(IslamToday ID) – Apa yang dikhawatirkan pun terjadi. Dalam selisih sebulan sejak puncak kasus di Pulau Jawa, Covid-19 mengganas di luar Jawa.
Angka kasus, keterisian tempat tidur rawat di RS (BOR/Bed Occupancy Rate), angka kepositifan kasus dan angka kematian seluruhnya menunjukkan puncak pandemi pindah dari Jawa ke luar Jawa.
Beberapa daerah bahkan memberi “kejutan” dengan menyumbang angka kematian tertinggi, padahal sebelumnya jarang muncul dalam percakapan tentang wilayah dengan kegawatan pandemi yang parah.
Per Kamis (12/8/2021), Jateng dengan 386 kematian dan Jatim dengan 305 masih jadi daerah paling mematikan di Indonesia akibat pandemi. Tetapi muncul pula nama Provinsi Lampung (98), misalnya, yang mencuat sejak beberapa hari terakhir sebagai penyumbang angka kematian tertinggi luar Jawa. Dengan 372 kasus pada Kamis, dari tiap 3,8 kasus baru yang dicatat terdapat 1 kematian akibat Covid-19 di Lampung.
Angka-angka ini sebenarnya menurut ahli, masih relatif kecil mengingat banyak kasus kematian underreported alias tak dicatat. LaporCovid yang rajin menelusur data kematian akibat Covid meyakini angka kematian sesungguhnya adalah sekitar 10 kali lipat yang kini muncul dalam daftar Satgas Nasional, setidaknya untuk desa-desa di Jawa.
“Kami sedang mengumpulkan angka excess death di salah satu kepala desa di Pulau Aru, misalnya. Waktu ditanya apakah ada kasus kematian, dijawab ada kematian hampir tiap hari yang tidak wajar. Tetapi kebanyakan belum dites, karena untuk tes PCR harus kirim sampel ke Ambon. Bahkan total orang meninggal juga tidak tercatat,” kata Ahmad Arif, Inisiator LaporCovid seperti dikutip dari Republika.
Excess death adalah istilah epidemiologi untuk menjelaskan kelebihan angka kematian di tengah pandemi dibanding rata-rata angka kematian pada tahun-tahun sebelumnya. Dengan mengetahui angka ini, diharapkan didapat gambaran lebih nyata tentang jumlah korban pandemi, di luar angka yang resmi dirilis pemerintah.
Tiga hari lalu Menko Marves, Luhut Panjaitan mengumumkan data kematian tak lagi dipakai, setidaknya untuk sementara waktu, dari kriteria pengambilan kebijakan pandemi.
Hari berikutnya juru bicara Kementerian, Jodi Mahardi menjelaskan keputusan itu diambil karena banyak daerah menumpuk angka kematian, bahkan hingga 21 hari berikutnya karena pelaporan yang dicicil.
Akibatnya terjadi distorsi atau bias pada analisis, sehingga sulit menilai perkembangan situasi satu daerah. Data bias ini dianggap mengurangi akurasi penilaian terhadap penanganan pandemi.
Pemerintah menjanjikan perapian data dengan menurunkan tim khusus, meski tak dijelaskan bagaimana dan sampai kapan tim akan bekerja hingga data kematian dipakai kembali sebagai kriteria penanganan pandemi.
Jodi menambahkan data BOR, kasus baru, jumlah tes, dan beberapa kriteria lain akan tetap dipakai.
Penjelasan ini menurut LaporCovid justru menimbulkan tanda tanya. Sejak awal pandemi, data dari daerah sering tak beres dilaporkan, bukan cuma angka kematian. Mengeluarkan angka kematian dari kriteria diduga dilakukan untuk menyembunyikan kegawatan pandemi dari pantauan publik.
“Ini tebang pilih. Karena kalau kami lihat, angka kasus baru, angka tes, kasus aktif, semuanya juga dicicil. Jadi kenapa cuma angka kematian saja yang dikeluarkan dari indikator?” ujar Arif.
