(IslamToday ID) – Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Kemendikbud-Ristek) menilai anggapan yang menyebut Permendikbud-Ristek No 30 Tahun 2021 melegalkan perzinaan timbul karena kesalahan sudut pandang.
Aturan yang mengatur tentang pencegahan dan penanganan kekerasan seksual (PPKS) di lingkungan perguruan tinggi itu disebut ditujukan sebagai upaya pencegahan tindakan kekerasan seksual.
“Tidak ada satu pun kata dalam Permen PPKS ini yang menunjukkan bahwa Kemendikbud-Ristek memperbolehkan perzinaan. Tajuk di awal Permendikbud-Ristek ini adalah ‘pencegahan’, bukan ‘pelegalan’,” ujar Plt Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi Kemendikbud-Ristek, Nizam seperti dikutip dari Republika, Senin (8/11/2021).
Ia menggarisbawahi fokus Permendikbud-Ristek PPKS itu adalah pencegahan dan penindakan atas kekerasan seksual. Definisi dan pengaturan yang diatur dalam Permendikbud-Ristek PPKS itu khusus untuk mencegah dan mengatasi kekerasan seksual, terutama di lingkungan perguruan tinggi.
Ia beralasan, beberapa organisasi dan perwakilan mahasiswa menyampaikan keresahan dan kajian atas kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan perguruan tinggi yang tidak ditindaklanjuti pimpinan perguruan tinggi. Dari laporan itu, kebanyakan korban takut melapor dan kejadian kekerasan seksual menimbulkan trauma bagi mereka.
“Hal ini menggambarkan betapa mendesaknya peraturan ini dikeluarkan,” tegas Nizam.
Ia juga mengatakan, kehadiran Permendikbud-Ristek PPKS merupakan jawaban atas kebutuhan perlindungan kepada korban dari kekerasan seksual di perguruan tinggi yang disampaikan langsung berbagai mahasiswa, tenaga pendidik, dosen, guru besar, dan pemimpin perguruan tinggi.
Pembentukan aturan terkait kekerasan seksual di sektor pendidikan tinggi, katanya, menjadi kewenangan Kemendikbud-Ristek. “Kemendikbud-Ristek wajib memastikan setiap penyelenggara pendidikan maupun peserta didiknya dapat menjalankan fungsi tri dharma perguruan tinggi dan menempuh pendidikan tingginya dengan aman dan optimal tanpa adanya kekerasan seksual,” jelasnya.
Permendikbud-Ristek PPKS diklaim sudah detail dalam mengatur langkah-langkah yang penting di perguruan tinggi untuk mencegah dan menangani kekerasan seksual. Selain itu, aturan disebut juga membantu pimpinan perguruan tinggi dalam mengambil tindakan lebih lanjut untuk mencegah berulangnya kembali kekerasan seksual yang menimpa civitas akademika.
Lebih lanjut Nizam menjelaskan, Permendikbud-Ristek PPKS dirancang untuk sejumlah tujuan. Pertama, membantu pimpinan perguruan tinggi dan segenap warga kampusnya dalam meningkatkan keamanan lingkungan mereka dari kekerasan seksual. Kemudian, menguatkan korban kekerasan seksual yang masuk dalam ruang lingkup dan sasaran Permendikbud-Ristek PPKS.
Lalu, untuk mempertajam literasi masyarakat umum akan batas-batas etis berperilaku di lingkungan perguruan tinggi Indonesia, serta konsekuensi hukumnya. “Moral dan akhlak mulia menjadi tujuan utama pendidikan kita sebagaimana tertuang dalam UUD, UU No 20/2003, UU No 12/2012, dan berbagai peraturan turunannya. Termasuk Permendikbud No 3/2020 tentang standar nasional pendidikan tinggi,” kata Nizam.
Melegalisasi Perzinaan
Permendikbud-Ristek PPKS memang memunculkan sejumlah protes dari berbagai pihak. Organisasi kemasyarakatan (ormas) Islam yang tergabung dalam Majelis Ormas Islam (MOI) yang beranggotakan 13 Ormas Islam Indonesia menyatakan penolakan terhadap keluarnya Permendikbud-Ristek pada 28 September 2021 itu.
