(IslamToday ID) – Pernyataan Presiden Jokowi yang menyebut kritik dari masyarakat sangat penting dalam membangun budaya demokrasi diragukan banyak kalangan. Dalam pidatonya Jokowi juga menyebut pemerintah selalu menjawab kritik itu dengan pemenuhan tanggung jawab.
“Saya juga menyadari, begitu banyak kritikan kepada pemerintah, terutama terhadap hal-hal yang belum bisa kita selesaikan. Kritik yang membangun itu sangat penting, dan selalu kita jawab dengan pemenuhan tanggung jawab, sebagaimana yang diharapkan rakyat. Terima kasih untuk seluruh anak bangsa yang telah menjadi bagian dari warga negara yang aktif, dan terus ikut membangun budaya demokrasi,” begitu kata Jokowi dalam Pidato Kenegaraan di hadapan MPR memperingati HUT RI Ke-76, Senin (16/8/2021).
Institute For Criminal Justice Reform (ICJR) menilai pernyataan Jokowi tersebut berkebalikan dengan yang terjadi di lapangan.
“Pidato presiden berkebalikan dengan fakta masih banyaknya tindakan aparatur negara yang menciptakan iklim ketakutan dalam berpendapat dan berekspresi di tengah-tengah masyarakat, termasuk masih bermasalahnya implementasi UU ITE dan rencana pemerintah untuk mengesahkan RKUHP yang berisi pasal-pasal pidana pembunuh demokrasi,” kata peneliti ICJR Sustira Dirga seperti dikutip dari Tirto, Selasa (17/8/2021).
Ia mencontohkan kasus yang baru-baru ini terjadi yakni terkait mural bergambar wajah dengan tulisan “404: not found”. Kini mural itu telah dihapus, pelukisnya dicari polisi dengan dalih mural itu adalah bentuk penghinaan terhadap presiden yang dinilai adalah lambang negara.
Padahal jika merujuk UUD 1945, pasal 36A menyatakan lambang negara ialah Garuda Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika. UU No 24/2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan, tepatnya dalam Bab I UU No 24 Tahun 2009 dijelaskan bahwa Bendera Merah Putih, Bahasa Indonesia, Lambang Garuda Pancasila, dan Lagu Kebangsaan Indonesia Raya merupakan jati diri bangsa dan identitas NKRI.
“Kejadian penghapusan mural dan perburuan yang dilakukan oleh kepolisian kepada para pembuatnya jelas mengakibatkan iklim ketakutan berpendapat dan berekspresi yang bertentangan dengan semangat demokrasi yang disampaikan presiden pada pidatonya,” jelas Dirga.
Mengutip Economist Intelligence Unit (EIU), Indonesia menduduki peringkat ke-64 dunia dalam Indeks Demokrasi dengan skor 6.3. Nilai ini merupakan yang terendah Indonesia sepanjang 14 tahun terakhir.
Lembaga Freedom House juga hanya memberikan total skor 59 dari 100 dengan status “partly free” untuk akses masyarakat terhadap hak-hak politik dan kebebasan sipil di Indonesia.
Survei Indikator Politik Indonesia kepada 1.200 masyarakat di seluruh Indonesia pada 25 Oktober 2020 juga menunjukkan 36 persen responden yang mengakui Indonesia menjadi negara yang kurang demokratis. Kemudian, 47,7 persen responden menyatakan agak setuju bahwa publik semakin takut menyatakan pendapat.
Selain itu, 57,7 persen responden bahkan juga menilai aparat semakin bersikap sewenang-wenang dalam menangkap warga yang berbeda pandangan politik dengan penguasa.
Dirga mengatakan, semua itu terjadi salah satunya karena rumusan norma pidana dalam undang-undang, salah satunya UU ITE yang penuh dengan pasal karet. Selain normanya bermasalah, penegakannya di lapangan pun bermasalah.
