(IslamToday ID) – SK Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) terbaru No 287 Tahun 2022 tentang Penetapan Kawasan Hutan dengan Pengelolaan Khusus (KHDPK) berujung protes dan konflik lahan di berbagai daerah.
Padahal SK tersebut baru diterbitkan belum lama ini, yakni pada 5 April 2022. Dalam SK yang diteken Menteri LHK Siti Nurbaya Bakar itu menyatakan KLHK mengambil alih kelola hutan seluas 1,1 juta hektare di Jawa dari Perum Perhutani. Salah satu tujuannya yaitu untuk perhutanan sosial.
SK itu bukan hanya menimbulkan polemik dari kalangan pegawai Perum Perhutani saja, melainkan juga warga-warga di sejumlah daerah.
Kabid Fisik dan Prasarana Bappeda Blora Puji Ariyanto mengatakan di daerahnya sudah banyak pihak yang mematok dan mengklaim tanah mengatasnamakan SK tersebut.
“Di lapangan ini sudah ada kegiatan oknum yang mulai membuat batasan-batasan atau penyerobotan kawasan hutan untuk diakui menjadi lahan-lahan milik oknum tersebut,” kata Puji seperti dikutip dari CNN Indonesia, Senin (13/6/2022).
Selain itu, ia menyebut warga juga mengaku siap baku hantam jika pengelolaan hutan itu diberikan kepada orang di luar Blora. “Kalau izin itu nanti diberikan kepada orang-orang yang tidak berdomisili di Blora atau bukan warga Blora mereka sudah siap bacok-bacokan,” ujar Puji.
“Nah ini kan sudah enggak kondusif. Padahal salah satu misi Pak Bupati ini menjaga kondusivitas wilayah,” imbuhnya.
Pihaknya juga mengaku khawatir tata lingkungan hidup yang berkelanjutan di Blora akan rusak setelah SK tersebut keluar. Sebab, adanya perubahan fungsi hutan.
“Kalau nanti SK ini diterapkan kemudian terjadi perubahan penggunaan kawasan hutan menjadi non hutan, ini juga kan berpengaruh terhadap tata lingkungan yang diharapkan,” ucapnya.
Puji berkata imbas pengambilalihan kelola hutan itu akan ada sejumlah masalah besar yang menanti. Pasalnya, sebanyak 46,23 persen atau 90.426 hektare lahan di Blora adalah kawasan hutan dan terdapat pemukiman warga di dalamnya.
“Apalagi yang berkaitan dengan masyarakat pasti bakal berdampak besar bagi Kabupaten Blora. Ada 138 desa yang masuk dalam kawasan ataupun di sekitar hutan,” ujarnya.
Sementara itu, perwakilan Serikat Pekerja dan Pegawai Perhutani (SP2P) Dito meyakini konflik lahan itu tak hanya di Blora. Sebab, ia mengaku banyak mendapat laporan dari rekannya di berbagai daerah soal klaim lahan sepihak. “KHDPK telah memicu banyak konflik horizontal di lapangan,” ujarnya.
Di Karawang misalnya, sekelompok masyarakat mulai memasang spanduk di pinggir hutan untuk mematok lahan. Hal itu diungkapkan oleh Ketua Forum Penyelamat Hutan Jawa (FPHJ) Eka Santosa.
“Tanah garapan petani ini menjadi lokasi prioritas reforma agraria. Warning! Perhutani Dilarang Masuk.” Demikian pesan yang tertera pada dua spanduk di lahan yang tadinya dikelola Perhutani.
Selain itu, Eka meyakini setelah SK itu dikeluarkan akan ada deforestasi. Sebab Eka telah menemukan beberapa perhutanan sosial hasil kebijakan sebelumnya yang hutannya habis.
Eka pun mengirimkan sejumlah bukti-bukti. Ia mengirimkan foto kuitansi jual beli lahan yang diduga perhutanan sosial senilai Rp 60 juta dan Rp 165 juta di Karawang, Jawa Barat.
Eka juga memperlihatkan foto area diduga perhutanan sosial yang telah berganti menjadi tempat penampungan limbah B3 di Karawang.
Sementara itu, Menteri LHK Siti Nurbaya Bakar mengklaim pengambilalihan lahan justru dilakukan untuk mempercepat rehabilitasi hutan, serta mengatasi konflik tenurial. Ia menyebut tidak semua area hutan 1,1 juta ha itu akan dijadikan perhutanan sosial.
Siti berkata pihaknya sedang mempersiapkan keputusan menteri baru yang berisi ketentuan lebih rinci terkait pengelolaan 1,1 juta ha KHDPK di Pulau Jawa itu. “Dengan begitu, KHDPK tidak diinterpretasikan secara sempit bahwa seluruh area ditujukan untuk perhutanan sosial,” ujarnya dalam rapat bersama Komisi IV, Rabu (9/6/2022). [wip]