Audit Data Kematian
Sejak lama LaporCovid dan sejumlah organisasi mendesak dilakukannya perbaikan sistem pencatatan data. Mencatat angka kematian dianggap lebih sederhana dibanding mencatat kasus baru dan jumlah tes, misalnya, karena kriterianya sangat jelas.
Indonesia bukan satu-satunya negara dengan data pandemi yang catatannya kacau. Peru mengalami hal yang sama persis sejak tahun lalu. Negara Amerika Latin ini juga sempat berkeras data kematian akibat Covid hanya dicatat berdasar konfirmasi kasus positif yang didapat dari tes, selebihnya yang diduga atau sudah menunjukkan gejala Covid tak dimasukkan data korban.
Masalahnya, seperti Indonesia, sampai tahun lalu Peru masih banyak menggunakan alat tes antibodi buatan China yang daya lacaknya rendah. Alat tes ini hanya mampu mengkonfirmasi kasus positif setelah lama terjadi infeksi.
Dengan tekanan lokal dan internasional, pemerintah Peru akhirnya menggelar audit data untuk menghitung excess death akibat Covid. Dan benar saja, dari 70.000 kematian yang dilaporkan, hasil audit awal Juni menunjukkan angka kematian sesungguhnya ternyata melebihi 180.000 jiwa.
“Kami sudah mengusulkan model audit ini pada pemerintah. Kami mengusulkan supaya Kemenkes yang memimpin audit angka kematian nasionalnya,” kata Septian Hartono, seorang kolaborator KawalCovid, organisasi yang juga memberi perhatian besar pada upaya pembenahan data pandemi nasional.
Sampai sekarang, menurut Septian, belum ada tanggapan terhadap usulan KawalCovid itu.
Penting dicatat bahwa bila dilaksanakan, audit nasional bisa jadi membawa dampak politis yang besar bagi pemerintah. Apalagi jika dugaan angka kasus melebihi 10 kali lipat angka yang dilaporkan, sehingga angka kematian sejati ternyata melebihi 1 juta jiwa.
Apakah pemerintah dan publik mampu menerima kemungkinan terburuk semacam ini? Septian Hartono mengakui, audit data akan memerlukan niat baik yang sangat kuat dari pemerintah.
Tetapi bila audit dirasa terlalu berat, Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (UI) Prof Akmal Taher memberi alternatif usulan lain.
“Kenapa tak melacak angka kematian dari catatan RS saja? Saat ini hampir 1.000 RS di Indonesia yang jadi rujukan Covid. Kemenkes punya wewenang, bahkan sebelum pandemi, meminta data dari semua RS ini terkait pasien–apalagi data kematian. Itu saja dioptimalkan. Ditambah lagi data dari puskesmas yang ada 10.000-an saat ini. Catat langsung, direct, tidak perlu penyaringan di tingkat kota/kab atau provinsi. Itu sudah akan sangat membantu membenahi pencatatan,” kata Akmal.
Ini bukan persinggungan pertama Akmal dengan isu data Covid-19 pemerintah. Sempat duduk sebagai Kepala Bidang Penanganan Kesehatan Satgas Covid-19 Nasional, ia memutuskan mundur September lalu karena kecewa pada prioritas testing dan tracing yang diabaikan.
Namun baik LaporCovid maupun KawalCovid menilai isu pembenahan data bukan sepenuhnya soal tata cara.
“Kalau mau memperbaiki soal data kematian harus dimulai dengan niat baik untuk jujur dan transparan. Ini bukan hanya soal teknis input data, soalnya. Kalau mau membenahi harusnya dimulai dengan memperbaiki kriteria kematian Covid-19 dengan mengikuti definisi WHO,” kata Ahmad Arif, Inisiator LaporCovid.
Dalam petunjuk tentang pencatatan kematiannya, WHO menyatakan korban jiwa akibat Covid-19 bukan hanya yang sudah dikonfirmasi positif dengan tes. Termasuk kategori ini adalah korban dengan yang bergejala atau bisa diduga berkait dengan kasus kematian akibat Covid-19, meski belum memiliki hasil tes positif. [wip]