(IslamToday ID) – Epidemiolog dari Centre for Environmental and Population Health Griffith University Australia, Dicky Budiman menilai Indonesia masih dalam kondisi krisis pandemi Covid-19 meskipun kasus harian sudah menunjukkan penurunan.
“Indonesia masih dalam masa krisis (pandemi). Varian Delta periode krisis itu rata-rata 10-12 minggu. Kalau kita hitung untuk Jawa-Bali, akhir September merupakan akhir dari masa krisis itu, dan bisa sampai dengan catatan kita juga melakukan penguatan respons 3T, 5M, dan vaksinasi,” kata Dicky seperti dikutip dari Berita Satu, Senin (30/8/2021).
Sebagaimana dilaporkan Kementerian Kesehatan, angka kasus Covid-19 terus mengalami penurunan seiring dengan kebijakan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM).
Dalam dua hari terakhir, penurunan kasus cukup signifikan. Pada Sabtu (28/8/2021) tercatat kasus positif hanya bertambah 10.050, kasus kematian 591, dan positivity rate 9,63 persen atau turun di bawah 10 persen.
Demikian juga pada hari Ahad (29/8/2021), kasus positif Covid-19 di Indonesia hanya bertambah 7.427 atau sudah turun hingga di bawah angka 10.000. Demikian juga angka kematian menurun sebanyak 551 orang dan positivity rate harian juga turun 8,03 persen.
Sebelumnya, sejak Juli hingga pekan kedua Agustus, kasus positif rata-rata di atas 20.000-an kasus per hari, bahkan pernah mencapai rekor tertinggi pada 15 Juli 2021 yang mencapai 56.757 kasus.
Demikian juga angka kematian mencapai di atas 1.000 orang per hari, dan rekor tertinggi pernah terjadi pada 27 Juli 2021 sebanyak 2.069 orang meninggal dunia.
Dicky mengatakan, melihat pada data laporan harian Kementerian Kesehatan tersebut memang terkesan ada penurunan. Namun data tersebut, katanya, masih berbeda dengan yang disajikan di situs pemerintah daerah (pemda).
“Misalnya, per 27 Agustus 2021, di pemda itu ada masih 12.000-an kasus dan kasus infeksi kematian masih di atas 1.000,” ucapnya.
Dicky juga mengatakan, meskipun saat ini angka positivity rate menurun, tetapi hal tersebut belum stabil. Menurutnya, hasil positivity rate harus dilihat dari penurunan selama 2 pekan berturut-turut, baru kemudian bisa diklaim ada penurunan kasus.
Apalagi, tambahnya, saat ini menurunnya positivity rate karena jumlah testing yang juga mengalami penurunan. “Saat ini masih naik turun, sebagai contoh pada 24 Agustus 2021 masih 15 persen positivity rate dan 25 Agustus masih 12 persen dan 26 Agustus masih 13 persen. Kita tahu testing harian juga menurun, misalnya tanggal 24 hanya 123.000 dan 25 Agustus 146.000 dan 26 Agustus turun lagi menjadi 128.000,” ucapnya.
Selanjutnya, Dicky menyebutkan, pola intervensi pada orang yang terkonfirmasi positif Covid-19, kemudian di-tracing masih belum 90 persen memenuhi standar yang telah ditargetkan oleh pemerintah. Bahkan di Pulau Jawa hanya 5 kabupaten/kota bisa memenuhi target. “Nah ini artinya masih ada titik lemah yang harus diperbaiki,” ucapnya.
Menurut Dicky, hingga saat ini penanganan kasus Covid-19 mengalami perbaikan hanya terlihat pada program vaksinasi. Sementara untuk program 3T (testing, tracing, dan treatment) masih belum ada perbaikan.
“3T ini belum lebih baik. Padahal 3T penting dan utama. Itulah sebabnya harus diperkuat dengan menemukan kasus. Bahkan meski tidak ada testing, tidak masalah asal orang itu ditemukan dan diisolasi atau dikaratina, termasuk dilakukan pelacakan. Itu yang harus dilakukan,” pungkasnya.
Departemen Pengendalian Penyakit
Sedangkan epidemiolog dari Universitas Indonesia (UI) dr Pandu Riono mendorong pemerintah untuk membangun pusat pengendalian dan pencegahan penyakit agar Indonesia lebih siap dalam menghadapi wabah lanjutan.
“Bentuknya semacam departemen percepatan pengendalian penyakit di bawah presiden langsung dan harus jadi bagian dari sistem pemerintahan,” kata Pandu seperti dikutip dari Antara.
Ia mengatakan pusat pengendalian dan pencegahan penyakit di Indonesia perlu diperkuat perannya melalui regulasi, diatur dalam undang-undang hingga memiliki pertanggungjawaban keuangan yang dikelola secara terbuka.
“Indonesia perlu membangun sistem kesehatan yang kuat supaya siap menghadapi pandemi. Sekarang kita tidak bangun sistem,” katanya.
Pandu mengatakan kehadiran Satgas Penanganan Covid-19, Komite Penanganan Coronavirus Disease 2019 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPC-PEN) merupakan wadah kepanitiaan yang bersifat sementara yang khusus menangani pandemi Covid-19.
“Kalau masih kepanitiaan, nanti setelah selesai, panitia bubar. Ilmu pengetahuan dan pengalaman selama menangani pandemi hilang juga,” katanya.
Ia mengatakan sejumlah negara maju di dunia telah lebih siap menghadapi pandemi Covid-19 melalui peran pusat pengendalian dan pencegahan penyakit di negara masing-masing.
Contohnya di Amerika Serikat dengan Centers for Disease Control and Prevention (CDC), China dengan China Central Depository & Clearing (CCDC). “Negara-negara yang sudah siap, saat ini lebih bagus merespons pandemi dan sudah jalan sistemnya,” katanya.
Menurut Pandu, pemerintah perlu mereaktivasi seluruh kementerian maupun lembaga agar memiliki kesiapan yang lebih matang dan terintegrasi dalam menghadapi kemunculan wabah berikutnya.
“Pandemi ini mengubah gaya hidup semuanya, pelayanan kesehatan diubah. Pandemi yang akan datang akan jauh lebih dekat,” ujarnya.
Pandu juga menyebut pandemi Covid-19 masih jauh untuk masuk ke fase endemi. Ia pun mengingatkan agar pemerintah dan masyarakat tetap disiplin menerapkan protokol kesehatan karena tingkat penularan Covid-19 masih tinggi.
“Masih jauh untuk masuk ke fase endemi. Tingkat penularan masih tinggi. Jangan jumawa!” katanya.
Ia menambahkan, mobilitas penduduk yang mulai meningkat berpotensi menyebabkan kasus Covid-19 kembali naik. “Liburan Natal & Tahun Baru potensial terjadi lonjakan lagi. Perlu pengetatan agar tidak terjadi mobilitas nataru,” ujarnya. [wip]