehingga makin sulit untuk merawat dengan intens, bahkan ada yang terpaksa menolak pasien karena penuh.
Di sisi lain, tenaga medis dan kesehatan juga kewalahan dalam menangani ledakan pasien Covid-19 di Indonesia. Berdasarkan laporan dari lapangan, Prof Beri mengungkap selama ini pasien dan pihak puskesmas kesulitan untuk menghubungi pihak rumah sakit.
“Mereka coba menghubungi hotline namun tidak ada yang angkat. Akibatnya, ambulans dari puskesmas tidak bisa jalan ke rumah sakit. Pasien pun tidak tertangani dan akhirnya meninggal,” jelasnya.
Hal lain yang patut menjadi sorotan adalah keberadaan laboratorium yang menjadi tempat tes antigen dan PCR. Sejauh ini, laboratorium sudah tersebar di berbagai daerah namun belum diberdayakan secara maksimal.
“Harusnya mereka itu punya kewajiban untuk memberikan konsultasi dan merujuk pasien ke puskesmas atau rumah sakit. Bukan cuma setelah hasil tes diberikan, disudahi begitu saja,” kritiknya.
Belum lagi masalah isoman. Sepanjang penanganan, banyak orang yang melakukan isolasi mandiri namun tidak dibekali dengan pengetahuan yang cukup terkait dengan Covid-19.
“Isoman sebenarnya memerlukan konsultasi dengan dokter. Alhamdulillahnya, di beberapa daerah, mereka sudah melakukan telemedicine untuk pasien isoman,” tutup Prof Beri. [wip]