(IslamToday ID) – Dua orang advokat yakni Suhardi dan Linda Yendrawati mengajukan gugatan terhadap UU No 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas UU No 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (MK). Mereka meminta aturan masa jabatan hakim konstitusi diberlakukan dengan syarat.
Permintaan tersebut disampaikan melalui sidang pengujian materiil perkara No 97/PUU-XVIII/2020 yang digelar di Gedung MK, Jakarta Pusat belum lama ini.
Keduanya merasa pasal 98 pada UU tersebut berpotensi menyebabkan kerugian konstitusional pada diri masing-masing.
“Para pemohon memohon ke Mahkamah Konstitusi untuk dapat menafsirkan norma pasal 87 UU No 7 Tahun 2020 agar menjadi konstitusional bersyarat dan memberikan batasan penafsiran agar tidak terjadi pelanggaran hukum,” kata kuasa hukum pemohon, Nadya dalam sidang yang juga disiarkan lewat akun Youtube Mahkamah Konstitusi RI.
Pasal tersebut mengatur masa jabatan hakim konstitusi hingga usia 70 tahun selama keseluruhan masa tugasnya tidak melebihi 15 tahun.
Dalam hal ini, penggugat meminta MK menambahkan ketentuan uji kepatutan dan kelayakan (fit and proper test), serta pengawasan jasmani dan rohani sebagai syarat penerapan pada beleid tersebut.
“Adanya fit dan proper test serta pengawasan kesehatan jasmani dan rohani dilakukan setiap lima tahun sekali oleh panitia secara objektif yang dibentuk oleh Dewan Pengawas MK,” ungkap Nadya seperti dikutip dari CNN Indonesia.
Anggota panel majelis hakim konstitusi, Manahan Sitompul mengatakan penggugat harus menguraikan lebih jelas maksud dari permintaan fit and proper test yang disampaikan.
“Diuraikan dimana Anda maksudkan perlu ada fit and proper test, dan pengawasan setiap lima tahun sekali. Di mana ini? Apakah hanya norma ini? Apa maksudnya dilakukan lima tahun sekali? Belum jelas di dalam petitum,” kata Manahan dalam sidang tersebut.
Ia juga menilai permohonan tidak menjelaskan kerugian apa yang dialami dua penggugat itu dengan berlakunya pasal 87 dalam UU MK.
“Kalau disebut ada kerugian di bidang sebagai penasehat hukum, dalam hal apa? Harus jelas hubungannya dengan norma, karena ini kita masih abu-abu tampaknya dalam menguraikan legal standing,” lanjutnya.
Ketua Majelis Hakim Panel Arief Hidayat mengatakan masih banyak poin yang perlu diperbaiki dalam permohonan yang diajukan. Ia pun memberikan kesempatan agar pemohon memperbaiki sejumlah poin dalam permohonan tersebut sampai 14 hari sejak sidang pertama.
“Kalau saudara permohonannya masih seperti ini, maka kemudian saudara bisa dikatakan permohonan ini satu, tidak jelas, kabur,” tambahnya di akhir sidang.
Dalam jadwal persidangan lain, sidang pengujian formil dan materiil terhadap UU MK digelar melalui perkara No 100/PUU-XVIII/2020 oleh tujuh pemohon yang tergabung dalam Koalisi Selamatkan Mahkamah Konstitusi.
Kuasa hukum pemohon, Kurnia Ramadhana mengatakan terdapat pelanggaran konstitusional yang dilakukan dalam pembahasan dan pengesahan revisi UU MK.
“Pemohon menilai proses revisi Undang-Undang Mahkamah Konstitusi yang dilakukan secara tergesa-gesa diselesaikan dalam waktu sesingkat-singkatnya, yaitu hanya tujuh hari. Dibahas dalam situasi yang tidak stabil,” katanya dalam sidang.
