(IslamToday ID) – Pemerintah Indonesia dilaporkan tengah menyiapkan aturan terkait platform internet dan media sosial (medsos). Aturan itu akan memungkinkan Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kominfo) mendenda dan mendakwa secara pidana media sosial seperti Facebook dan Twitter jika tidak cepat menghapus konten yang dinyatakan terlarang.
Laporan itu berasal dari Reuters, yang juga mengatakan ini untuk pihak berwenang dapat membuat platform menghapus konten “melanggar hukum” dengan cepat. Reuters mengutip laporan itu dari sumber yang mengetahui masalah tersebut.
Sejumlah eksekutif perusahaan online telah memberikan pengarahan atas rencana tersebut. Namun mereka memperingatkan langkah-langkah itu akan sulit dipatuhi, meningkatkan biaya operasi mereka, dan bisa merusak kebebasan berekspresi di dalam negeri.
Semuel Abrijani Pangerapan, Dirjen Aptika Kementerian Kominfo mengatakan jika aturan tersebut telah ada. Saat ini pihaknya sedang dibahas mengenai rumusan denda.
“Aturannya sudah ada, yang sedang dibahas sekarang adalah rumusan besarnya denda,” kata Semuel seperti dikutip dari CNBC Indonesia, Jumat (20/5/2022).
Dihubungi secara terpisah, Juru Bicara Kementerian Kominfo Dedy Permadi mengatakan aturan yang disinggung laman Reuters bukanlah revisi UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) serta perubahannya. Namun terkait penyusunan peraturan pelaksana dari UU ITE yang disahkan tahun 2008 serta direvisi 2016 lalu.
Menurutnya, Kominfo dengan Kementerian Keuangan menyusun Rancangan Peraturan Pemerintah mengenai Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) pada Kementerian Kominfo. Salah satunya adalah mengenai ketentuan nilai denda yang dikenakan jika ada pelanggaran.
“Saat ini memang Kementerian Kominfo bersama Kementerian Keuangan sedang menyusun Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) pada Kementerian Kominfo (RPP PNPB),” jelas Dedy.
“Salah satu muatan dalam RPP PNBP tersebut adalah ketentuan nilai denda yang dapat dikenakan apabila terjadi pelanggaran pada UU ITE, dan PP No 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (PP PSTE).”
Dedy mengatakan penyusunan RPP PNBP adalah amanat UU ITE dan PP PSTE yang mengaur adanya sanksi administratif. Yakni berupa pengenaan denda jika ada platform internet tidak memenuhi kewajiban yang belaku.
“Sesuai sifatnya yang mengatur sanksi administratif, RPP PNBP tidak mengatur pengenaan ketentuan pidana. Adapun untuk pengaturan ketentuan pidana tetap merujuk pada UU ITE,” kata Dedy.
Menanggapi hal itu, ahli hukum tata negara Refly Harun mengatakan pemerintah saat ini memiliki kecenderungan menjadi otoriter.
“Ada satu soal yang paling berat di Indonesia saat ini dalam masa pemerintahan Presiden Jokowi, yaitu kecenderungan untuk menjadi otoriter, kecenderungan untuk membatasi kebebasan berpendapat, baik secara lisan maupun tulisan,” kata Refly melalui kanal YouTubenya seperti dikutip dari Pikiran Rakyat.
“Jadi langkah-langkah preventifnya itu justru menghalangi orang untuk berkreasi, berinovasi, mengeluarkan statement dan lain sebagainya,” tambahnya.
Kemudian, Refly mengatakan bidang-bidang seperti keamanan, terorisme dan ketertiban umum, perlindungan anak, serta pornografi yang akan diatur dalam regulasi itu wilayahnya akan terlalu luas.
“Misalnya aspek keamanan, mengganggu keamanan kita enggak jelas. Kemudian ketertiban umum, kita enggak jelas juga. Perlindungan anak enggak jelas juga. Terorisme enggak jelas juga. Mungkin yang jelas itu pornografi, mungkin itu lebih jelas,” ujarnya.
Selain itu, Refly mengatakan bahwa biasanya konten-konten yang kritis, yang membuka borok pemerintah yang barangkali akan disasar terlebih dahulu. “Apalagi misalnya katakanlah konten-konten media sosial tersebut memberitakan, melakukan investigasi terhadap dugaan-dugaan permainan kotor,” tuturnya.
“Penguasa dalam proyek-proyek tertentu, dalam katakanlah eksploitasi sumber alam tertentu dan lain sebagainya. Ini yang kemudian bisa dimanfaatkan untuk katakanlah menjadi kuda troya peraturan ini bagi kepentingan-kepentingan oligarki,” sambungnya.
Oleh karena itu, Refly meminta jika aturan ini benar-benar ada, maka hal ini harus dilawan. “Kalau ada peraturan seperti ini baiknya dilawan,” tegasnya.
Lebih lanjut, Refly justru mengatakan aturan ini tidak perlu ditetapkan jika seandainya ada konten yang memang jelas-jelas merugikan.
“Ya selesaikan dengan mekanisme penegakan hukum yang umum saja, kalau memang ada yang dirugikan bisa lakukan gugatan secara perdata. Tapi kalau misalnya sudah ada unsur pidananya ya lakukan pelaporan, pengaduan kepada penegak hukum,” pungkasnya. [wip]