(IslamToday ID) – Pakar hukum dari Universitas Diponegoro (Undip) Semarang Prof Dr Suteki mengkritik cara-cara penangkapan yang dilakukan oleh Densus 88 selama ini terhadap terduga tindak pidana terorisme. Seperti diketahui, terakhir Densus 88 menangkap Dokter Sunardi di Sukoharjo yang berujung pada kematian yang bersangkutan.
“Penangkapan itu harusnya didasarkan pada KUHAP untuk menjamin HAM-nya, bahkan ketika penyidik Densus 88 itu melanggar HAM, maka mereka bisa dipidana,” ungkap Suteki dalam FGD Forum Doktor Muslim Peduli Bangsa (FDMPB) bertema ‘Radikalisme dan Terorisme Dalam Konstruksi Kebijakan Publik’, Sabtu (19/3/2022).
Menurutnya, jika merujuk pada HAM maka untuk melakukan penangkapan sampai penahanan itu harus didahului dengan pemeriksaan pendahuluan. Tidak bisa tiba-tiba orang langsung dijadikan tersangka tanpa ada pemeriksaan pendahuluan.
“Tindak pidana terorisme itu adalah tindak pidana serius crime bukan exstra ordinary crime,” ujar Suteki.
Ia mengatakan ada yang salah jika tindak pidana terorisme dimasukkan ke dalam extra ordinary crime. “Kalau exstra ordinary crime itu apapun yang dikatakan negara dalam hal ini Densus 88 akan dianggap benar semua, dengan cara apapun. Kalau perlu itu terduga teroris matikan. Berapa banyak yang mati karena terjadi unlawfull killing yang disebut dengan extra judicial killing, taruhnya untuk yang kemarin kasus untuk Dokter sunardi,” ungkapnya.
Menurut Suteki, untuk kasus Dokter Sunardi ini sudah terjadi extra judicial killing atau unlawfull killing dilihat dari cara menangkapnya. “Mestinya kan tim surveillance itu melakukan survei dulu, dikuntit dulu istilahnya. Kan sudah jelas mobil itu, dia tinggal di situ. Apalagi kok sudah ada petugas yang sudah masuk dan berada di atas bak mobil atau cabin itu, ngapain harus melakukan penembakan? Apalagi ditengarai ketika melakukan penghadangan itu petugas juga tidak menggunakan seragam, lencana, sehingga identitasnya mungkin tidak dikenali,” ungkapnya.
Kasus Dokter Sunardi juga hampir mirip dengan kasus penembakan laskar FPI yang kini pelakunya malah divonis bebas atau lepas dari segala tuntutan. Padahal Komnas HAM sendiri sudah menyatakan bahwa telah terjadi unlawfull killing pada kasus tersebut.
“Apakah itu tidak mencederai keadilan dan kebenaran? Maka saya berani mengatakan ditengarai, diduga kuat, di situ telah terjadi peradilan sesat. Itu penanganan terorisme yang bisa dikait-kaitkan dengan persoalan radikalisme. Karena Anda tahu sendiri bahwa FPI selama ini selalu dikait-kaitkan dengan yang radikal,” ungkap Suteki.
FPI, menurutnya, selama ini sudah dikenal oleh aparat penegak hukum sebagai ormas yang radikal. “Jadi kalau dikait-kaitkan begitu, saya kira penanganan terhadap radikalisme dan ekstremisme memang tidak boleh dilakukan secara sewenang-wenang dengan dalih bahwa terorisme dan radikalisme adalah exstra ordinary crime. Padahal, itu bukan extra ordinary crime tapi serius crime,” pungkasnya. [wip]