Kemudian pihaknya menduga ada penyelundupan hukum dengan dalih menindaklanjuti putusan MK dalam revisi tersebut. Kemudian revisi juga dinilai tidak memenuhi syarat carry over atau peralihan. Naskah akademik yang digunakan dalam revisi UU tersebut, lanjutnya, juga tak bisa dipertanggungjawabkan serta tak memiliki dasar hukum yang valid.
Pihaknya juga menilai revisi UU MK memiliki nuansa konflik kepentingan, karena substansinya mengatur terkait perpanjangan masa jabatan bagi hakim yang kini tengah menjabat.
Lebih lanjut, ia menegaskan pemohon memiliki hak untuk menggugat ketentuan tersebut, karena revisi UU MK bukan hanya berdampak pada internal lembaga peradilan konstitusi tersebut.
Pihaknya menilai MK memiliki wewenang untuk menguji UU tersebut, meskipun itu mengatur lembaganya sendiri. Ini disampaikan berdasarkan putusan MK No 49/PUU-IX/2011.
Kurnia mengatakan MK bisa menguji UU yang mengatur institusinya karena tidak ada forum lain yang bisa mengadili permohonan tersebut.
Juga ditekankan perkara ini merupakan kepentingan konstitusional bangsa dan negara, bukan untuk kepentingan MK atau perseorangan hakim konstitusi.
“Tapi bertautan dengan fungsi MK yang erat kaitannya dengan kepentingan publik sebagai penegak konstitusi, pengawal demokrasi, dan pelindung hak konstitusional hak-hak warga negara,” jelasnya.
Untuk itu, kuasa hukum sekaligus pemohon, Raden Violla Reininda meminta MK menunda pelaksanaan UU tersebut untuk memastikan tidak ada konflik kepentingan dalam beleid tersebut.
“Kami memohon kepada Mahkamah untuk mengeluarkan putusan sela, ini belum disampaikan di permohonan, tapi akan kami tambahkan. Kami meminta untuk menunda keberlakuan UU No 7 Tahun 2020 ini,” katanya.
Sebelumnya, pengesahan revisi UU MK menuai kontroversi karena dilakukan berdekatan dengan pengesahan Omnibus Law UU No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Ciptaker) yang banyak ditolak elemen buruh dan masyarakat sipil.
Situasi ini memunculkan kecurigaan bahwa revisi UU tersebut mengakibatkan independensi MK terganggu dan akan berpihak kepada DPR dan pemerintah dalam peninjauan kembali UU Ciptaker.
Juga ada pihak yang mengkritik penghargaan Bintang Mahaputera yang diberikan Presiden Jokowi kepada enam hakim MK baru-baru ini.
Revisi pada UU MK mengubah setidaknya lima substansi, yakni soal kedudukan, susunan dan kewenangan MK; pengangkatan dan pemberhentian MK, serta perubahan masa jabatan ketua dan wakil MK. Kemudian perubahan usia minimal, syarat, dan tata cara seleksi hakim MK; penambahan ketentuan baru mengenai unsur majelis kehormatan MK; dan pengaturan peraturan peralihan.
Tudingan Hakim MK Diuntungkan
Salah satu Hakim MK Saldi Isra menyebut pihaknya kerap mengalami perundungan imbas pengesahan UU tentang Perubahan Ketiga atas UU No 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (MK).
Hal ini Saldi sampaikan kepada wakil dari DPR Taufik Basari dalam sidang perkara No 90/PUU-XVIII/2020, No 100/PUU-XVIII/2020 mengenai uji materi UU MK.
“Pak Taufik Basari dan pemerintah paham betul kami Mahkamah Konstitusi di-bully di mana-mana dengan undang-undang ini,” kata Saldi dalam ruang sidang yang disiarkan secara live di YouTube MK, Senin (9/8/2021).
Menurutnya, terdapat banyak tudingan bahwa Hakim MK diuntungkan dengan pengesahan UU yang merevisi batas usia hakim MK itu. Ia mengaku salah satu yang dianggap paling diuntungkan di antara para hakim adalah dirinya.
