(IslamToday ID) – Anggota Komisi III DPR RI Romo HR Muhammad Syafii mengatakan tindakan penyadapan sangat penting untuk mengungkap kebenaran dari sebuah peristiwa tindak pidana. Meskipun sebenarnya hal itu bertentangan dengan pasal-pasal di UUD 1945 yang mengatur tentang hak asasi manusia.
“Tetapi kita memang sangat mewanti-wanti, karena orang yang disadap itu kan tidak tahu. Maka harus dibuat aturan yang jelas terhadap pelaku penyadapan, tata cara penyadapan, dan penggunaan dari hasil penyadapan itu. Itulah yang kita bahas di Komisi III DPR,” kata Romo Syafii terkait urgensi penyusunan RUU Penyadapan seperti dikutip dari YouTube DPR RI, Senin (20/6/2022).
Menurutnya, selama ini berbagai badan, lembaga, dan kementerian juga memiliki hak penyadapan namun dengan tata cara dan prosedur yang tidak sama satu sama lain.
“Kan sudah ada keputusan MK bahwa penyadapan itu hanya bisa dilakukan dengan regulasi setingkat undang-undang. Jadi ini menjadi kebutuhan untuk menyeragamkan tentang proses persyaratan, tata cara penggunaan dari penyadapan yang tidak boleh lagi berbeda antara satu instansi dengan instansi yang lain,” ungkap Romo Syafii.
Namun, menurutnya, batasan penyadapan hanya bisa dilakukan terhadap seseorang yang sudah memiliki dua alat bukti sah bahwa yang bersangkutan melakukan tindak pidana. Terhadap orang tersebut boleh dilakukan penyadapan, namun dengan batas waktu yang jelas.
“Di rancangan itu kan diajukan satu bulan, dan hanya bisa diperpanjang satu bulan ke depan. Namun bila satu bulan perpanjangan itu kemudian substansi yang dicari lewat penyadapan tidak berhasil, maka penyadapan tetap harus dihentikan,” ungkap Romo Syafii.
Ia melanjutkan, ada juga penyadapan dilakukan untuk situasi yang mendesak dan membahayakan orang banyak. Untuk kasus ini pihak yang melakukan penyadapan harus memenuhi sejumlah syarat antara lain harus dapat izin atasan, punya ketetapan dari pengadilan, dan hasil penyadapan itu tidak boleh dijadikan sebagai alat bukti dalam penegakan hukum.
“Kemudian kalau ada orang salah melakukan penyadapan, misal yang mau disadap A ternyata yang disadap B, ini harus ada ketentuan pidananya. Ada juga materinya yang salah, misal yang mau disadap itu kasus pidana A namun yang dibeberkan justru selingkuhannya. Selama ini, hal seperti ini banyak digunakan untuk mengintimidasi baik terhadap tersangka maupun keluarganya, sehingga mereka pasrah saja dengan pasal-pasal yang dituduhkan,” ungkapnya.
Ia pun mewanti-wanti jangan sampai terjadi kesalahan dalam melakukan penyadapan, karena ini menyangkut privasi.
“Jadi kita wanti-wanti betul karena ini memang hak privasi, sedikit pun tidak boleh ada celah kesalahan dari penyidik dalam melakukan penyadapan. Karena itu benar-benar sangat mengganggu privasi dan privasi adalah hak asasi manusia,” pungkasnya. [wip]