(IslamToday ID) – Pimpinan DPRD Provinsi Sumatera Utara (Sumut) Rahmansyah Sibarani mengapresiasi riset untuk menguak peradaban yang pernah berkembang di kawasan Situs Bongal.
“Tentang Bongal, tentu kita selaku wakil rakyat Sumatera Utara sangat mendukung penggalian situs ini. Karena kita tahu bahwa Situs Bongal merupakan pelabuhan internasional yang telah terbenam di wilayah Jago-jago, Kecamatan Badiri, Kabupaten Tapanuli Tengah,” ujar Rahmansyah di kediaman keluarganya, Rabu (23/2/2022) malam, sebelum menghadiri penutupan Musabaqoh Tilawatil Quran (MTQ) Kabupaten ke-47 dan Festival Seni Qosidah (FSQ) ke-32 di Barus, Tapanuli Tengah.
Lanjutnya, sebagai pimpinan DPRD Sumatera Utara ia merasa turut bertanggung jawab untuk menggali situs-situs bersejarah di Sumatera Utara, termasuk situs Bongal di Tapanuli Tengah. Ia mengaku siap mengawal penetapan Situs Bongal hingga menjadi cagar budaya nasional.
“Itu harus kita gali dan kita tuntaskan sejarahnya. Kami mendesak Provinsi Sumatera Utara, dinas terkait untuk segera memproses pengajuan Situs Bongal sebagai cagar budaya nasional,” imbuh Rahmansyah.
Wakil Ketua DPRD Provinsi Sumatera Utara itu juga berterima kasih atas riset terhadap Situs Bongal yang dipelopori Sultanate Institute dan PT Media Literasi Nesia. Ia berharap Sultanate Institute dan Media Literasi Nesia berkenan untuk meneliti situs-situs bersejarah di wilayah Sumatera Utara.
“Kami mengucapkan terima kasih banyak kepada Sultanate Institute, semoga betah untuk terus meneliti situs-situs bersejarah di Sumatera Utara,” ujarnya.
Layak Jadi World Heritage
Koordinator BRIN Arkeologi, Bahasa dan Sastra Sumatera Sumatera Utara, Dr Ketut Wiradnyana menilai Situs Bongal di Desa Jago-jago, Kecamatan Badiri, Tapanuli Tengah layak ditetapkan menjadi cagar budaya nasional. Bahkan, menurutnya situs ini layak ditetapkan sebagai world heritage.
Penilaian ini didasarkan pada sejumlah keistimewaan yang dimiliki Situs Bongal. Ketut mengungkapkan, hasil uji laboratorium pada temuan-temuan Situs Bongal menunjukkan fakta yang mengejutkan.
“Data-data yang dimiliki oleh Situs Bongal dari proses ekskavasi dan data pada temuan-temuan di situs ini sangat langka,” ujar Ketut usai memantau kegiatan ekskavasi lanjutan di Situs Bongal, Desa Jago-jago, Kecamatan Badiri, Selasa (22/2/2022).
Lanjut Ketut, keistimewaan lain adalah adanya indikasi kuat pengolahan komoditas alam di kawasan Situs Bongal. Hal ini didasarkan pada sejumlah temuan, seperti keberadaan botol-botol kaca, alembic, hingga cetakan mata uang.
“Ada indikasi yang kuat bahwa di Bongal ini orang tidak hanya mengumpulkan kekayaan atau komoditas alam saja, tetapi mereka juga turut mengolah kekayaan alam itu di sini. Ini yang menarik. Jadi teknologi pengolahan kekayaan alam itu sudah dilakukan di sini. Itu menunjukkan bahwa betapa intensnya aktivitas masyarakat pada masa itu atau pada kurun abad ke-7 hingga 10 Masehi,” ungkapnya.
Sejak tahun tahun 2021 penetapan Situs Bongal sebagai cagar budaya mulai dari tingkat kabupaten hingga provinsi. Ketut berkomitmen mengantarkan pengajuan situs ini hingga tingkat nasional. Ia berharap ke depan situs ini dapat ditetapkan sebagai world heritage.