“Saya termasuk salah seorang yang sangat dirugikan oleh kritik itu karena menganggap saya termasuk orang yang paling diuntungkan oleh UU ini,” ujar Saldi yang menggantikan posisi Patrialis Akbar yang terjerat kasus suap itu.
Diketahui, UU MK terbaru mengatur hakim konstitusi yang saat ini menjabat dapat mengakhiri masa tugasnya hingga usia 70 tahun. Syaratnya, masa tugas tidak melebihi 15 tahun.
Di antara jajaran hakim konstitusi saat ini, Saldi merupakan yang termuda, yakni 52 tahun. Sehingga, hanya dirinya yang bisa memaksimalkan masa jabatan hakim konstitusi tersebut.
Saldi pun meminta agar DPR dan pemerintah menjelaskan terkait pelibatan MK dalam kemunculan perubahan UU ini. Sebab, perubahan UU itu membebani anggota hakim MK setiap kali memutus perkara.
“Ada beban yang berat juga ditanggung oleh kami di MK. Setiap kami memutus perkara yang tidak sesuai dengan logika sebagian masyarakat, dianggap bahwa undang-undang ini menjadi titik negosiasinya.”
“Jadi mungkin DPR bisa membantu kami dan pemerintah menjelaskan ini agar beban tudingan kepada MK dan pembicaraan ada barter dan segala macam yang terkait revisi UU konsitusi ini bisa clear saya sampaikan misalnya,” urainya.
Saldi juga mempertanyakan alasan munculnya perubahan batas usia dalam UU baru tersebut. Sebab, tanpa perubahan UU itu pun tidak akan terjadi kekosongan hakim di MK. Jika masa jabatan salah seorang hakim habis, kata Saldi, bisa segera diganti.
Tidak hanya itu, Saldi juga mengungkap karena hadirnya perubahan UU tersebut terjadi perdebatan luar biasa di dalam internal MK. “Interal kita terjadi perdebatan yang luar biasa sebetulnya,” jelas akademisi dari Universitas Andalas, Padang itu.
Pihaknya telah menduga bahwa UU itu akan digugat oleh masyarakat ke MK. Sementara, hakim tidak diperbolehkan menangani perkara yang menyangkut persoalan dirinya.
“Di putusan MK No 53 kami sudah mengatakan bahwa tidak dapat mengadili satu perkara berkaitan langsung dengan kepentingan dirinya sendiri. Nah, sekarang kan DPR dan pemerintah memaksa kami menghadapi persoalan yang terkait dengan diri kami sendiri,” cetusnya.
Menanggapi hal ini, anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi Nasdem Taufik Basari mengklaim bahwa tidak terdapat kongkalikong antara DPR dengan MK terkait munculnya perubahan UU ini.
Sebagai orang yang turut membahas UU ini, kata Taufik, ia mengetahui bahwa tidak ada unsur kepentingan tersebut. “Tidak pernah ada upaya-upaya yang dilakukan oleh MK supaya agar substansi dari RUU ini diatur sedemikian rupa untuk menguntungkan hakim-hakim tertentu,” ujarnya.
Pada tahun lalu, pemerintah mengusulkan revisi UU MK ke DPR dan kemudian disetujui dewan dalam tempo kilat.
Terdapat sejumlah perubahan dari UU MK yang lama. Di antaranya, pertama, Ketua dan Wakil Ketua MK menjabat selama lima tahun, dari yang sebelumnya hanya dua tahun enam bulan.
Kedua, syarat usia minimal hakim MK adalah 55 tahun dan maksimal 70 tahun, dari yang sebelumnya minimal 47 tahun dan maksimal 65 tahun.
Ketiga, hakim konstitusi yang saat ini menjabat dapat mengakhiri masa tugasnya sampai usia 70 tahun dengan batas maksimal masa jabatan 15 tahun.
Kalangan masyarakat sipil menduga proses persetujuan yang cepat dalam pengesahan revisi UU MK itu terkait dengan negosiasi untuk mengamankan UU Cipta Kerja yang saat itu tengah diuji materi di MK. [wip]