(IslamToday ID) – Media Amerika Serikat (AS) Washington Post menyalahkan sikap polisi yang menurut mereka menjadi penyebab tingginya korban tewas kerusuhan di Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur.
Dilaporkan sekitar 131 orang dan 40 di antaranya anak-anak meninggal dunia dalam tragedi yang terjadi pada Sabtu (1/10/2022) itu. Kerusuhan tersebut terjadi setelah berakhirnya pertandingan antara Arema FC vs Persebaya Surabaya.
Washington Post menuliskan lebih dari 40 tembakan gas air mata ke arah kerumunan selama 10 menit menjadi penyababnya. Mereka mengungkapkan apa yang dilakukan polisi tersebut merupakan pelanggaran terhadap protokol dan aturan laga sepakbola FIFA.
The Washington Post juga mengungkapkan karena tembakan gas air mata tersebut, para suporter yang panik pun berhamburan untuk keluar stadion.
“Banyak suporter terinjak-injak sampai mati, atau terlindas tembok dengan gerbang logam karena beberapa pintu keluar ditutup,” tulis Washington Post dikutip dari Kompas TV, Sabtu (7/10/2022).
Menurut mereka, Kepolisian Indonesia tak merespons permintaan untuk berkomentar terkait masalah itu.
Ulasan Washington Post tersebut berdasarkan pemeriksaan dari lebih 100 video dan foto, juga wawancara dengan 11 saksi mata, serta analis dari ahli kontrol keramaian dan pengacara hak sipil.
Ulasan itu mengungkapkan bahwa polisi menggunakan gas air mata sebagai respons terhadap ratusan suporter yang masuk ke lapangan, yang mengakibatkan lonjakan besar di area selatan Kanjuruhan.
Saksi mata juga mengatakan sejumlah pintu ditutup, yang kemudian membuat kepanikan semakin besar.
Pada Kamis (6/10/2022), pejabat setempat mengatakan 131 orang telah tewas, termasuk 40 anak-anak.
Menurut kelompok HAM, termasuk Amnesty Internasional Indonesia, mengatakan jumlah korban tewas bisa mencapai 200 orang.
Pemerintah Indonesia menegaskan akan melakukan penyelidikan terkait insiden ini, yang diketahui sebagai insiden paling berdarah di Indonesia. Kepolisian sendiri mengungkapkan bahwa mereka menggunakan gas air mata karena adanya tindakan anarkis. Tetapi ahli kontrol kerumunan yang mengulas video rekonstruksi membantahnya. [wip]