(IslamToday ID) – DPR RI resmi mengesahkan Rancangan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (RUU HPP) menjadi undang-undang.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan UU HPP ini bertujuan untuk mewujudkan sistem perpajakan yang lebih berkeadilan dan berkepastian hukum, serta melaksanakan reformasi administrasi, perpajakan konsolidatif, dan perluasan basis pajak.
“Saya minta supaya pelaksanaan Undang-Undang HPP apabila telah disahkan oleh DPR dapat dilaksanakan dengan semaksimal mungkin manfaat bagi Indonesia ditunjukkan kepada masyarakat bahwa kita memberikan pemihakan kepada masyarakat kecil,” ungkap Sri Mulyani akhir pekan lalu.
Seperti diketahui, dalam UU HPP, pemerintah memutuskan akan menambah fungsi Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) orang pribadi.
Dengan integrasinya penggunaan NIK, akan mempermudah pemerintah dalam memantau administrasi wajib pajak orang pribadi (WP OP).
Pemerintah juga mengubah sanksi pemeriksaan bagi WP yang tidak menyampaikan SPT/membuat pembukaan. Selain itu, terkait asistensi penagihan pajak global kerja sama bantuan penagihan pajak antar negara dilakukan melalui kerja sama negara mitra secara resiprokal.
Adanya pengaturan lapisan tarif PPh orang pribadi, yang saat ini penghasilan terendah sebesar Rp 60 juta. Selain itu adanya penambahan lapisan tarif PPh WP OP sebesar 35 persen untuk penghasilan kena pajak di atas Rp 5 miliar
Selain itu dalam RUU HPP ini pemerintah melakukan penambahan threshold peredaran bruto tidak kena pajak untuk UMKM. Dimana bagi orang pribadi pengusaha yang menghitung PPh dengan tarif 0,5 persen sesuai dengan Peraturan Pemerintah No 23 Tahun 2018 dan memiliki peredaran bruto sampai Rp 500 juta setahun tidak dikenai PPh.
Pemerintah juga memutuskan untuk memasang tarif PPh Badan sebesar 22 persen mulai 2022. Padahal, dalam UU No 2 Tahun 2020, pemerintah telah memutuskan untuk memasang tarif PPh Badan sebesar 20 persen pada 2022.
“Kebijakan-kebijakan yang diambil merupakan bentuk perlindungan kepada UMKM dan masyarakat berpenghasilan rendah. Selain itu, diharapkan kebijakan tersebut juga lebih mencerminkan keadilan WP,” jelas Wakil Ketua Komisi XI sekaligus Ketua Panja RUU HPP Dolfie AFP seperti dikutip dari CNBC Indonesia, Kamis (7/10/2021).
Pemerintah dan DPR mengungkapkan tetap berkomitmen dengan memberikan fasilitas pembebasan PPN atas barang kebutuhan pokok, jasa pendidikan, jasa kesehatan, jasa keuangan, dan jasa pelayanan sosial.
Kendati demikian, dalam UU HPP, dijelaskan PPN akan meningkat secara gradual menjadi 11 persen dimulai pada 1 April 2022 dan menjadi 12 persen pada 1 Januari 2025.
Adapun dalam pemungutan PPN, atas jenis barang/jasa tertentu atau sektor usaha tertentu diterapkan tarif PPN “final” misalnya 1 persen, 2 persen, atau 3 persen dari peredaran usaha, yang diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan (PMK).
Pemerintah tetap memberikan pembebasan PPN untuk barang kebutuhan pokok, jasa kesehatan, jasa pendidikan, pelayanan sosial, dan beberapa jenis lainnya.
Dalam UU HPP program pengampunan pajak disebut sebagai program pengungkapan sukarela wajib pajak.
Program ini berupa pemberian kesempatan kepada wajib pajak untuk melaporkan atau mengungkapkan kewajiban perpajakan yang belum dipenuhi secara sukarela melalui pembayaran PPh berdasarkan pengungkapan harta yang tidak atau belum sepenuhnya dilaporkan oleh peserta program pengampunan pajak.
Serta melalui pembayaran pajak penghasilan berdasarkan pengungkapan harta yang belum dilaporkan dalam SPT Tahunan Pajak Penghasilan orang pribadi Tahun Pajak 2020. Kebijakan ini akan diselenggarakan pada 1 Januari hingga 30 Juni 2022.
Ada dua ketentuan dari kebijakan ini. Pertama untuk aset yang dilaporkan per 31 Desember 2015 dengan tarif 6-11 persen sesuai repatriasi dan aset. Kedua, tarif 12-18 persen untuk pelaporan 2016-2020.
Pemerintah dan DPR juga menyepakati untuk menerapkan pajak karbon sebesar Rp 30 per kilogram (kg) karbondioksida ekuivalen (CO2e) atau satuan yang setara.
Pajak karbon dikenakan atas emisi karbon yang memberikan dampak negatif bagi lingkungan hidup. Pengenaan pajak karbon dilakukan dengan memperhatikan peta jalan pajak karbon, dan/atau peta jalan pasar karbon.
Kemudian, subjek pajak karbon yaitu orang pribadi atau badan yang membeli barang yang mengandung karbon dan/atau melakukan aktivitas yang menghasilkan emisi karbon.
Pajak karbon terutang atas pembelian barang yang mengandung karbon atau aktivitas yang menghasilkan emisi karbon dalam jumlah tertentu pada periode tertentu.
Adapun yang dikategorikan dalam terutang pajak karbon yakni pada saat pembelian barang yang mengandung karbon, pada akhir periode tahun kalender dari aktivitas menghasilkan emisi karbon dalam jumlah tertentu, atau saat lain yang diatur lebih lanjut berdasarkan peraturan pemerintah. [wip]