(IslamToday ID) – Suciwati, istri aktivis HAM Munir Said Thalib masih berharap ada keadilan terkait kematian suaminya. Sudah 17 tahun lamanya ia berusaha merebut keadilan, namun selalu terbentur tembok kekuasaan.
17 Tahun lalu, tepatnya pada 7 September 2004, Munir dibunuh. Munir mengembuskan napas terakhir di dalam pesawat Garuda Indonesia yang membawanya ke Amsterdam, Belanda. Hasil autopsi menyimpulkan bahwa Munir tewas karena racun arsenik di tubuhnya.
Proses hukum sudah berjalan. Pollycarpus Budihari Priyanto divonis oleh majelis hakim Tjitut Sutiyarso selama 14 tahun penjara. Namun, Mahkamah Agung (MA) mengabulkan kasasi yang diajukan Pollycarpus yang menyatakan bahwa dirinya tidak bersalah atas pembunuhan aktivis HAM tersebut.
Pollycarpus hanya divonis bersalah atas pemalsuan surat pada tahun 2008. Ia bebas pada Agustus 2018 lalu setelah mendapat remisi atau pemotongan masa tahanan sebanyak 51 bulan 80 hari.
Aktor lain yang menjalani hukuman kasus Munir adalah Indra Setiawan, mantan Direktur Garuda Indonesia yang divonis satu tahun penjara karena terbukti bersalah telah memberi bantuan pembunuhan berencana terhadap Munir. Indra bebas pada April 2008 setelah menjalani masa tahanan sesuai keputusan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat.
Selain Pollycarpus dan Indra, ada Muchdi Prawirandjono alias Muchdi Pr yang juga terlibat kasus Munir. Namun Muchdi Pr divonis bebas oleh majelis hakim PN Jakarta Selatan pada Desember 2008 lalu. Kejaksaan Agung (Kejagung) tidak mengajukan peninjauan kembali (PK) atas vonis tersebut.
Pihak BIN yang selama ini dikaitkan dalam kasus pembunuhan Munir juga menyatakan kasus ini telah selesai. Hal itu diucapkan Deputi VII BIN Wawan Purwanto saat dimintai keterangan mengenai kelanjutan kasus Munir.
“Itu sudah selesai Mas, tak perlu diangkat lagi,” ujar Wawan seperti dikutip dari CNN Indoonesia, Selasa (7/9/2021).
Namun Suciwati menolak keras untuk menyatakan kasus sudah selesai. Ia belum mendapat keadilan yang terus dicarinya selama 17 tahun ini. Ia tetap menuntut tanggung jawab negara kendati rezim silih berganti.
“Selama dalang penjahatnya itu belum ketemu, belum diadili, kita bilang tidak. Enggak ada yang namanya selesai. Selesai itu kalau dalangnya dibawa ke pengadilan,” katanya.
Dua Rezim Gagal
Perjalanan penanganan kasus pembunuhan Munir terjadi di dua rezim, yakni Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Joko Widodo (Jokowi). Bagi Suciwati, keduanya gagal.
Mengutip pernyataan SBY, Suciwati menuturkan bahwa kasus Munir merupakan ujian sejarah. Namun, SBY tak berhasil mengungkap dalang pembunuhan untuk kemudian diseret ke muka pengadilan.
Bahkan, dokumen hasil investigasi Tim Pencari Fakta (TPF) raib hingga saat ini. Padahal, berdasarkan keterangan sejumlah pihak seperti anggota TPF Hendardi dan Usman Hamid di sidang sengketa informasi 2016 lalu, dokumen investigasi sudah diserahkan ke SBY, tetapi belum diumumkan ke publik.
“Dari rezim SBY dua kali kita bisa lihat bagaimana dia tidak mampu dan tidak mau, karena kita bisa lihat statemennya SBY ketika TPF memeriksa Hendropriyono. Dan Hendropiyono menolak sebagai Kepala BIN waktu itu. SBY hanya bilang kecewa. Apakah itu bagian dari penegakan hukum atau ini soal emosi,” tutur Suciwati.
“Ini kamu kepala negara, kamu presiden, kenapa kamu tidak menuntut kepada aparatmu untuk menindaklanjuti apa yang harusnya dibawa. Jadi, harusnya diperiksa kemudian ditindaklanjuti, dan kita bisa melihat itu dengan kasatmata, akhirnya hasilnya nol,” lanjutnya.
Sementara untuk Jokowi, Suciwati menilai mantan Walikota Solo itu lepas tanggung jawab.
Suaranya melalui sambungan telepon meninggi ketika ia menyebut para terduga pelaku pelanggaran HAM masa lalu justru dibiarkan bergabung ke dalam lingkaran kekuasaan.
Menurut Suciwati, dokumen TPF bukan menjadi satu-satunya pintu masuk untuk mengusut kembali kasus Munir. Ada banyak solusi bagi Jokowi untuk bisa berbuat seperti memanggil kembali mantan anggota TPF dan menindaklanjuti fakta persidangan.
“Kita bisa melihat di sana bagaimana hakim memutuskan bahwa ini adalah pemufakatan jahat, bagaimana di proses pengadilan itu ada link ke BIN. Itu sudah jelas sekali, dan itu kemudian di-ignore. Jadi, buat kami sebagai keluarga korban itu hal yang sangat mengerikan sebagai sebuah negara yang katanya harusnya menegakkan hukum dan hak asasi, itu tidak ada,” ucapnya.
