(IslamToday ID) – Penerapan hukum adat di Papua terhadap Gubernur Papua Lukas Enembe yang tengah terjerat kasus korupsi, tidak bisa digunakan untuk menghindari proses pidana yang sedang berlangsung. Hal itu diungkapkan oleh pakar hukum pidana Abdul Fickar Hadjar.
Seperti diberitakan, KPK telah menetapkan Lukas sebagai tersangka dugaan suap dan gratifikasi. Belakangan, pengacaranya menyebut masyarakat adat meminta kasusnya diserahkan sepenuhnya ke hukum adat.
“Hukum adat tidak bisa digunakan sebagai alasan untuk menghindari proses pidana,” kata Fickar dikutip dari Kompas, Kamis (13/10/2022).
Ia menjelaskan, hukum adat hanya berlaku bagi komunitas adat dengan hukuman maksimal berupa dikucilkan dan denda.
Sementara, kasus korupsi merupakan tindak pidana yang penegakan hukumnya tidak pandang bulu. Termasuk dalam hal ini adalah kepala adat yang menjadi pejabat negara.
Karena itu, meski pengacara Lukas menyatakan klien mereka telah ditetapkan sebagai Kepala Suku Besar dan perkaranya diserahkan kepada hukum adat, KPK tetap bisa mengusut dugaan suap dan gratifikasi tersebut. “Bisa, (KPK dan hukum adat) beda ranah,” ujar Fickar.
Menurutnya, semestinya semua pejabat publik di daerah menyadari hukum adat tidak bisa digunakan untuk menghindari hukum positif atau hukum yang berlaku secara nasional. Sebab, jabatan yang diemban merupakan hasil pemilihan umum kepala daerah.
“Sekalipun de facto yang bersangkutan merangkap sebagai kepala adat. Hukum adat hanya efektif terhadap jabatan-jabatan adat,” tuturnya.
Sebelumnya, pengacara Lukas, Aloysius Renwarin menyebut kliennya telah diangkat oleh dewan adat dari tujuh suku menjadi Kepala Suku Besar. Ia juga mengklaim masyarakat adat sepakat kasus Lukas diserahkan kepada hukum adat. Selain itu, mereka meminta pemeriksaan KPK terhadap Lukas dilakukan di tanah lapang di Jayapura, bukan di Jakarta.
“Berarti semua urusan akan dialihkan kepada adat yang mengambil sesuai hukum adat yang berlaku di tanah Papua,” kata Aloysius saat ditemui di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Senin (10/10/2022).
Lukas ditetapkan sebagai tersangka pada 5 September. Ia diduga menerima suap dan gratifikasi sebesar Rp 1 miliar terkait proyek yang bersumber dari APBD Provinsi Papua. KPK telah menjadwalkan pemeriksaan terhadap Lukas sebanyak dua kali, yakni 12 dan 26 September. Namun, ia tidak hadir dengan alasan sakit. [wip]