(IslamToday ID) – Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Kemendikbud-Ristek) masih mendalami dugaan pelanggaran dalam penerapan Surat Edaran (SE) Dirjen Dikti Kemendikbud-Ristek soal Penyelenggaraan Pembelajaran Tatap Muka (PTM) terbatas dalam kasus tewasnya mahasiswa Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo.
“Sedang kita dalami,” kata Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi Kemendikbud-Ristek, Nizam seperti dikutip dari Republika, Kamis (28/10/2021)
Ia menyampaikan, dalam SE Dirjen Dikti, hal yang diatur baru mengenai tentang penyelenggaraan PTM terbatas di kampus. Menurut Nizam, dalam SE Dirjen Dikti yang ada, Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) belum diperkenankan untuk menyelenggarakan suatu kegiatan.
“Dalam SE Dirjen Dikti baru diatur tentang pembelajaran tatap muka terbatas, belum diperkenankan untuk menyelenggarakan kegiatan UKM,” ujar Nizam.
Ia juga menyatakan telah mendesak rektor UNS untuk mengusut tuntas kasus tewasnya mahasiswa dalam Pendidikan dan Latihan Dasar Resimen Mahasiswa (Diklatsar Menwa). Kemendikbud-Ristek mengingatkan, kampus harus jadi tempat paling aman dari tindak kekerasan.
“Saya sudah minta pada Pak Rektor untuk diusut tuntas kejadian tersebut. Kampus harus kita pastikan menjadi tempat yang paling aman dari perundungan, kekerasan, kekerasan seksual, dan intoleransi,” ujar Nizam.
Ia menyatakan keprihatinannya dan mengucapkan bela sungkawa kepada keluarga korban. Nizam mengaku belum mengetahui secara pasti kejadian tersebut diakibatkan oleh kecelakaan atau kesengajaan.
“Saya belum tahu apakah kejadian tersebut karena kecelakaan atau kesengajaan. Rektor UNS dan jajaran bersama pihak berwajib sedang melakukan pendalaman,” katanya.
Sementara itu, pengamat pendidikan dari Universitas Paramadina, Andreas Tambah menilai keberadaan Menwa tidak lagi sesuai dengan kebutuhan zaman.
“Sekarang zaman bukan lagi kekuatan fisik yang harus ditonjolkan, tetapi bagaimana skill mahasiswa itu yang harus diperbaiki. Lulusannya bisa bermanfaat,” ujarnya.
Andreas menjelaskan, Menwa pertama kali dibentuk sebagai bagian dari wajib militer di kampus yang pelatihannya diawasi langsung oleh militer. Tujuannya saat itu yakni untuk membela negara dan membangun nasionalisme.
Akan tetapi, tujuan tersebut tidak lagi relevan dengan perkembangan zaman. Saat ini, negara dalam keadaan aman secara fisik, sehingga tidak perlu mempersiapkan diri untuk berperang dengan melakukan berbagai kegiatan yang penuh dengan kekerasan.
Menurutnya, jika Menwa tetap perlu dipertahankan di kampus, fungsi dan tentunya pelatihannya dapat disesuaikan dengan kebutuhan saat ini. “Misalnya, pada saat Covid-19, dilatih saja mengenai kesehatan supaya bisa dijadikan relawan Covid, itu lebih bermanfaat dengan kondisi yang sekarang,” katanya.
Adanya pelatihan penuh kekerasan, tambah Andreas, akan menimbulkan kekerasan turun temurun dari senior ke junior yang terus menimbulkan dendam. Mengingat relevansinya yang sudah tidak sesuai zaman, maka ia tidak heran jika Menwa sudah tidak dipertahankan di banyak kampus.
Ia mengingatkan bahwa saat ini perang ekonomi dan tenaga kerja merupakan hal nyata yang dihadapi masyarakat dan tentunya lulusan universitas.
“Sekarang perang ekonomi, jelas yang dihadapi masyarakat kita kan tenaga asing. Kenapa tenaga asing pada masuk? Karena negara-negara asing itu menganggap kita bodoh, makanya masuk ke Indonesia,” ujarnya. [wip]