(IslamToday ID) – Langkah Menteri Sosial (Mensos) Tri Rismaharini menghentikan program bantuan sosial bansos tunai (BST) Covid-19 dinilai terlalu terburu-buru. Menurut pengamat kebijakan publik Universitas Esa Unggul, Jamiluddin Ritonga, saat ini perekonomian belum sepenuhnya pulih.
BST diberikan kepada 10 juta penerima sebesar Rp 300.000 per bulan selama PPKM. Namun kini Mensos menghentikannya.
“Sebagai leading sector mengatasi orang miskin sangat naif kalau bansos itu dikurangi, realitasnya kalau Risma benar turun ke lapangan, masyarakat miskin ini sedang menjerit karena ekonomi enggak langsung berjalan,” kata Jamiluddin seperti dikutip dari CNN Indonesia, Jumat (24/9/2021).
Ia mengamini kasus Covid-19 telah menunjukkan tren perbaikan. Namun geliat roda ekonomi belum berjalan seperti semula, sehingga masih ada masyarakat yang membutuhkan bantuan, terutama lapisan bawah.
Diperlukan waktu untuk kembali menggerakkan roda ekonomi di masyarakat kelas bawah. Selain membutuhkan modal untuk kembali berdagang, masyarakat kelas bawah juga masih harus memikirkan biaya kebutuhan hidup sehari-hari.
“Kebijakan Bu Risma ini saya lihat terlalu dini dan tergesa-gesa, padahal PPKM belum dicabut dan secara objektif kondisi ekonomi kita masih sangat memprihatinkan,” katanya.
Ia juga menilai langkah Risma tergesa-gesa padahal masih ada kemungkinan kasus meningkat dan PPKM kembali diketatkan. Jika demikian, masyarakat miskin bakal kembali tercekik di tengah pandemi tanpa bantuan sosial.
“Tingkat kesulitan masyarakat akibat dampak pandemi ini masih dirasakan, kalau bansos dikurangi maka jelas membuktikan negara tidak hadir untuk orang miskin,” ujar Jamiluddin.
Sementara itu, pengamat kebijakan publik Agus Pambagio menilai wajar jika Risma memangkas pengeluaran Kemensos untuk program bansos. Anggaran kemungkinan menipis di sisa tahun 2021.
Pasalnya, program BST PPKM merupakan bantuan yang diberikan setelah realokasi anggaran Kemensos untuk 2021. Anggaran bansos Kemensos sendiri sebesar Rp 85,2 triliun yang terbagi dalam tiga program bansos.
Pertama, bansos PKH senilai Rp 28,7 triliun, Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) senilai Rp 45,12 triliun, dan BST Rp 12 triliun untuk empat bulan. “Kemudian BST diperpanjang dua bulan, jadi menurut saya mereka anggarannya sudah menipis,” kata Agus.
Risma juga dinilai bakal kesulitan memantau tiga program bansos sekaligus. Meski bukan berarti program bansos dari pemerintah mesti dipotong, terutama di masa sulit karena Covid-19.
“Yang seharusnya dilakukan Risma yaitu membandingkan berapa yang dapat BST, berapa yang dapat bantuan lainnya supaya tidak ada dobel bansos. Bantuan tetap berjalan tepat sasaran dan roda ekonomi bisa berjalan sesuai harapan,” kata Agus.
Namun hal itu pun bakal sulit dilakukan sebab Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) tak kunjung padan dengan data Dukcapil. Padahal DTKS menjadi acuan pemberian program bansos kepada rakyat miskin.
DTKS yang tak padan tersebut bisa menyebabkan bansos yang disalurkan Risma tidak tepat sasaran. “Semakin buruk datanya semakin mudah dikorupsi, bagaimana Kemensos nanti mau bertanggung jawab kalau data sendiri masih belum benar,” kata Agus.
“Maka seharusnya perbaiki juga DTKS itu supaya padan dengan Dukcapil, dan lengkap by name by address supaya benar roda ekonomi berjalan, dan tak ada masyarakat struggle di masa Covid-19,” pungkasnya. [wip]