ISLAMTODAY ID— Presiden Joko Widodo pada pidato kenegaraannya di Sidang Tahunan MPR Tahun 2022 pada Selasa (16/8) mengungkapkan tentang kondisi perekonomian Indonesia terkini. Pemerintah mengklaim berhasil menekan laju inflasi 4,9%, di bawah rata-rata ASEAN hingga pertumbuhan ekonomi 5,44%.
“Inflasi juga berhasil dikendalikan di kisaran 4,9 persen. Angka ini jauh di bawah rata-rata inflasi ASEAN yang berada di sekitar 7 persen dan jauh di bawah inflasi negara-negara maju yang berada di sekitar 9 persen,” kata Presiden Jokowi seperti dikutip dari laman setkab.go.id (16/8/2022).
“Selain itu, ekonomi berhasil tumbuh positif di angka 5,44 persen pada kuartal II tahun 2022 ini,” jelasnya.
Bersifat Sementara
Pidato pertumbuhan ekonomi Presiden Jokowi ini mendapat tanggapan dari Mantan Bidang Koordinator Kemaritiman Indonesia 2015, Rizal Ramli. Ia mengatakan berdasarkan pengalaman historis, setiap tahunnya Indonesia memang mengalami kemajuan.
“Dan memang tentu, setiap tahun dibanding lima tahun, sepuluh tahun yang lalu ada kemajuan,” kata Rizal seperti dikutip dari kanal youtube cnnindonesia (16/8/2022).
Ia menambahkan harus diakui jika pertumbuhan ekonomi Indonesia cukup lumayan di tingkat ASEAN. Namun faktanya Indonesia kalah dengan capaian ekonomi Vietnam dan Filipina, dua negara yang minus sumber daya alam dan energi.
“Indonesia tumbuhnya lumayan sekitar 5%nan, tapi jangan lupa Vietnam tumbuh 7,7%, Filipina yang biasanya di bawah kita tumbuh 7,4%,” ungkap Rizal.
“Padahal dua negara ini tidak ada komoditi, tidak ada energi, tidak ada sumber daya alam,” imbuhnya.
Keunggulan dua negara yang ditopang oleh industri manufaktur ini menempatkan Indonesia pada posisi ketiga di ASEAN. Posisi Indonesia tahun ini diuntungkan dengan faktor windfall profit yang disebabkan oleh sejumlah faktor eksternal.
Beberapa faktor tersebut diantaranya ialah pandemi Covid-19, Perang Ukraina. Faktor-faktor inilah yang mempengaruhi harga pangan, energi dan sejumlah komoditi lainnya di dunia naik.
“Dan di Indonesia diuntungkan, karena kita punya energi, punya komoditi. Harus dilihat bahwa kebangkitan ini sifatnya siklus (sementara),” ucap Rizal.
Keuntungan yang didapat Indonesia pun hanya bersifat sementara, paling lama satu tahun. Artinya Indonesia juga harus segera menemukan strategi untuk menghadapi ‘arus balik’ ekonomi.
“Begitu arus balik ini datang, berbalik nih faktor-faktor yang menguntungkan. Kita udah siap belum? Apa yang kita lakukan untuk mempersiapkan ini?,” tutur Rizal.
Inflasi Pangan
Pada saat yang sama Rizal juga menegaskan bahwa pertumbuhan atau kebangkitan ekonomi tersebut hanya bersifat makro. Artinya di kalangan rakyat biasa hal itu tidak begitu dirasakan.
“Daya beli masih rontok, Gini Indeks (tingkat ketimpangan) malah anjlok. Nunjukin bahwa di bawah itu masih susah,” ujar Rizal.
Ia juga mengingatkan tentang tingkat inflasi yang secara general rendah, 4,9% namun tidak ada artinya jika inflasi pangan masih tinggi, lebih dari 10%. Sejumlah harga pangan yang melejit tentu sangat membebani masyarakat.
“Buat rakyat yang paling penting kan inflasi makanan itu udah 10% loh, dan nggak ada tanda-tanda akan membaik,” ucap Rizal.
Tingginya inflasi pangan merupakan keadaan yang harus diperhatikan oleh pemerintah. Terutama jika pemerintah tidak ingin menciptakan kemiskinan baru di tengah-tengah masyarakat.
Pemerintah melalui Kementerian Pertanian (Kementan) mengatakan jika krisis pangan di Indonesia tidak bisa dihindari. Ketergantungan pada komoditas impor cukup besar di tengah banyaknya kebijakan pembatasan ekspor sejumlah negara.
“Banyak komoditas yang kita butuhkan namun masih bergantung pada impor,” kata Direktur Serealia Ditjen Tanaman Pangan Kementan, Ismail Wahab di pada 9 Agustus 2022 lalu.
Dikutip dari katadata.id (2/8/2022) tingkat inflasi pangan dalam dua bulan terakhir sangat tinggi. Salah satunya dipengaruhi oleh faktor iklim dimana curah hujan yang tinggi di musim kemerau mempengaruhi produksi cabai dan bawang.
Pengaruh cuaca ini berdampak di sejumlah daerah seperti Brebes, Garut, dan Banjarnegara. Selain cuaca kenaikan minyak dunia (BBM) juga membuat harga jual pangan di tingkat konsumen menjadi mahal. (Kukuh Subekti)