Suciwati mengaku sudah hilang harapan terhadap pemerintahan saat ini. Penegakan dan perlindungan hak asasi, menurutnya, sudah masuk ke dalam kondisi krisis.
Terlebih, menurutnya, orang yang diduga terlibat dalam pembunuhan Munir justru sempat menjadi bagian dari tim transisi pemerintahan Jokowi periode pertama. Karena itu, Suciwati mengaku sudah tak berharap pada rezim saat ini. “Pada rezim ini saya enggak punya harapan,” katanya.
Tidak putus asa. Kunci bagi Suciwati menjaga elan agar tetap menyala. Ia mengakui merasa lelah dan marah sebab 17 tahun adalah waktu yang sangat panjang. Solusi menjaga perjuangan agar terus berlanjut, terang Suciwati, adalah dengan mengajak generasi muda untuk memahami HAM.
“Rezim ini enggak akan terus ada. Yang penting itu mendidik anak muda dalam perspektif penegakan HAM. Dan perlawanan itu terus ada, kita buat. Karena banyak sekali hal-hal yang akan kita lakukan ke depan,” imbuhnya.
Ia mengungkapkan sangat merindukan sosok seperti Munir. “Bukan hanya seorang suami, seorang ayah, tapi seorang yang bisa bersuara dengan lantang dan terus-menerus membuat kita berpikir dan bertindak kritis,” kenangnya.
Pelanggaran HAM Berat
Direktur LBH Jakarta, Arif Maulana menilai pembunuhan Munir merupakan kejahatan kemanusiaan yang dapat digolongkan sebagai pelanggaran HAM berat.
Arif yang juga merupakan aktivis Komite Aksi Solidaritas untuk Munir (KASUM) pun mendesak agar pengusutan dilakukan dengan pengecualian prinsip kedaluwarsa, karena sebelumnya ditangani melalui mekanisme hukum pidana sebagai pembunuhan berencana.
Jika dalam kerangka penegakan hukum kasus tindak pidana biasa ada batas waktu 18 tahun.
“Ini kemudian oleh teman-teman KASUM coba kita kritisi dan kita dorong agar aparat penegak hukum kemudian betul-betul jeli untuk kemudian melakukan penegakan hukum secara adil dengan melihat bahwa kasus Cak Munir sebetulnya enggak boleh dilihat sebagai kasus tindak pidana biasa,” kata Arif dalam sebuah diskusi daring, Ahad (5/9/2021).
KASUM yang beranggotakan koalisi aktivis dari KontraS, Imparsial, Amnesty Internasional Indonesia, dan LBH Jakarta, menyerahkan legal opinion atas kasus Munir ke Komnas HAM pada 2020.
Arif meyakini pembunuhan Munir layak dikategorikan sebagai pelanggaran HAM berat sebagaimana diatur dalam pasal 9 UU No 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Sejumlah unsur telah terpenuhi setidaknya unsur pembunuhan dan penyiksaan. Serta melibatkan institusi negara dalam hal ini BIN.
“Jika tidak (ditetapkan sebagai pelanggaran HAM berat), kami khawatir bahwa kasus ini kemudian berhenti proses penegakannya dan para pelaku berlindung di balik impunitas, di balik dalil kedaluwarsa,” kata Arif.
Aktivis KASUM lainnya, Bivitri Susanti menegaskan korban belum memperoleh keadilan dalam kasus pembunuhan terhadap Munir. Ia menilai penting penyelesaian kasus Munir secara tuntas demi perlindungan para pembela HAM.
“Pengungkapan kasus bertujuan untuk belajar dari masa lalu dan ke depan bagaimana menjadi negara hukum yang substantif,” kata Bivitri.
Ia menambahkan, rezim berganti tidak melepaskan tanggung jawab negara untuk menuntaskan kasus ini. Dalam hal ini, Bivitri menyinggung dokumen hasil investigasi TPF yang dinyatakan hilang.
“Enggak bisa dikata, ‘Oh, kami enggak punya karena sudah ada di presiden (sebelumnya). Ini negara Bung, bukan kantor biasa. Bahkan, kantor kelurahan pun enggak boleh bilang ‘Maaf, kami enggak punya dokumen Anda, karena lurahnya sudah ganti’,” imbuhnya.
Dalam kasus ini, setidaknya baru tiga orang yang diseret ke muka persidangan. Yakni mantan pilot Garuda Indonesia Pollycarpus Budihari Priyanto yang divonis 14 tahun penjara, mantan Direktur Utama Garuda Indonesia Indra Setiawan yang divonis satu tahun penjara, dan mantan Deputi V BIN Muchdi Pr yang divonis bebas.
Ada sejumlah nama yang belum tersentuh hukum. Satu diantaranya adalah mantan Kepala BIN AM Hendropriyono. “KASUM ingin merawat ingatan publik untuk melawan impunitas,” terang Bivitri.
Sementara, Komnas HAM masih belum menetapkan kasus Munir sebagai kasus pelanggaran HAM berat. Komisioner Komnas HAM Sandrayati Moniaga mengatakan masih ada perbedaan pendapat antara komisioner mengenai hal tersebut.
“Kalau secara garis besar, pendapatnya masih beragam. Masih ada yang melihat bahwa ini sulit dikategorikan sebagai pelanggaran HAM berat, karena berbagai pertimbangan,” kata Sandrayati dalam sebuah diskusi ‘Audiensi Publik Penuntasan Kasus Munir’ yang digelar secara daring, Senin (6/9/2021). [wip]