Dalam pernyataan resminya MOI menilai Permendikbud-Ristek tersebut secara tidak langsung telah melegalisasikan perzinaan.
Ketua MOI KH Nazar Haris menegaskan, Permendikbud-Ristek PPKS berpotensi merusak standar nilai moral mahasiswa di kampus. “Yang semestinya perzinaan itu kejahatan malah kemudian dibiarkan,” tuturnya.
Menurut MOI, Permendikbud-Ristek ini telah menimbulkan keresahan di kalangan umat Islam pada khususnya dan bangsa Indonesia pada umumnya. Banyak poin dalam Permendikbud-Ristek yang bermasalah dan dapat menjadi polemik di tengah masyarakat dalam pelaksanaannya ke depan.
Nazar mengatakan bahwa Permendikbud-Ristek ini mengadopsi draft RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) yang telah ditolak masyarakat luas di DPR periode 2014-2019.
“Poin yang dikritisi dan ditolak oleh MOI antara lain terkait paradigma seks bebas berbasis persetujuan (sexual-consent) yang memandang bahwa standar benar dan salah dari sebuah aktivitas seksual bukan nilai agama, tapi persetujuan dari para pihak, selama tidak ada pemaksaan, telah berusia dewasa, dan ada persetujuan, maka aktivitas seksual menjadi halal, meskipun dilakukan di luar pernikahan yang sah,” ujar Nazar.
Permendikbud-Ristek ini juga berpotensi memfasilitasi perbuatan zina dan perilaku penyimpangan seksual LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender). LGBT adalah penyakit mental dan penderitanya adalah pasien yang harus dibantu kesembuhannya melalui lembaga konseling yang difasilitasi negara.
Pengamat Pendidikan Islam Jejen Musfah menilai penyebab munculnya penolakan terhadap Permendikbud-Ristek PPKS karena adanya ambiguitas frasa. “Saya menduga, kritik dari banyak kalangan itu adalah karena frasa dalam Permendikbud ini seolah-olah membolehkan hubungan seks di lingkungan kampus, jika keduanya sama-sama suka,” ujar Jejen, merujuk frasa ‘tanpa persetujuan korban’ dalam pasal 5 ayat 2.
Menurutnya, frasa tersebut berpotensi menggiring opini bahwa perzinaan jika dilakukan suka sama suka maka tidak menjadi masalah. Ia juga mengkritisi pasal yang menjelaskan tentang pembentukan satuan tugas anti kekerasan seksual di lingkungan kampus, yang menurutnya selama ini telah diemban oleh dekan, kepala prodi, dan ketua bidang kemahasiswaan.
“Kita juga di fakultas dan universitas ada senat yang selama ini bertugas mengadili dan menyidang kasus kekerasan seksual di kampus,” ujarnya.
Menurutnya, keprematuran peraturan ini membuat kritik dan protes dari beragam pihak menjadi lazim terjadi. Jejen mengatakan, jika penyusunan peraturan ini telah mengikuti standar yang ada, maka sudah sepatutnya tim ahli, perancang naskah hukum, hingga para pakar yang terlibat dapat memahami lemahnya frasa yang digunakan.
“Kritik atas Permendikbud ini memang harus digaungkan karena kita tidak tahu, pihak mana saja yang dilibatkan, bagaimana proses pembuatannya, hingga uji publiknya,” ujarnya.
Ia menyarankan agar peraturan ini direvisi kembali dan disusun ulang dengan melibatkan lebih banyak elemen masyarakat, termasuk ikatan dosen atau aktivis pendidikan. Pelibatan ormas Islam dan MUI juga dapat menjadi pertimbangan, mengingat Indonesia merupakan negara mayoritas muslim.
“(Permendikbud-Ristek) Harus direvisi, ditunda dulu perilisannya, dan tentu harus melibatkan ahli, asosiasi yang otoritatif di bidang ini, karena ini bukan hanya mencakup persoalan hukum, tapi juga budaya, karakter, dan agama,” tegasnya. [wip]