(IslamToday ID) – RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) telah disahkan menjadi undang-undang (UU) pada rapat paripurna, Selasa (12/4/2022) lalu. Dari sembilan fraksi di DPR hanya Fraksi PKS yang menolak pengesahan tersebut.
Menurut Ketua Fraksi PKS DPR RI Jazuli Juwaini, penolakan Fraksi PKS semata-mata untuk mengingatkan DPR bahwa sebenarnya terdapat semangat dan momentum untuk mengatur tindak pidana kesusilaan secara lengkap dan komprehensif di dalam RUU KUHP. Dan hal tersebut sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No 46/PUU-XIV/2016.
Dalam pertimbangan hukumnya, hakim MK menegaskan diperlukan langkah perbaikan untuk melengkapi pasal-pasal yang mengatur tentang tindak pidana kesusilaan oleh pembentuk undang-undang.
Menurut Jazuli, dengan disahkannya RUU TPKS menjadi undang-undang maka kita kehilangan momentum untuk mendapatkan pengaturan komprehensif tentang tindak pidana kesusilaan. Selain itu, celah multi tafsir masih terjadi atas perilaku asusila yang dilakukan tanpa paksaan dan kekerasan seperti seks bebas dan menyimpang.
“Fraksi PKS berpandangan mengeluarkan tindak pidana kekerasan seksual dari kerangka komprehensif pembahasan tindak pidana kesusilan berpotensi menimbulkan multi tafsir pada aspek delik pemidanaannya sebagaimana polemik yang terjadi saat ini. Hal ini menyebabkan pengaturan yang parsial dan melemahkan upaya pencegahan dan penindakan segala jenis tindak pidana kesusilaan yang meresahkan dan mengancam masyarakat,” ungkap Jazuli seperti dikutip dari Fraksi PKS, Jumat (15/4/2022).
Fraksi PKS mengingatkan bahwa sampai saat ini DPR bersama pemerintah punya PR untuk melengkapi dan memperbaiki pasal-pasal yang mengatur tindak pidana kesusilaan sebagaimana putusan MK, yaitu meliputi kekerasan seksual, perzinaan, dan penyimpangan seksual.
“Sejatinya kami ingin agar pembahasan RUU TPKS dilakukan secara paralel dengan pasal-pasal tindak pidana kesusilan dalam RUU KUHP sehingga lebih utuh, lengkap, integral, serta tidak tumpang tindih (overleaping) sekaligus, yang paling penting, tidak menimbulkan pemaknaan lain yang tidak sejalan dengan Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945,” terang Jazuli.
“Sampai saat ini kita belum memiliki rumusan tindak pidana kesusilaan yang komprehensif dan RUU KUHP berusaha merumuskan hal itu,” tambahnya.
“Namun karena RUU TPKS sudah sah menjadi undang-undang, Fraksi PKS mendesak agar RUU KUHP segera dibahas dan disahkan, sehingga upaya pencegahan dan penindakan semua bentuk tindak pidana kesusilaan seperti perzinaan dan seks menyimpang yang mengkhawatirkan dan mengancam masyarakat bisa dilakukan dengan efektif,” pungkas Jazuli.
Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi PKS, Muhammad Nasir Djamil menambahkan perlunya pembaruan hukum nasional dimana ditandai dengan dilakukannya perubahan terhadap KUHP.
Hal itu ia sampaikan saat memberikan keterangan dalam PKS Legislative Report di acara Penutupan Masa Persidangan Rapat Paripurna IV Tahun 2021-2022 di Gedung Nusantara II, Kamis (14/4/2022).
“Karena kita sadar bahwa KUHP kita saat ini adalah warisan dari kolonial dan itu sudah berlaku sejak 1918. Tahun 1963 sudah ada rekomendasi untuk melakukan pembaruan terhadap KUHP kita. Lalu tahun 1964, diluncurkanlah pertama kali RUU KUHP kita,” ungkap Nasir.
Ia lanjut mengutarakan bahwa RUU KUHP ini sudah sempat dibahas pada masa sidang lalu, namun sampai hari ini KUHP tidak jelas aturannya. Oleh sebab itu, ia berharap kepada pemerintah dan DPR untuk membahas lebih lanjut terkait perubahan KUHP tersebut.
“Dengan adanya perubahan itu maka upaya pembaruan hukum nasional ini dapat diterapkan,” pungkasnya. [wip]