“Saat ini peringkatnya tidak hanya cagar budaya kabupaten, sekarang statusnya jadi cagar budaya provinsi, nanti akan diajukan sebagai cagar budaya nasional. Nanti dengan ditetapkan sebagai situs cagar budaya nasional, kita berharap dapat diajukan menjadi situs cagar budaya internasional the world heritage,” ujar Ketut.
Direktur Sultanate Institute Tori Nuariza mengatakan riset tentang Situs Bongal telah dilakukan sejak 3 tahun terakhir. Riset diawali dengan survei kawasan dan temuan pada akhir tahun 2020. Survei ini kemudian melahirkan kerja sama riset dan ekskavasi antara Sultanate Institute dengan Balai Arkeologi Sumut pada tahun 2021.
Sementara itu, riset pada tahun 2022 kali ini melibatkan para peneliti dari BRIN, yang terdiri dari sejumlah pakar arkeologi sejarah, pakar arkeologi maritim, pakar geo-arkeologi, arkeologi Islam, hingga pakar kehutanan.
Mengingat pentingnya situs ini, ada tiga hal yang harus dilakukan dalam pelestarian situs. Pertama, mendirikan “site museum” di kawasan Situs Bongal yang berisi ragam temuan dari situs tersebut.
Kedua, konservasi tiga komoditas aromatika, yaitu kafur, gaharu, dan kemenyan. Sebab hingga saat ini komoditas-komoditas tersebut langka. Padahal masih diminati dunia, utamanya untuk aromaterapi dan keperluan medis.
“Yang ketiga kami meminta pemerintah provinsi dan pemerintah pusat segera menetapkan situs ini menjadi cagar budaya nasinal dan juga membantu dukungan anggaran dalam rangka pelestarian kawasan bersejarah ini,” pungkas Tori.
Ekskavasi lanjutan tahun 2022 di Situs Bongal dimulai pada tanggal 14 sampai 28 Februari 2022. Kegiatan ekskavasi ini melibatkan para peneliti dari Sultanate Institute, Kurator Museum Abad 1 Hijriyah, Mapesa, para peneliti BRIN Kantor Arkeologi Sumatera Utara, Peneliti Pusat Riset Arkeometri BRIN, dan Peneliti Ekosistem Hutan BPSI Kuok, KLHK.
Mengenal Sultanate Institute
Sultanate Institute adalah sebuah lembaga penelitian sejarah independen yang berdiri pada tahun 2018. Lembaga ini didirikan untuk mewadahi setiap aktivitas penelitian sejarah Islam yang selama ini kurang mendapatkan perhatian publik.
Ruang lingkup kinerja Sultanate Institute meliputi:
- Kegiatan heuristik atau penelusuran sumber data sejarah
- Kajian dan analisis sumber-sumber sejarah primer
- Penulisan ilmiah
- Konservasi benda-benda artefaktual
- Serta kegiatan lain yang menunjang lahirnya publikasi ilmiah tentang perkembangan sejarah Islam di Nusantara
Melalui Divisi Konservasi Tinggalan Sejarah, Sultanate Institute pada tahun 2021 menginisiasi berdirinya sebuah lembaga konservasi bernama “Museum Abad Satu Hijriyah”.
Pendirian museum ini dimaksudkan untuk melestarikan benda-benda peninggalan peradaban Islam di Nusantara sejak periode abad satu hijriyah (700 Masehi) hingga berdirinya kesultanan Islam yang pertama (Samudra Pasai) pada abad XIII Masehi.
Di samping peranan konservasi, keberadaan Museum Abad Satu Hijriyah juga dimaksudkan untuk menyediakan sarana edukasi terhadap masyarakat, peneliti, pelajar, mahasiswa, atau semua kalangan yang menghendaki pengetahuan akan adanya sebuah pola interaksi dunia Islam yang telah terkoneksi melalui Samudera Hindia sejak awal berkembangnya dakwah di luar Jazirah Arab. [Arief Setiyanto]