Pemerintah sudah menerbitkan Surat Kesepakatan Bersama (SKB) tentang Pedoman Implementasi UU ITE untuk mengatasi masalah itu, tetapi nyatanya problem itu masih terus terjadi. Belum selesai dengan UU ITE, pemerintah juga berencana memasukkan pasal-pasal bermasalah baru ke dalam revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Beberapa di antaranya yakni pasal pidana bagi penghinaan presiden dan wakil presiden (pasal 218-220 RKUHP), penghinaan pemerintah (240-241 RKUHP), penghinaan kekuasaan umum dan lembaga negara (353-354 RKUHP), penghinaan peradilan atau contempt of court (281 RKUHP), hingga penyelenggaraan pawai, unjuk rasa, dan demonstrasi tanpa izin (273 RKUHP).
“Ketika nanti RKUHP disahkan, keberadaan pasal-pasal tersebut yang juga ternyata dirumuskan secara luas dan multitafsir akan dipastikan semakin mengancam kelangsungan demokrasi di Indonesia,” tandas Dirga.
Jauh Dari Kenyataan
Pengamat politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Wasisto Raharjo Jati juga menilai sejumlah pernyataan Presiden Jokowi dalam pidato kenegaraan tahun ini jauh dari kenyataan.
Dalam pidatonya, Jokowi menyinggung beberapa hal seperti keselamatan rakyat yang utama, kritik yang membangun penting, hingga menyampaikan apresiasi kepada DPR karena telah bersama-sama mengesahkan Omnibus Law UU Cipta Kerja.
“Di era Jokowi ini entah kenapa antara harapan dan kenyataan itu timpang gitu loh,” kata Wasisto seperti dikutip dari CNN Indonesia.
Ia menyebut pernyataan Jokowi menyelamatkan rakyat merupakan hukum tertinggi bernegara baru dalam tataran konsep. Menurutnya, pemerintahan Jokowi belum menjalankan hal tersebut.
Hal tersebut, kata Wasisto, tergambar dalam tindakan pemerintah menanggulangi pandemi virus corona (Covid-19). Menurutnya, pemerintah sejak awal lebih memilih pendekatan politis dalam mengatasi virus tersebut. “Dari awal itu persepsi yang dibangun politis. Kalau negara lain aspek sains dikedepankan, kalau kita politik,” ujarnya.
Wasisto menyebut sejauh ini pemerintah lebih mengedepankan saran-saran dari elite politik ketimbang para ahli kesehatan. Sikap tersebut berdampak pada penyebaran virus yang tak terkendali hingga vaksinasi Covid-19 yang tak sesuai target awal.
“Hal itu yang menjadi efek bola salju dimana aturan diubah-ubah, distribusi vaksin belum merata, sinkronisasi data yang tidak sama level daerah dan pusat, ketersediaan nakes yang timpang,” ujarnya.
Lebih lanjut, Wasisto menyebut pernyataan Jokowi yang tak sesuai dengan kenyataan adalah terkait kritik. Pada pidatonya, Jokowi menyebut kritik yang membangun itu penting.
Namun, kata Wasisto, kebebasan masyarakat untuk menyampaikan kritik justru menurun sepanjang era Jokowi. Bahkan, ia menyebut pemerintahaan saat ini cenderung anti-kritik.
“Semuanya dipersepsikan dalam satu pemahaman bahwa kritik itu bentuk penghinaan. Kritik itu tidak dimaknai sebagai tanda sayang terhadap pemerintah, tapi justru dinilai simbol perlawanan terhadap negara,” katanya.
“Mungkin kritik itu dimaksudkan adalah kritik dari kalangan terdekat,” tambahnya.
Selain itu, Wasisto juga bertanya-tanya terkait apreasiasi Jokowi kepada DPR karena telah mengesahkan Omnibus Law UU Cipta Kerja. Ia kesulitan menemukan manfaat dari disahkannya Omnibus Law tersebut.
Ia menduga Jokowi mengapresiasi karena dengan Omnibus Law tenaga kerja dapat diserap banyak, namun dengan upah murah. “Karena kalau dilihat dari desain awalnya tentang Omnibus Law menaikkan ekonomi dengan praktiknya itu jomplang,” katanya. [wip]