(IslamToday ID) – Ahli hukum pidana yang juga dosen di Fakultas Hukum Unissula Semarang Muhammad Taufiq ikut bersuara perihal hilangnya kata ‘madrasah’ dalam RUU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Menurutnya, ada tiga hal yang perlu dikritisi dari keberadaan draf RUU ini.
“Memang dari awal banyak pihak yang mencemaskan penunjukan Presiden jokowi terhadap Bos Gojek ini (Nadiem Makarim), karena dia tidak menguasai peta pendidikan. Ini dapat dibuktikan dari awal dilantik saat menghadiri pergantian rektor UI sama sekali tidak mencerminkan Mendikbud. Misalnya datang dengan pakaian celana jeans, baju pendek, dan juga sepatu kasual yang tidak menggunakan kaus kaki. Dan hal tersebut tidak pernah ditemukan sebelumnya (jajaran menteri). Mestinya kan dia datang mengunakan jas dan sebagainya,” ujar Taufiq, Selasa (29/03/2022).
Taufiq kemudian mengatakan bahwa bukan kapasitas seorang Mendikbud berbicara masalah toleransi dalam pendidikan.
“Kedua dia begitu kekeh memperjuangkan toleransi, di mana itu bukan bidang dan juga kapasistasnya. Pendidikan itu memang erat kaitannya dengan agama dan dia tidak sama sekali menyentuh itu selama menjabat sebagai menteri,” katanya.
Selanjutnya, Taufiq menganggap bahwa Mendikbud tidak memahami historis madrasah.
“Yang ketiga, ia sama sekali ahistoris, harus dipahami sebelum lahirnya negara ini dan sebelum muncul sekolah-sekolah negeri lebih dahulu ada madrasah. Itu sangat kuat dan ada di semua tempat di Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Mereka sangatlah berjasa besar melahirkan tokoh, tokoh yang misalnya dari Muhammadiyah itu ada KH Ahmad Dahlan, dari NU ada Wahid Hasyim dan tokoh pendidikan lainnya. Jadi jika membuat RUU Sisdiknas dan akhirnya mengesampingkan peran madrasah itu jelas cara berpikir yang tidak urut atau ahistoris,” ucapnya seperti dikutip dari Disetrap.com.
Taufiq berharap draf RUU Sisdiknas tersebut tidak dimasukkan ke dalam program legislasi nasional (prolegnas) prioritas sebelum mengundang tokoh-tokoh tertentu yang nantinya bakal terimbas langsung dengan aturan tersebut.
“Jangan didaftarkan untuk kemudian disahkan, dan harus melalui seleksi naskah akademik dan juga melalui public hearing. Dan orang-orang yang dikenai peraturan itu harus dihadirkan, seperti pondok-pondok pesantren yang punya madrasah. Kemudian ormas Islam itu juga harus diajak bicara,” tutur Taufiq. [wip]